Intelektual secara maknawi adalah “budi” atau “akal budi”. Akal budi ini yang kemudian menjadikan manusia sebagai makhluk rasional atau dalam istilah arabnya disebut hayawan nathiq.
Penjabaran dari intelektual adalah adalah cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Pada akhirnya intelektual itu mempunyai totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman terhadap sesuatu.
Intelektual mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mampu membedakan sesuatu yang sifatnya temporer dengan suatu yang abadi. Mampu mencerna nilai-nilai fluktuatif dan permanen, termasuk mampu membanding-bijak pada hal-hal yang pluralistik dan monistik.
Manusia yang mampu menempatkan intelektual sebagai pijakan untuk memahami hakikat hidup akan senantiasa menjalankan roda kehidupan yang ideal dalam setiap perjuangan dan cita-citanya dengan pengetahuan sebagai panduan yang membimbingnya. Dan pada akhirnya pencapaian intelektual merupakan kepuasan tertinggi seperti yang disebut Aristoteles dalam Necomachean Ethics.
Kaum intelektual adalah kaum terpelajar yang secara pemahaman umum merupakan penyelenggara perguruan tinggi, mahasiswa dan alumni kampus yang menurut Coser merupakan orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Atau dalam pandangan Shils sebagai pemikir yang selalu mencari kebenaran yang batasannya tidak berujung. Secara lebih rinci Alvin Goudner juga mencirikan mereka sebagai orang yang kritis, emansipatoris, hermeneutis, dan karena itu juga politis.
Mari kita seret ke politik. Sejauh manakah peran kaum intelektual ini dalam politik? Jawabannya tentu ada banyak orang yang terjun ke politik dari jalur ini dalam konteks pemilihan kepala daerah dan wakil rakyat. Tujuan awal tentu saja untuk membuat perubahan sesuai dengan kapasitas keilmuannya agar nuansa politik menjadi lebih berwarna dan logis.
Namun, mereka sering terjebak dengan praktik politik pragmatis yang mau tidak mau harus melakukan segala cara untuk memperoleh kemenangan sebagai mana lazim terjadi dan dilakukan kandidat lain. Atau mereka akan ditinggalkan pemilih ketika tidak dapat meyakinkan konstituen dengan gagasan-gagasan perubahan tanpa “suplemen” untuk meningkatkan gairah pemilih.
Seorang rektor atau akademisi dari sebuah kampus yang memilih bertarung dalam gelaran pilkada misalnya, cenderung memperkuat grass root dengan modal mempererat silaturrahmi alumni se-almamater untuk membuat simpul-simpul potensi pemilih. Tentu saja gagasan-gagasan tersampaikan dengan mudah dan dapat diterima dan dicerna dengan mudah pula karena faktor itu tadi, sama-sama kaum intelektual. Namun sekali lagi, dia tidak mudah untuk mencapai kemenangan karena calon lain melakukan politik pragmatis.
Sejauh ini, khususnya di Aceh belum ada kesadaran kolektif untuk mempertahankan intelektual sebagai sesuatu yang logis untuk diperjuangkan di ajang pilkada. Seorang intelek yang maju pilkada belum mampu merangkul sebahagian besar intelek yang belum terkontaminasi, apalagi kesadaran kolektif kaum intelektual sendiri untuk memberi dukungan kepada calon tertentu dalam konteks memperjuangkan kaum intelektual sebagai pemimpin yang mampu membawa perubahan sangat minim.
Sehingga, ketika hari penentuan, suara (kertas suara) kaum intelektual menjadi suara-suara yang berserakan yang bergantung pada kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Atau lebih naif lagi menjadi tidak berbeda antara 1 kertas suara seorang professor dengan 1 kertas suara seorang petani yang tidak berkesempatan menamatkan sekolah dasar. One man one vote berlaku sekali. Seharusnya, 1 suara seorang professor dapat menggerakkan beberapa suara lainnya untuk sesuatu yang mereka yakini sebagai hal yang logis untuk diperjuangkan.
