H. Abubakar, Saudagar Bireuen yang Beri Baju Baru untuk Soekarno

H. Abubakar bin Ibrahim bin Salem Bey. Berjuang untuk Republik Indonesia, dan ikut melawan Pemerintah yang dinilai sudah di luar cita-cita awal. Foto: Koleksi keluarga. Dikutip dari buku biografi.yang ditulis oleh Mahyani Muhammad.

H. Abubakar bin Ibrahim bin Salem Bey, yang akrab disapa Nek haji oleh cucu-cucunya, merupakan salah seorang sosok penting yang juga memiliki jasa besar terhadap eksistensi Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Ia adalah pengusaha yang menjahit baju baru untuk Presiden Soekarno kala tiba di Bireuen dengan busana alakadar. Tapi, hartanya dibumihanguskan ketika ia memilih berpihak kepada perlawanan DI/TII Aceh.

Tahun 1919 Ibrahim bin Salem Bey, bersama dua saudara kandungnya; Abdul Rauf bin Salem Bey, dan Hasan bin Salem Bey, serta anak-anaknya, memilih uzlah dari Turki dan berlayar ke Aceh Darussalam.

Pertama kali mereka mendarat di Jengki, Aceh Timur—dalam catatan Prof. Humam Ahmad Hamid menyebutnya di Sungoe Raya, Aceh Timur—tapi kemudian kembali mengayuh biduk dan mengembangkan layar kapal menuju Pelabuhan Mon Keulayu di pesisir Nanggroe Peusangan—kini Kecamatan Jangka.Sepanjang pelayaran, Hasan ditunjuk sebagai nakhoda. Mungkin karena kemampuan navigasi laut yang ia miliki lebih baik dari dua abangnya. Atau karena ia masih lajang sehingga tidak banyak memiliki urusan domestik.

Ibrahim bersama istri dan enam anak-anaknya, Abdul Rauf dengan lima anggota keluarga, dan Hasan yang masih lajang, menginjak pasir Pantai Mon Keulayu. Selanjutnya mereka menapak menuju Kuta Meuse, Krueng Panjoe.

Seorang putera Ibrahim bin Salem Bey, yaitu Abubakar bin Ibrahim Salem Bey, saat tiba di Bireuen telah berusia 32 tahun. Berbekal Pendidikan yang bagus selama di Turki, pria bertubuh tinggi besar itu tidak mengalami kendala berarti ketika menetap di Meuse. Konon lagi seorang muslim dan berasal dari Ottoman, kehadirannya mudah diterima oleh masyarakat tempatan yang juga muslim dan mengagumi Kerajaan Turki Usmani.

23 tahun kemudian, H. Abubakar diangkat menjadi Gunco (Wedana) Bireuen. Ia memegang jabatan tersebut dari 1942 hingga 1945.

Pengangkatan H. Abubakar sebagai Gunco, satu tahun setelah ia menikahi Ti Rahmah binti Abdul Rauf. Perempuan kelahiran Turki pada 1902 tersebut dipinang dan dijadikan istri oleh Abubakar pada tahun 1921.

Pernikahan tersebut diselenggaran di Meuse, Krueng Panjoe. Dari perkawinan tersebut ia dianugerahi dua cahaya mata. Pertama, Marzuki bin Abubakar; bertumbuh besar dan menjadi pelanjut nasabnya. serta anak kedua meninggal dunia saat masih kecil.

Mahligai rumah tangga dengan Ti Rahmah dilalui selama 21 tahun. 16 Agustus 1942—pada usia 40 tahun—Ti Rahmah kembali ke haribaan Ilahi.

Setelah menimbang-timbang dengan cermat, akhirnya beberapa waktu kemudian Abubakar menikah dengan Tjut Bahren binti Muhammad Amin. Seorang perempuan lagi juga persunting kemudian. Tapi dari istri ketiga, H. Abubakar tidak memiliki anak.

H. Abubakar bin Ibrahim bin Salem Bey, membangun sebuah rumah di Simpang Empat Kota Bireuen, dengan alamat Jalan Banda Aceh, nomor 3. Rumah tersebut beliau bangun tahun 1922, seiring pengangkatannya sebagai Gunco Bireuen.

Dalam dunia bisnis, H. Abubakar memulai usahanya dengan Teungku Hasbi yang merupakan abang ipar pria Turki tersebut.

Mereka mengusahakan bisnis pangan berupa jual beli hasil bumi seperti buah-buahan, sayuran yang diperdagangkan antara Bireuen-Takengon-Kutaraja. Dalam tempo tidak begitu lama bisnis tersebut meluas hingga ke Medan, Sumatera Utara.

Abubakar tetap di jalur bisnis tersebut, meski kemudian Teungku Hasbi beralih menjadi pedagang perhiasan emas dengan membuka toko di Keude Krueng Panjoe.

