Harmoni Islam dan Pariwisata di Maladewa

Maladewa
Kemolekan pulau-pulau di Maladewa telah mendatangkan berkah bagi negara 100 persen warganya memeluk Islam. Foto: https://www.charteranddreams.com/

Maladewa (Maldives) merupakan sebuah negara kecil, dengan penduduk 100 persen beragama Islam. Republik yang dihuni oleh bangsa Divehi tersebut menggantungkan ekonominya pada sektor pariwisata dan ekspor tuna.

Bila di Aceh pariwisata menjadi sebuah paradoks karena penerapan syariat Islam, tapi tidak dengan Maladewa. Negara tersebut bukanlah sebuah entitas nasional yang besar. Maldives merupakan sebuah negara “terisolir” 700 kilometer dari pantai Sri Lanka.

Di masa lampau Aceh dan Maladewa memiliki hubungan dagang. Menurut catatan Profesor Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers, ilmuan Belanda tersebut menyebutkan keumamah (ikan kayu) yang dikonsumsi secara luas oleh penduduk Aceh, diimpor dari Maladewa.

Baca: Makanan Orang Aceh Tempo Dulu

Ekspor tuna memegang peranan penting di negara tersebut. Karena menjadi komoditas yang menguasai 90% pasar ekspor Maldives sektor perikanan. Sementara hasil pertanian tidak menjadi basis ekonomi negara tersebut. Mangga, kelapa, pisang, dapat tumbuh di negara yang puncak tertingginya hanya 2, 3 meter di atas permukaan laut. Namun sekadar dapat tumbuh, tidak dapat diandalkan. Untuk pangan, Jumhurriyat Juzur al-Maldiv, mengandalkan impor dari negara lain.

Pembaruan Maladewa

Sebagai negara kepulauan yang berada jauh dari “pergaulan dunia” Maladewa terisolir secara geopolitik. Negara ini tidak memiliki musuh, tak pernah berkonflik dengan negara lain. Namun dalam rentang peradabannya pernah dijajah oleh Portugis dan Inggris.

Dalam hubungan internasional, Maladewa pernah sangat dekat dengan India. Hal ini wajar saja, karena Hindustan merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Maladewa pada 1965. Tahun 1972, India mendirikan misi diplomatik di Male, ibukota negara tersebut.

Hubungan baik itu diikat sedemikian rupa dalam berbagai bentuk kerja sama. konon lagi setelah negara itu dilamun tsunami 2004. India tampil memberikan bantuan besar.

Namun setelah Presiden Mohamed Nasheed lengser dari jabatannya, Pemerintah beralih bekerjasama dengan Tiongkok (China mainland). Presiden Abdulla Yameen Abdul Gayoom yang memimpin sejak November 2013, secara pasti mengurangi kebijakan India First Policy yang telah dibuat sebelumnya.

Abdulla Yameen sejak dalam kampanye mengatakan negara itu harus menjauh dari Barat dan India dan harus mendekat ke Tiongkok bila ingin memajukan state melalui jalur pedagangan dan pariwisata.

Menurut Anand Kumar dalam jurnalnya berjudul India-Maldive Relations: is The Rough patch Over? Yang terbit dalam Indian Foreign Affair Journal, volume 11 nomor 2, April-Juny 2016, menyebutkan Tiongkok sudah membuka Kedutaan di Male sejak 2011. Sekaligus mulai ekspansi ekonomi di negara tersebut.

Pilihan membangun kerja sama dengan Tiongkok, menurut S.Y Surendra Kumar dalam jurnalnya berjudul China Footprint in Maldives: Concern for India? Yang diterbitkan oleh Artha Journal of Social Science, volume 14 nomor 4 tahun 2016, menyebutkan ada empat alasan mengapa Abdulla Yameen mendekat ke China.

Pertama, proyek pembangunan oleh Tiongkok selesai tepat waktu. Kedua, Tiongkok tidak membawa kampanye HAM dalam urusan kerja sama luar negeri dengan Maladewa. Ketiga, Tiongkok memiliki penawaran yang lebih menarik dalam hal investasi, dan keempat, Pemerintah India berusaha mencampuri urusan perkembangan internal Maladewa pada masa pemerintahan Abdulla Yameen.

Pada Desember 2014, Tiongkok dan Maladewa menandatangani MoU tentang Partisipasi jalur Sutra Maritim Maladewa. Buah dari penandatangan MoU tersebut, Arai Etsuyo dalam tulisannya Pro China candidate Defeated in Maldives Election, yang diterbitkan oleh Japan: Intitute of Developing Economies, Japan Extrenal Trade Organisation, 2018, mengatakan Maladewa mendapatkan dukungan besar pendanaan dalam pembangunan infrastruktur sektor pariwisata, perawatan medis, dan pendidikan. Megaproyek pembangunan jembatan yang menghubungkan pulau ibukota Male-Pulau Hul Hulle yang terdapat Bandara Internasional China-Maldives Friendship Bridge, sebagai bentuk kedekatan Maladewa-China.

Islam, Pariwisata dan Cita-Cita Maladewa

Sektor pariwisata menyumbang PDB sebanyak 28 %. Bahkan di tengah Covid-19 yang melanda dunia, pada 2020 tingkat kunjungan wisatawan ke Maldives tetap tinggi. Negara kecil seluas 300 kilometer bujur sangkar, dengan jumlah penduduk 530 ribu jiwa, pada tahun 2020 dikunjungi lebih 500 ribu wisatawan.

