Gempabumi Sumatra 1861 nyaris dilupakan dalam narasi mitigasi bencana. Gempabumi Sumatra 1861 merupakan puncak dari rangkaian gempabumi di bawah permukaan (slow-slip) teramat panjang. Terjadi nyaris 32 tahun dalam bentuk slow-slip.
Getaran gempabumi Sumatra 1861 terasa hingga semenanjung Melayu dan bagian timur Pulau Jawa. Lebih 1000 orang dilaporkan meninggal dunia. Demikian ditulis Newcomb, K.R.; McCann W.R. (1987). Dalam Journal of Geophysical Research berjudul Seismic history and seismotectonics of the Sunda Arc, yang disitat Komparatif.ID, Rabu (18/12/2024).
Dalam penelitian lebih baru (2006) pada jurnal yang sama, Natawidjaja, D. H.; Sieh K.; Chlieh M.; Galetzka J.; Suwargadi B.W.; Cheng H.; Edwards R.L.; Avouac J.-P. & Ward S. N.berjudul Source parameters of the great Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls (PDF), menyebutkan, gempabumi megatrust telah beberapa kali memporak-porandakan Sumatra. Bahkan beberapa dari gempabumi megatrust tersebut memicu terjadinya tsunami.
Baca: Tilly Smith, Selamatkan 100 Orang dari Tsunami Berkat Belajar Geografi
Gempabumi megatrust (gempa raksasa) yang tercatat memporak-porandakan Sumatra antara lain terjadi 1797, 1833, 1861, 2004, 2005 dan 2007. Megathrust yang lebih kecil terjadi di celah yang tersisa antara daerah yang bergeser saat terjadinya gempa besar, yaitu pada tahun 1935, 1984, 2000 dan 2002.
Gempabumi Sumatra 1861 yang terjadi selama tiga menit, yang diawali oleh gempa lebih kecil beberapa hari sebelumnya, telah membuat Pulau Nias terangkat lebih tinggi. Para ahli telah mengukurnya dengan GPS koral mikoratol di keliling Pulau Nias, sebelum menerbitkan hasilnya.
Cerita tentang gempabumi dan tsunami Samudera Hindia—juga disebut gempabumi dan tsunami Aceh—pada Minggu, 26 Desember 2004 merupakan yang paling mengharubiru. Tapi soal tingginya gelombang, gempabumi Sumatra 1861 ternyata lebih tinggi.
Di bagian sisi barat Pulau Nias, tinggi gelombang akibat gempabumi Sumatra 1861 mencapai tujuh meter. Dugaan Danny Hilman Natawidjaja, gempabumi Sumatra 1861 telah merobek bidang kontak zona penunjaman di antara pulau dan palung sehingga pergeseran lempeng yang terjadi mengangkat bagian laut dalam dan mendorong banyak volume air ke atas.
Menurut catatan yang diposting di situs Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sumatra Barat, gempabumi Sumatra 1861 menyebabkan air laut bergolak luar biasa. Catatan itu tercatat di Pantai Air Bangis. Air di dalam sungai terkuras habis, yang diikuti oleh naiknya air laut ke darat dengan sangat kencang dan kuat. Proses naik turunnya air terjadi 15 menit sekali. Berulang-ulang hingga siang hari pada 17 Februari 1861.Ribuan ikan dilaporkan mati.
Di Pulau Tello pada gugusan Pulau Nias, satu jam setelah terjadi goncangan yang pertama, air laut mengalir ke darat dengan kuat. Pepohonan yang terkena hempasan air laut bercampur belerang, seluruhnya mati setelah beberapa waktu kemudian. Pantai terendam sepenuhnya. Sepanjang malam pulau ini digenangi sebanyak 4 kali gelombang yang bergejolak. Hal ini menimbulkan kerusakan yang parah dan 700 rumah tenggelam serta seluruh tumbuhan di pulau ini mati.
Sibolga juga terkena dampak parah dari tsunami yang menjaar sekitar 500 kilometer sepanjang tepi pantai. Tidak lama setelah goncangan gempabumi, air laut di Pantai Sibolga surut. Peristiwa surutnya air laut terjadi dua kali. Kekuatan air surut itu sangat kuat. Kapal-kapal yang sedang berada di seputaran pantai diseret paksa hingga ke tengah laut.
Kapal-kapal itu kemudian dihempaskan ke pantai yang telah kering. Gemuruh gelombang tinggi menghadirkan suasana horor luar biasa. Air laut dan segenap bawaannya mengenangi kota dan desa di sepanjang pantai.
Gunung Sitoli yang berlokasi di tenggara Pulau Nias, mendapatkan serangan sangat dahsyat dari tsunami. Air laut surut hingga 32 meter. Setelah “mengambil ancang-ancang”, air laut dengan kecepatan tinggi menyerbu daratan. Dengan kekuatan sangat besar, menghancurkan perkampungan dan daratan yang diterjang.Banyak penduduk meninggal dunia. Satu kapal berukuran besar dihempas ke darat Pantai Damula, di sebelah timur Nias.
Dalam sebuah buku birografi miliknya Mohammad Saleh yang diterbitkan oleh cucunya Soetan Mahmoed Latif dengan judul Riwajat Hidoek dan Perasaian Ambo,Mohammad Saleh Datoek Orang Kaya Besar (1941), ikut mencatat peristiwa itu. Disebutkan bahwa sang saudagar sedang berlabuh di Pulau Tello. Saat itu usia saudagar masih 20 tahun. Ia merupakan peniaga terkemuka dari Minang pada peralihan abad ke-19 dan abad ke-20.
Ia punya hubungan dengan Aceh Darussalam. Ayahnya bergelar Peto Radjo, seorang keturunan ulebalang asal Rigaih—saat ini Rigaih masuk Kabupaten Aceh Jaya.
Dalam catatan Mohammad Saleh yang saat kecil hidup miskin, tiga hari sebelum berangkat meninggakan Tello, sekitar pukul 20.00, datanglah gempabumi. Kapal miliknya terdorong-dorong mengikuti gelombang laut. Seluruh penduduk yang terdiri dari orang Melayu, Tionghoa, dan Nias, dilanda ketakutan. Mereka berlarian ke sana kemari mencari perlindungan.
“Gempa itu boleh dikatakan keras dan agak lama gojangnja,” tulis Muhammad Saleh dalam catatan hariannya.
Wartawan Deli Courant dalam sebuah laporannya tentang bisnis lada di pantai barat Sumatra, menuliskan pada 16 Februari 1861, terjadi gempabumi yang episentrumnya di Pulau Nias memiliki kekuatan mencapai 8,4 magnitudo, yang menyebabkan terjadinya tsunami yang diberinama tsunami Sumatra 1861.