Bisnis Abubakar kian berkembang. Ia telah memiliki truk sendiri yang mengangkut hasil bumi yang diperdagangkan antar wilayah kala itu. Kendali pasarnya telah mencakupi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Aceh dan Sumatera Utara. Dari pedagang retail, Abubakar menjadi distributor.

Dalam menjalankan bisnis, Abubakar menjalaninya dengan penuh ketekunan. Meskipun telah menjadi distributor, dan dunia perbankan telah ada kala itu, tapi beliau tidak memanfaatkannya.

Dari distributor, ia menjadi pengusaha –saudagar—dan kemudian mendirikan CV Abubakar & Son, dengan kantor pusatnya di Jalan Gayo Nomor 6 Bireuen. Tahun 1940 gurita bisnis CV Abubakar & Son telah mencapai Malaysia dan Singapura.Bisnis antar negara yang ia jalani, dilayani oleh kapal lautnya sendiri yang menjadikan Pantai Mon Keulayu sebagai tempat sandaran kala pulang ke Bireuen. Saat itu ianya telah menjadi eksportir pinang dan kopra. Ketika berlayar ke Aceh ia membawa pulang bahan pangan dan sandang untuk dijual kembali di dalam negeri.Termasuk celana jeans merk ternama dari luar negeri.

Di Bireuen jeans seperri merk Favo, Levis (sering disebut libaih), LEA, dan merk lainnya dikenal dengan sebutan Luweue Li. Merek-merek terkenal tersebut menjadi celana favorit pemuda Bireuen. Bireuen di sampai era 2000-an masih menjadi kota mode untuk busana pria.

Tahun 1948 Abubakar telah membuka usaha pompa bensin—seperti SPBU– yang pertama di Bireuen, di bawah manajemen Firma Habbi Co, sebagai penyalur minyak –BBM—untuk Aceh Utara dan Aceh Tengah.

Di Bireuen, H. Abubakar juga membuka usaha perbengkelan dan konveksi. Bengkel yang dikelola oleh abangnya bernama Ali bin Ibrahim bin Salem Bey, memproduksi peralatan rumah tangga. Di zaman dulu usaha tersebut dikenal dengan sebutan pande. Tempat produksi dibangun di rumah lainnya milik Abubakar di Jalan Gayo Nomor 6.

Produk usaha tersebut juga merambah mobiler keluarga seperti ranjang besi (peuratah beusoe), kursi berbahan dasar besi, dan lain-lain.

Menjahit Baju Baru untuk Presiden Soekarno

Pada Juni 1948 Presiden Soekarno mengunjungi Bireuen. Sebuah kunjungan kenegaraan dan disambut oleh Teungku Daod Bereueh, Kolonel Husein Jusuf, dan Abubakar bin Ibrahim. Sang Presiden diinapkan di Meuligoe Bireuen yang saat itu telah menjadi rumah dinas Panglima TKR Divisi X Gadjah Putih Komandemen Sumatera, Kolonel Husein Joesoef—sering ditulis juga Husin Yusuf, atau Husein Jusuf.

Melihat Soekarno yang mengenakan pakaian seadanya, dan ada bagian yang robek, Daoed Bereueh dan Kolonel Husein Joesoef, serta Abubakar jatuh iba. Seorang tokoh bangsa, proklamator kemerdekaan, datang ke Bireuen dengan penampilan yang tak pantas disebut sederhana. Bila boleh dikata, Soekarno datang dengan penampilan alakadar, dan logistik yang sangat tidak layak.

Setelah bersepakat dengan dua koleganya, Abubakar melangkah keluar pendopo. Men-starter sedan warna hitam miliknya yang diproduksi di Amerika Serikat.Ia menuju rumahnya yang berjarak 400 meter dari Pendopo tempat Soekarno menginap. Tidak lama kemudian, Abubakar kembali, membawa seorang perempuan bernama Syarifah Atiqah Alhabsy. Atiqah dipercaya oleh Abubakar untuk mengukur badan Soekarno.

Atiqah merupakan karyawan terpilih dalam usaha konveksi yang dijalankan oleh Abubakar. Meskipun Soekarno tidak akan protes bila pakaiannya kurang pas, tapi Abubakar ingin yang terbaik. Presiden harus dijahitkan baju yang pantas dikenakan oleh seorang pemimpin besar. Tak boleh Presiden terlihat kurang wibawanya, karena pakaian tokoh-tokoh Bireuen jauh lebih mewah, lebih modern.

Setelah melakukan pengukuran, Atiqah kembali ke tempatnya bekerja. Ia berburu dengan waktu menjahit pakaian terbaik untuk Presiden Soekarno yang hanya punya agenda sepekan di Kota Bireuen.