Tetap ramainya kunjungan pelancong dari berbagai negara ke negara dengan permukaan tanah terendah di dunia tersebut, disebabkan oleh kebijakan pemerintah, yang memberikan sejumlah kelonggaran. Meskipun protokol kesehatan tetap menjadi prioritas, tapi bentang alam negara itu memungkinan penerapan protokol kesehatan, tanpa menganggu wisatawan yang ingin berlibur.

Jumlah kunjungan wisatawan ke negara itu dalam kondisi normal mencapai 1 juta pengunjung setiap tahunnya. Catatan Michigan State University, sektor pariwisata menyumbang PDB sebanyak 28 persen untuk negara.

Untuk tahun 2022, dalam Report for Seleceted Countries and Subject, International Moneter Fund (IMF) melaporkan PDB Maladewa sebesar 5,502 miliar dollar AS. Per kapita 14,078 dolar AS.

Data 2015, income per kapita rakyat maladewa setiap tahun mencapai 143 juta. Sedangkan tiap kepala rakyat Indonesia—rata-rata—hanya 58 juta rupiah per tahun. Peningkatan besar-besaran tersebut untuk tingkat negara berkembang sangat bagus, karena pemerintah negara itu berhasil mengembangkan pariwisata, dengan mengomersialkan seluruh pulau-pulau kecil dan wisata bawah laut yang khas.

Investor asing diwajibkan menyetorkan dana investasi sebesar US$ 1 miliar atau Rp 13 triliun sebelum membangun dan berinvestasi di satu buah pulau. Sedangkan di sisi yang lain pemerintah Maladewa juga memberlakukan kewajiban pajak tanah sebesar US$ 8-10/meter/bulan.

Meskipun pariwisata dibuka secara besar-besaran, Islam tetap menjadi prioritas. Saat ini agama resmi negara Islam Sunni. Siapa saja yang ingin menjadi warga negara Maldives, maka wajib beragama Islam.  Sejak tahun 2008, sebuah undang-undang dibuat, menetapkan bahwa non-Islam tidak boleh menjadi warga negara.

Pemerintah juga melarang impor dan membawa produk yang berkaitan dengan babi, minuman beralkohol, pornografi, dan lain-lain. Wisatawan juga tidak diperkenankan berbikini di pantai umum. Namun di pantau-pantai pantai private, khusus, dan di hotel, diperbolehkan.

Akhir pekan di Maladewa bukan Sabtu dan Minggu. Tapi Jumat dan Sabtu. Pada hari Jumat, semua aktivitas dihentikan saat jelang dan pada pelaksaan salat Jumat. Bahkan bandara juga dihentikan aktivitasnya hingga ibadah tersebut selesai. Masjid sangat mudah ditemui di sana.

Saat ini Maladewa  dengan 1.190 pulau nan cantik di tengah Samudera Hindia, telah menjadi primadona pariwisata dunia, yang mengombinasikan modernitas dan pergaulan internasional, tanpa harus menanggalkan identitas negara sebagai komunitas 100 persen Muslim.

Ada hal menarik ketika mendiskusikan negara itu. Sejak lama seluruh elemen di sana sepakat bahwa Maladewa bukan negara kaya sumber daya alam. Satu-satunya potensi besar yang mereka miliki hanya gugusan pulau-pulau kecil yang eksotis, serta tangkapan laut yang aduhai. Tuna-tuna di sana sangat terkenal.

Pada tahun 1960 sebuah misi PBB terhadap pembangunan mengunjungi Kepulauan Maladewa, tidak merekomendasikan pariwisata, mengklaim bahwa pulau itu tidak cocok.

Namun pemerintah dan rakyat tidak mau tunduk pada rekomendasi itu. Mereka melawan stigma. Sejak 1972 sektor pariwisata mulai dijadikan modal utama membangun negara. Hal ini diawali dengan peluncuran resor pertama di Maladewa. Kedatangan kelompok wisata pertama diperkirakan telah terjadi pada Februari 1972. Kelompok ini mendarat di Malé, ibu kota Maladewa, dan menghabiskan 12 hari di negara itu.

Pariwisata di Maladewa dimulai dengan hanya dua resor dengan kapasitas sekitar 280 tempat tidur di Kurumba Village dan Bandos. Saat ini, ada lebih dari 105 resort yang terletak di atol yang berbeda yang membentuk Republik Maladewa. Selama beberapa dekade terakhir, jumlah wisatawan di Maladewa telah meningkat terus menerus. Saat ini, lebih dari 900.000 sampai 1 juta wisatawan mengunjungi Maladewa setiap tahunnya.

Promosi dengan penuh kesungguhan hati dimulai oleh Presiden Ibrahim Nasir. Kemudian terus-menerus dilanjutkan oleh siapa saja yang memimpin. Tersambungnya estafet cita-cita besar merupakan kunci utama Maldives kini menjadi salah satu destinasi internasional, tanpa perlu menanggalkan Islam sebagai identitas.

Artikel SebelumnyaKapolda Aceh Cek Kesiapan Armada Mudik Lebaran 2023
Artikel SelanjutnyaPj Gubernur: Dana Desa Harus Beredar di Desa
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here