Hari Pendidikan: Generasi Stroberi vs Generasi Emas

Hari Pendidikan: Generasi Stroberi vs Generasi Emas
Syatria Adymas Pranajaya. Foto: Dok. Penulis.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Hardiknas atau Hari Pendidikan Nasional, diperingati pada tanggal 2 Mei disetiap tahun, sudah semestinya menjadi momentum reflektif bagi seluruh elemen bangsa dari semua lini untuk menengok dan mengelaborasi kembali arah dan kualitas pendidikan di negeri tercinta ini.

Peringatan ini jangan hanya terkesan seremonial saja, ketika realitas di masyarakat menunjukkan betapa kompleks dan mengkhawatirkannya kondisi pendidikan negeri ini dengan berbagai permasalahannya. Di satu sisi, ada jargon besar: “Menuju Generasi Emas Tahun 2045.”

Di sisi lain, kita menyaksikan kemunculan istilah “Generasi Stroberi”—yakni generasi muda yang tampak mengilap, pintar berbicara, kreatif secara permukaan, tetapi rapuh mentalnya, mudah tersinggung, cepat menyerah, dan rendah daya juang.

Istilah “Generasi Stroberi” sebenarnya muncul pertama kali di Taiwan, kemudian menyebar ke banyak negara seperti Korea Selatan, Jepang, hingga Indonesia. Istilah ini kini viral di kalangan pendidik dan pengamat sosial sebagai metafora bagi anak muda yang dibesarkan dalam kemudahan teknologi, tetapi kurang mengalami tantangan nyata dalam kehidupan.

Sementara itu, istilah “Generasi Emas” adalah proyek besar bangsa yang dicita-citakan akan terwujud pada tahun 2045, ketika Indonesia genap berusia satu abad—yakni generasi yang tangguh, berdaya saing global, berkarakter kuat, dan produktif dalam ilmu serta karya.

Namun pertanyaan yang mesti dijawab oleh semua elemen negeri sekarang ialah, bagaimana mungkin kita mencapai generasi emas jika yang kita tanam dan pelihara justru adalah bibit-bibit stroberi berkonotasi negatif? Mari berselancar flashback terkait hiruk-pikuk pendidikan untuk menemukan POV (point of view) masalah serta solusi hal-hal tersebut!

Warisan Ki Hajar Dewantara

Hari Pendidikan Nasional ditetapkan bertepatan dengan hari lahir Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Gagasan beliau masih sangat relevan hingga hari ini. Dalam semboyannya yang terkenal, “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani“.

Ki Hajar mengajarkan bahwa pendidik harus mampu menjadi teladan, membangkitkan semangat di tengah, dan memberi dorongan dari belakang. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan pembebasan manusia dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan penjajahan—baik dalam arti harfiah maupun kultural.

Baca juga: Aceh Butuh Semangat Baru untuk Pendidikan

Ia menekankan pentingnya pendidikan yang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman, serta pendidikan yang membentuk budi pekerti, bukan sekadar otak.

Dalam pandangan beliau: “Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.” Artinya, pendidikan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak dan tidak boleh bersifat memaksa atau menindas kreativitas. Pendidikan harus mengembangkan kesadaran diri, karakter, dan kemerdekaan berpikir.

Pandangan tersebut sejalan dengan teori perkembangan anak dari Jean Piaget, dan juga dengan pendekatan pendidikan humanistik yang dikembangkan tokoh seperti Carl Rogers dan John Dewey sebagai tokoh pendidikan.

Fenomena Pendidikan Global

Perlu juga dipahami bahwa apa yang terjadi di Indonesia sejatinya merupakan bagian dari fenomena global yang lebih luas. Di Amerika Serikat dan Eropa, dunia pendidikan juga sedang menghadapi krisis besar, seperti adanya pelajar di sana mengalami learning loss, keterlambatan perkembangan sosial-emosional, hingga meningkatnya angka gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Menurut laporan dari UNICEF dan UNESCO tahun 2023, lebih dari 70% pelajar di berbagai negara mengalami dampak psikososial akibat perubahan drastis dalam sistem pendidikan. Kecanduan gawai, tekanan media sosial, dan beban akademik yang tinggi membuat banyak siswa kehilangan minat belajar dan merasa kehilangan arah hidup.

Negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang meski dianggap maju bahkan jadi salah satu kiblat pendidikan bagi beberapa negara, ternyata terus menata ulang sistem pendidikan mereka. Di Finlandia, fokusnya bukan lagi pada ujian nasional atau peringkat internasional, tetapi pada kesejahteraan siswa, kesenangan belajar, dan kehidupan yang bermakna.

Anak-anak diajak mengenal diri sendiri, bekerja sama, dan belajar dari pengalaman nyata. Di Jepang, yang dikenal dengan kedisiplinan dan tekanan akademik yang tinggi, kini mulai memasukkan pembelajaran emosi dan spiritual dalam kurikulum untuk menyeimbangkan aspek kognitif dan afektif para pelajarnya.

Hal tersebut sangatlah relevan dengan teori Jean Piaget tentang perkembangan kognitif. Piaget menekankan pentingnya tahapan perkembangan anak dan bagaimana mereka belajar secara aktif melalui interaksi dengan lingkungan. Ketika sistem pendidikan terlalu menekankan hafalan dan pengulangan, maka proses berpikir kritis dan eksploratif anak justru terhambat.

Pendidikan Indonesia Di Persimpangan

Indonesia sendiri berada di tengah gelombang perubahan kurikulum yang dinamis namun dramatis. Ada 12 kali perubahan kurikulum dari 1947 (Rentjana Pelajaran) hingga 2022 (Kurikulum Merdeka). Kurikulum Merdeka sendiri diproyeksi untuk menekankan kebebasan belajar, kreativitas guru, serta pendekatan berbasis proyek.

Namun pertanyaannya, sejauh mana Kurikulum Merdeka telah berhasil mewujudkan merdeka belajar dalam arti yang sesungguhnya? Banyak guru di daerah mengeluhkan minimnya pelatihan, lemahnya infrastruktur digital, serta keterbatasan waktu untuk mengadaptasi pendekatan baru.

Alih-alih menjadi ajang pendidikan yang merdeka, Kurikulum Merdeka justru membuat sebagian guru dan siswa kebingungan serta kelelahan karena tumpukan proyek yang tak terarah dan begitu variatif.

Kini, muncul lagi wacana dari Menteri Pendidikan untuk mengganti Kurikulum Merdeka dengan pendekatan baru berbasis deep learning—yakni pendekatan pendidikan berbasis pemahaman mendalam, bukan sekadar hanya pendidikan dipermukaan saja.

Konsep ini mengacu pada model pengembangan yang terintegrasi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran adaptif. Deep learning tidak hanya bermakna yang terkoneksi teknologi, tetapi juga upaya menciptakan pembelajaran yang bermakna, kontekstual, dan personal.

Adanya kasus-kasus kekerasan di sekolah, bullying, bahkan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan semakin sering muncul di media sosial. Dalam banyak kasus, siswa kehilangan respect terhadap guru, dan guru kehilangan wibawa dalam kelas. Fenomena ini menggambarkan krisis karakter yang mendalam, yang tak bisa diselesaikan hanya dengan perubahan kurikulum atau aplikasi digital yang marak sekarang ini.

Dalam konteks ini, teori Diana Baumrind tentang pola pengasuhan menjadi kunci. Baumrind mengklasifikasikan pola asuh menjadi otoriter, permisif, dan otoritatif. Pola otoritatif—yang seimbang antara aturan dan kehangatan—dapat menghasilkan anak yang mandiri, bertanggung jawab, dan mampu mengelola emosi. Pola ini juga sangat efektif jika diadopsi dalam pendekatan pendidikan sekolah dan rumah.

Tokoh pendidikan nasional lain, seperti Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), juga pernah menyampaikan bahwa pendidikan adalah sarana untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang progresif dan berkemajuan. Beliau menekankan pentingnya memadukan ilmu dunia dan ilmu agama dalam sistem pendidikan.

Demikian juga dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Gagasan ini menekankan bahwa pendidikan karakter harus mendahului kecerdasan kognitif.