Hal pertama yang dilakukan Soekarno di Bireuen yaitu melakukan dialog terbuka dengan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daod Bereueh. Dialog itu berlangsung di Markas Komando Divisi X TRI yang dipimpin oleh Kolonel Husein Joesoef.

H. Abubakar Mayor Tituler untuk Membantu Republik
Sebagai seorang saudagar terpandang di Bireuen, H. Abubakar bin Ibrahim bin Salem Bey turut berjuang sebagai militer Indonesia. Setelah jabatannya sebagai Gunco berakhir, pada 1 Juni 1946 hingga 1949 Abubakar diberikan pangkat Mayor Tituler sebagai Perwira Staf Komando Divisi X TRI, dengan jabatan Penasihat Panglima. Tanggung jawabnya sebagai penyedia suplai peralatan militer. Ia juga Ketua Pertahanan Rakyat Semesta pada Resimen II TRI Bireuen.

Ketika Perang Medan Area terjadi mulai Oktober 1945 hingga 194,6 Bireuen memainkan peranan penting. Divisi X Komandemen Sumatera, yang merupakan satuan militer paling elit kala itu—memiliki Akademi Militer—dengan dukungan hingga satuan tank yang berpusat di Juli, ikut maju ke palagan Medan Area.

Abubakar dan saudagar lainnya menjadi palang pintu ekonomi selama pertempuran tersebut. Ia menyisihkan hartanya yang cukup banyak untuk mendukung perang rakyat semesta untuk memukul mundur tentara Sekutu dan NICA yang mencoba mengambila lih kekuasaan Republik Indonesia.

PUSA dan Normal Institute
Sebagai seorang yang sangat penting, Abubakar juga peduli pada soal agama dan Pendidikan. Oleh karena itu dia turut mendukung pendirian Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan lembaga Pendidikan Normal Institute atau juga dikenal dengan Normal School.

Perihal PUSA dan Normal School tidak perlu dijelaskan lebih jauh, karena sudah banyak yang menulis tentang itu. Tapi yang paling menarik di sini yaitu kepedulian yang tulus Abubakar terhadap dunia pendidikan. Ia memberikan ruang di dalam rumahnya sebagai tempat berteduh—tanpa bayar kost—pelajar Normal School yang rumahnya jauh dari Bireuen. Rahmah Wajdy—kakak sepupu Prof. Yusni Saby pernah tinggal di rumah itu. Bahkan bila ada keluarga anak asuk yang datang menjenguk, juga dipersilakan tidur di rumah tersebut.

Hasan Tiro—deklarator Gerakan Aceh Merdeka—pernah juga tinggal di sana. Pengakuan itu disampaikan oleh Hasan Tiro kepada Bambang yang merupakan temannya kala kuliah di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hasan mengatakan kepadanya bahwa ketika masih belajar di Perguruan Normal Islam di Bireuen, ia mempunyai seorang ayah angkat bernama H. Abubakar.

Abubakar Melawan Republik
Ketidakdilan, diperlakukan semena-mena, dan tidak lagi dianggap ada, membuat Teungku Daod Bereueh kecewa kepada Pemerintah Pusat. Sejumlah janji Soekarno tidak ditunaikan, bahkan status Aceh dari sebuah provinsi menjadi kewedanaan.

Bahkan perilaku tidak adil juga melanda militer. Divisi X Komandemen Sumatera diturunkan derajatnya menjadi Resimen Infanteri 1, bernaung di bawah komando KO TT-I/SU Nomor: 247/V/ORG/1951, selanjutnya tanggal 21 Juni 1951 KO TT-I/SU berubah menjadi KO TT-I/Bukit Barisan (KO TT-I/BB), sedangkan wilayahnya sama dengan KO TT-I/SU.sebagai Panglima KOTT-I ditunjuk Alex Evert Kawilarang, seorang perwira militer eks KNIL—prajurit bumiputera yang bekerja untuk penjajah Belanda.

Penurunan derajat Divisi X Gajah Putih Komandemen Sumatera menjadi Resimen, menyakiti hati Kolonel Husein Joesoef. Tapi ia tetap legowo. Akan tetapi Alex Kawilarang bertindak terlalu jauh. Ketika berkunjung ke Kutaraja, dia tidak disambut oleh Husein Joesoef yang sedang pulang kampung. Perwira eks KNIL itu memecat Kolonel Husein Joesoef melalui secarik kertas.

Mendapat kabar dirinya telah diberhentikan, Husein Joesoef sakit hati. Ia tidak kembali lagi ke Kutaraja, dan kemudian ketika Daoed Bereueh mendeklarasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) mengikuti Kartosuwirjo di Jawa Barat, Husein Joesoef ikut serta.

