“Meski Snouck menolak nyaris apa pun penggambaran positif tentang sejarah, agama dan kebudayaan Aceh, ia tidak bisa menampik kekagumannya pada hikayat, kesusatraan yang diproduksi di Aceh.”
Pengetahuan tentang kehidupan sejarah dan kebudayan Aceh pra-kolonial sebenarnya baru terbuka luas setelah globalisasi, “print capitalism” dan munculnya semangat post-kolonial di kalangan para ilmuwan.
Setelah perang terbuka dengan Belanda pecah sejak 26 Maret 1873, sejarah dan kebudayaan Aceh mengalami rangkaian panjang kecelakaan, dari sebuah bangunan identitas dan entitas negara-bangsa yang lantas rubuh saat ruling class-nya dilucuti dan intelektualnya kaum ulama diburu dan dibunuh.
Sejak itu, selama beberapa dekade Aceh berada dalam keadaan darurat perang. Dampak besar yang bermata dua. Pertama dampak nyata terhadap kemunduran peradaban akibat perang yang sudah pasti menghancurkan mata rantai kebudayaan Aceh dan ekspresinya. Dampak kedua adalah munculnya satu pola produksi pengetahuan dengan sudut pandang baru tentang Aceh.
Baca: Sejarah Kebudayaan Aceh; dari catatan ke catatan
Snouck Hurgronje, seorang etnografer Belanda, menjadi Acehnolog paling berpengaruh di zaman kolonial (hingga kini, di luar persoalan etika intelektual tokoh ini, para ilmuwan tentang etnografi Aceh tidak bisa mengacuhkan karyanya sebagai rujukan primer).
Snouck tertarik meneliti Aceh setelah ia tinggal di Jeddah dan bergaul dengan rombongan haji yang berasal dari kawasan Jawi. Banyak cerita tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda yang dibawa oleh para peziarah.
J.J Witkam dalam satu tulisannya tentang biografi Snouck Hurgronje menyatakan bahwa tokoh ini sangat terobsesi pada segala hal tentang Islam. Witkam meyakini bahwa cerita-cerita heroik tentang masyarakat muslim di Nusantara amat menarik perhatian Snouck dan hal tersebut menjadi landasan kuat ia melamar sebagai pegawai kolonial di Hindia Belanda, untuk posisi penasihat urusan agama Islam.
Snouck memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan politik kolonial di Aceh, terutama terkait politik Islam. Bagi Snouck strategi memahami kenapa perlawanan Aceh terus berkobar harus ditelusuri dari hal-hal yang paling prinsipil, dimulai siapa dan inti kebudayaan sebenarnya penghuni kawasan paling utara pulau Sumatra ini. Serta apa yang membedakan perlawanan Aceh dengan perlawanan-perlawanan di kawasan Nusantara lainnya.
Snouck meneliti secara menyeluruh aspek kebudayaan Aceh, apa yang mereka percaya, apa yang mereka makan, sistem penanggalan, hukum yang diikuti, apa yang menghibur mereka, struktur elit, bahasa dan dialek, prosesi perkawinan & perceraian, warisan, hingga dongeng-dongeng yang ada dalam masyarakat.
Karya etnografi-nya menjadi satu monograf paling lengkap soal Aceh hingga saat ini. Meski bukan seorang antropolog, dan ilmu antropologi saat itu belum menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, Snouck muncul sebagai satu contoh keterkaitan antara antropologi dan kolonialisme.
Hasil penelitian Snouck Hurgronje tentang struktur masyarakat Aceh juga terbukti diterjemahkan dan dijadikan basis oleh Van Heutz dengan operasi pembantaian massal di kantong-kantong perlawanan, terutama menargetkan kaum ulama sebagai sasaran pembunuhan.
Snouck membawa angin skeptisime terhadap apa pun yang diproduksi sebelumnya. Sebelum Snouck, beberapa ilmuwan dan pegawai kolonial Belanda yang menyertai penakhlukan Aceh telah menulis tentang berbagai hal terkait Aceh. Beberapa karya cikal bakal etnografi Aceh seperti seperti Jacobs, J., Het familie- en kampongleven op Groot-Atjeh: eene bijdrage tot de ethnografie van Noord-Sumatra, atau P.J. Veth, Atchin en zijne betrekkingen tot Nederland, topografisch-historische beschrijving.
Jika Jacob, K.F.H van Langen, J.A Kruyt, L.W.C van Den Berg, di antara beberapa pegawai kolonial yang mendiskripsikan Aceh dengan cara pandang eksotisme oriental, Snouck dengan nada cemooh meragukan kegemilangan Aceh yang dilukiskan oleh para pendahulunya. J. Kreemer juga menulis dua jilid besar buku berjudul Atjeh, namun popularitasnya masih satu tingkat di bawah monograf De Atjehers yang ditulis oleh Snouck Hurgronje. Tidak jelas alasan mengapa karya Kreemer yang lebih “netral” tentang Aceh tidak pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dibandingkan dengan karya Snouck yang telah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia hingga dua kali.
Bagi Snouck, membaca bagaimana ribuan gajah berjejer rapi dan berfungsi sebagai benteng istana, atau membayangkan air Krueng Aceh sebening air mineral botolan dan orang-orang yang menampi emas di pinggirannya, adalah fantasi.
Hal itu sepertinya berlanjut pengaruhnya berlaku turun temurun hingga ke abad-21 di kalangan orang Aceh sendiri. Mudah juga bagi seseorang menuduh catatan-catatan pelawat yang kita sudah bahas di atas bercampur aduk antara pendaratan mereka di satu tempat dengan tempat lain, tentu dengan mengenyampingkan fakta bahwa sejumlah kesamaan yang dikandung dalam catatan-catatan peniaga dan diplomat tersebut yang nyaris tidak mungkin mereka bersepakat melihat dan menulis hal-hal yang memperkuat satu sama lain.
Meski Snouck menolak nyaris apa pun penggambaran positif tentang sejarah, agama dan kebudayaan Aceh, ia tidak bisa menampik kekagumannya pada hikayat, kesusatraan yang diproduksi di Aceh. Bentuk sastra cerita yang memiliki hukum tersendiri dan pengetahuan yang dikandungnya mengilhami Snouck untuk mengumpulkan, menyalin, dan mengangkut begitu banyak karya hikayat bersama dirinya ketika kembali ke Leiden, Belanda.
Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari paper berjudul: Kuasa, Tubuh dan Sastra (Kilas Kebudayaan Aceh dalam Rihlah dan Catatan Sejarah), yang disampaikan pada Kongres Kebudayaan Aceh (KKA) II 2024 di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Kota Jantho, Aceh Besar, Selasa, 7/5/2024).