Komparatif.ID, Banda Aceh— Permintaan Gubernur Aceh Muzakir Manaf agar Pertamina mencabut pemberlakukan barcode BBM subsidi dan penugasan di Aceh, ditolak oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Penolakan tersebut dituangkan dalam surat Nomor: T-126/MG.01/BPH/2025.
Menanggapi penolakan ini, Gubernur Aceh Muzakir Manaf melalui juru bicara Teuku Kamaruzzaman atau Ampon Man menjelaskan Pemerintah Aceh akan mengkaji ulang konsep akuntabilitas dan transparansi yang disampaikan BPH Migas.
Menurut Ampon Man, anggaran negara diperoleh dari pajak rakyat serta eksploitasi sumber daya alam, termasuk yang berasal dari Aceh. Karena itu, ia menyebut Pemerintah Aceh berhak mendapatkan penjelasan lebih mendalam mengenai pola distribusi, kompensasi, serta jumlah BBM subsidi yang diberikan ke setiap daerah beserta komposisinya.
“APBN diperoleh dari pajak rakyat dan juga eksploitasi sumber daya alam, yang sebagian dihasilkan dari rakyat dan sumber daya alam Aceh. Kami ingin mendapatkan data dan penjelasan mengenai pola distribusi, kompensasi, serta jumlah BBM subsidi yang diberikan ke masing-masing daerah beserta komposisinya,” ujarnya mengutip rri.co.id, Senin (3/3/2025).
Baca juga: BPH Migas Tolak Permintaan Gubernur Aceh Soal Pencabutan Barcode BBM
Ampon Man mengatakan transparansi mekanisme distribusi BBM bersubsidi hal krusial bagi Aceh. Ia menegaskan kebijakan terkait BBM tidak bisa hanya diselesaikan melalui selembar surat dari Kepala BPH Migas tanpa ada penjelasan lebih rinci mengenai sistem yang diterapkan.
Ia mengatakan Mualem menekankan Pemerintah Aceh harus mengetahui pola, sistem, serta mekanisme distribusi BBM yang dikelola negara untuk memastikan keadilan penerapannya.
“Kami menghargai semua pendapat yang berpedoman pada akuntabilitas dan transparansi. Namun, bagi Aceh, keadilan dalam mekanisme dan sistem yang dibuat harus diperjelas,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Ampon Man menyebut surat yang dikeluarkan Kepala BPH Migas Erika Retnowati tidak mencantumkan dasar pemikiran yang jelas, jangka waktu penerapan, maupun kompensasi bagi Aceh sebagai daerah percontohan.
Selain itu, tidak ada perbandingan dengan wilayah lain yang dapat menjelaskan keuntungan dan kerugian bagi konsumen atas penerapan barcode, selain manfaat yang diperoleh produsen BBM.
Ia juga menekankan pentingnya perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Konsumen BBM di Aceh, menurutnya, berhak mendapatkan perlindungan yang mencakup keamanan, kenyamanan, keselamatan, serta informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai suatu produk.
Ampon Man menekankan BBM merupakan produk yang dikuasai negara, sehingga kebijakan terkait distribusinya harus memberikan kepastian bagi masyarakat.
Sebagai langkah tindak lanjut, Gubernur Aceh akan membentuk tim khusus untuk meneliti lebih lanjut kebijakan ini. Tim tersebut akan bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah dan negara guna memastikan transparansi, akuntabilitas, serta keadilan dalam distribusi BBM subsidi di Aceh.
“Kami akan membentuk tim khusus untuk memeriksa dan meneliti persoalan ini secara lebih detail. Kami tentu akan bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan negara lainnya demi memperoleh transparansi, akuntabilitas, serta keadilan bagi masyarakat Aceh,” pungkas Ampon Man.