Mendidik Generasi Stroberi Menuju Generasi Emas

Menilik fakta dan tantangan di atas, jelas bahwa kita tidak bisa lagi menjalankan pendidikan seperti biasa. Dibutuhkan paradigma baru yang tidak hanya mengejar target kognitif, tetapi menyentuh dimensi afektif, spiritual, sosial, dan psikologis anak secara utuh. Pendidikan kita harus sadar zaman, namun tidak kehilangan arah peran.

Generasi stroberi bukanlah takdir, melainkan hasil dari lingkungan pendidikan dan pola pengasuhan yang membentuknya. Maka, kita harus mengubah cara mendidik—dari sekadar mengajar menjadi membimbing dan menemani proses tumbuh-kembang anak secara manusiawi dan holistik. Transformasi ini membutuhkan kolaborasi antara guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat.

Jean Piaget mengingatkan bahwa anak belajar paling baik ketika mereka aktif membangun pengetahuan melalui pengalaman konkret. Artinya, pembelajaran proyek, eksplorasi lingkungan sekitar, bahkan kegiatan sederhana seperti berkebun atau berdiskusi tentang isu sosial, bisa menjadi sarana membentuk karakter dan daya pikir kritis mereka.

Diana Baumrind menegaskan pentingnya kehadiran figur dewasa yang konsisten, hangat, dan tegas dalam membentuk kedewasaan emosional anak. Maka, baik guru maupun orang tua perlu mengadopsi pola asuh otoritatif yang mendorong anak berpikir mandiri namun tetap dalam bimbingan nilai yang kuat.

Sementara itu, dari sudut sosiokultural, teori Lev Vygotsky mengajarkan bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan budaya. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh tercerabut dari akar budaya lokal. Justru kearifan lokal, seperti nilai gotong royong, sopan santun, dan keikhlasan dalam belajar, harus dihidupkan kembali sebagai bagian dari praktik pendidikan sehari-hari.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, pendekatan Vygotsky ini menjadi relevan. Anak-anak dari latar belakang sosial yang berbeda tidak bisa disamakan pendekatannya. Pendidikan harus inklusif, akomodatif terhadap keragaman, dan tidak menjadikan standar tunggal sebagai tolok ukur keberhasilan.

Begitu pula dengan konsep “tadabur” dalam Islam—merenungkan alam dan kehidupan—dapat menjadi pintu masuk penting dalam menyadarkan siswa akan nilai spiritual dan tanggung jawab sosial mereka sebagai makhluk Allah. Di sini, integrasi antara sains dan spiritualitas perlu diperkuat, bukan dipisahkan.

Menyemai Harapan, Menyiapkan Masa Depan

Jika kita ingin menyambut Generasi Emas 2045, maka pembangunan karakter dan mentalitas tangguh harus dimulai sejak hari ini. Sekolah harus menjadi taman yang menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan ladang yang memanen nilai semata. Guru bukan hanya fasilitator belajar, tetapi juga teladan integritas, empati, dan ketekunan.

Hari Pendidikan Nasional harus dimaknai bukan dengan seremonial atau lomba menghias kelas, melainkan dengan kesadaran kolektif bahwa anak-anak hari ini akan memimpin bangsa ini di masa depan. Mereka tidak boleh dibiarkan tumbuh rapuh oleh gawai, malas berpikir, atau kehilangan makna hidup karena sistem pendidikan yang membingungkan.

Kita harus bersungguh-sungguh mengawal arah pendidikan Indonesia agar tidak hanya melahirkan generasi cerdas secara akademik, tetapi juga kuat secara emosional, beradab, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama.

Pendidikan adalah revolusi senyap yang akan menentukan wajah bangsa ini dalam beberapa dekade ke depan. Ia tidak menimbulkan gemuruh seperti demonstrasi atau suara pemilu, tapi diam-diam ia membentuk cara berpikir, merasa, dan bertindak anak-anak generasi bangsa.

Jika kita gagal mendidik hari ini, maka kita sedang membangun fondasi yang rapuh untuk masa depan bangsa. Namun jika kita bersungguh-sungguh hari ini, bukan tidak mungkin Generasi Stroberi akan bermetamorfosis menjadi Generasi Emas—yakni generasi yang tidak hanya cemerlang dalam skor, tetapi juga tangguh dalam badai, bijak dalam pilihan, dan luhur dalam cita sebagai harapan bangsa 2045, wallahu a’lam bis ash-shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here