Demikian juga H. Abubakar, kala Teungku Daoed Bereueh mendirikan DI/TII Aceh,sang pengusaha ikut serta. Ia mendampingi perjuangan sang sahabat, bahkan rela keluar masuk belantara.

H. Abubakar bin Ibrahim bin Salem Bey. Koleksi keluarga. Dikutip dari biografi yang ditulis Mahyani Muhammad.
H. Abubakar bin Ibrahim bin Salem Bey. Koleksi keluarga. Dikutip dari biografi yang ditulis Mahyani Muhammad.

Pun demikian, sebagai sosok terpelajar, dia turut memberikan koreksi dan kritik terhadap cara DI/TII berjuang. Tapi memang Daoed Bereueh dikenal keras kepala, susah sekali menerima kasukan. Pun masukan Abubakar cukup penting—termasuk menegur cara DI/TII Aceh memperlakukan rakyat umum,yang menurutnya kurang terpuji, dan tidak digubris oleh Daoed Bereueh, tapi tak lantas membuatnya meninggalkan jamaah perjuangan. Ia istiqamah pada jalan yang telah dipilih.

Padahal ketika dirinya memilih mendukung DI/TII Aceh, puteranya yang bernama Marzuki, merupakan pegawai Pemerintah Pusat di Kementerian Luar Negeri RI. Demikianlah putera Ibrahim bin Salem Bey, sekali layar terkembang, surut berpantang.

Semua orang sudah tahu bagaimana perang itu berlangsung. Semua orang sudah tahu bagaimana perlakuaan Republik Indonesia terhadap perlawanan DI/TII. Seolah-olah tidak ada hubungan baik sebelumnya.
Pemerintah Pusat memperlakukan para pejuang DI/TII seperti musuh sejati. Harta benda dirampas, ada yang disita, dicuri oleh petinggi serdadu, bahkan ada yang dibumihanguskan.

Perilaku bumi hangus dan perampasan harta benda pentolan DI/TII Aceh, mirip dengan perilaku PUSA dan laskar Pemuda PUSA kala meletusnya Revolusi Sosial di Aceh, yang bermuasal dari Perang Cumbok. Pendukung PUSA juga melakukan pembakaran, pembunuhan, penculikan, perampasan harta benda, dan lain-lain. Istri-istri cantik para ule balang juga dikawini setelah suaminya ditangkap dan dibunuh.

H.Abubakar juga diburu hidup atau mati oleh tentara Republik. Ia sudah seperti rubah liar yang sangat berbahaya. Diburu siang dan malam oleh tentara Republik Indonesia sangat garang memburu para pejuang yang sebelumnya rela mengorbankan apa pun untuk berperang mempertahankan eksistensi Republik Indonesia.

Truk-truk milik H. Abubakar termasuk armada truk tangki, ditarik paksa oleh lawan politiknya. Mobil pribadinya yaitu sedan hitam Plymouth hasil pabrikan Amerika Serikat dibakar oleh “pembela NKRI” yang gagah perkasa kala meredam perlawanan bangsa sendiri.

Rumah utamanya di simpang empat Bireuen juga dibumihanguskan oleh tentara yang datang dengan senapan laras panjang. Prajurit berbaju dinas itu, tanpa sungkan menyulut api ke rumah yang pemiliknya pernah menyelamatkan perut mereka dari kelaparan, dan menyelamatkan mereka dari penjajah yang nyaris dapat merebus kembali seluruh Hindia Belanda.

Perilaku bumi hangus juga dilakukan kembali pada rumah yang ditempati oleh istrinya di Meuse; rumah Tjut Bahren. Prajurit menyulut api hingga meluluhlantakkan rumah tersebut jelang Subuh.

Setelah perlawanan DI/TII berakhir, Panglima Kodam Iskandar Muda Kolonel Syamaun Gaharu pada 16 Agustus 1959 memberikan amnesti dan abolisi kepada Teungku H. Abubakar. Beliau dinyatakan telah kembali ke pangkuan Republik Indonesia.

H. Abubakar memulai kembali kehidupannya. Menyambung yang telah terputus, memupuk yang telah gersang. Pulang untuk kembali berjuang sembari mengisi masa tua.

Rabu, 30 Sepetmebr 1964, setelah Subuh, sang saudagar cum pejuang, pulang keharibaan Ilahi, diiringi isak tangis keluarga tercinta.

Disarikan dari buku H. Abubakar Bin Ibrahim Bin Salem Bey; Nek haji Sang Maestro, yang ditulis oleh Mahyani Muhammad, dan diterbitkan oleh Museum Kota Juang Bireuen. Sebagian data juga dikutip dari Aceh Dalam Perang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang yang ditulis Tgk. A.K. Jacobi, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Seulawah RI 001. Serta sumber-sumber lainnya yang menjadi koleksi Pustaka Mini Muhajir Juli, Banda Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here