Sementara itu, intelektual di kelas mahasiswa yang merupakan semangat penggerak dan bagian dari agent of change juga terkotak pada sekat almamater atau terjebak pada tim sukses kanda (senior) yang mengabaikan intelektual dan memanjakan mereka dengan program ‘pemberdayaan’ pra pemilihan. Atau barangkali bermaksud melakukan perubahan dengan mendukung seseorang dari daerah asalnya tapi belum mampu mengimbangi intelektualiasnya yang masih labil (belum menemukan jati diri sebagai intelektual).
Menjadi kaum intelektual tentunya tidak mudah. Butuh waktu yang panjang dan biaya besar untuk menjadi warga kampus. Tentu saja, alasan klise kuliah untuk pekerjaan dan mendapatkan ijazah itu sudah usang. Tapi mempersiapkan diri menjadi manusia yang berkualitas merupakan alasan yang mudah diterima semua orang, artinya menjadi intelek.
Namun ketika sekian banyak intelek, sekian banyak pengorbanan untuk mencapai itu, berderet ilmu pengetahuan yang menuntut pertanggung-jawaban moral, saat berhadapan dengan pilkada, semua itu dikalahkan dengan politik pragmatis, dengan uang, maka sakitnya tuh di mana?
Dan bagi para kaum intelektual yang bertarung dalam pilkada secara pragmatis, sebuah pesan saja, yang berlaku adalah gol bunuh diri secara intelektual. Semakin banyak kaum intelektual yang terlibat dalam politik pragmatis, maka artinya negeri ini semakin menuju kehancurannya bersebab aksi gol bunuh diri intelektual secara berjamaah.
Kenapa? Karena pengetahuan adalah petunjuk dan penanda arah. Jika pengetahuan yang didapatkan dari berbagai universitas tidak mampu menghasilkan perubahan dalam tatanan politik dan sosial, maka keberadaan kampus yang melahirkan intelektual juga bertanggungjawab secara moral.
Inteltektual adanya untuk inteklektual. Jika intelek yang mengabaikan kapasitasnya, maka seharusnya ia dilihat sebagai contoh intelektual yang tidak jadi intelek. Intelek cacat. Dan ketika ia sendiri membuat dirinya cacat, maka apa yang diharapkan dari seorang yang sanggup membunuh karakternya sendiri?
Pemilih rasional selalu dikatakan sangat sedikit jumlahnya di era politik sekarang. Mungkin saja, mengingat pendidikan politik (hampir) tidak dilakukan lagi oleh partai politik. Tapi kita harus yakin bahwa pemilih di level grass root selalu diambang kegamangan ketika dihadapkan pada kandidat mana yang harus dipilih. Mereka tidak melihat tokoh yang sebenarnya meski ia kenal dengan kandidat. Karenanya ruang kosong itu harus diisi oleh para intelektual.
Beberapa hal yang paradoks selalu dikembangkan untuk justifikasi dan daur opini untuk mengelabui. Bahwa sangat sedikit pemilih rasional, padahal hampir setiap rumah tangga sekarang memiliki gadget untuk kebutuhan informasi. Bahwa kandidat atau parpol tertentu membela agama padahal mereka bertarung menyasar pemilih dengan agama yang sama. Bukankah agama telah mempunyai rule-nya sendiri?
Beberapa saat lagi, Aceh akan menghadapi pileg dan pilkada. Kaum intelek harus mampu menunjukkan pertarungan yang fair dan adu gagasan. Tidak ada yang lebih penting dari membangun Aceh yang sudah lama terpuruk dan kemiskinan yang semakin bengkak. Itu butuh konsep dan kaum intelektual adalah jawabannya. Bukan alumni dengan ijazah kaleng-kaleng.
Berjayalah intelektual! Bangkitlah!
Ya….Anda yg punya laqap pendeknya Boy Abdaz juga termasuk dalam klp intelektual.
Namun pemikiran2 yg bersifat edukativ sudah jarang terexpos, nah hrpn kami sering2 lah berbagi pd individu atau klpk2 yg suka baca.