Gadoh Bangka, Gadoh Udeung: Ironi Sistem Tambak Intensif

Mangrove Bireuen Gadoh Bangka, Gadoh Udeung: Ironi Sistem Tambak Intensif
Rima Shah Putra ST, M.Ling, alumnus Prodi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pacasarjana Universitas Almuslim – Peusangan, pegiat lingkungan di FDKP (Forum DAS Krueng Peusangan), berdomisili di Kota Juang, Bireuen.

 Gadoh Bangka, Gadoh Udeung. Demikian agaknya kalimat untuk menggambarkan situasi yang dihadapi para petani tambak di Aceh saat ini. Setelah era kejayaan budidaya udang windu (1982–2001) berakhir akibat gelombang penyakit, lahan tambak tak hanya terlantar, tetapi juga kehilangan sebagian besar hutan mangrove, penjaga keseimbangan ekosistem kita.

Untuk memahami akar persoalan ini, kita perlu menengok kembali bagaimana endatu kita memandang dan memanfaatkan hutan mangrove sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan.

Meski tidak sepandai ilmuwan saat ini, mereka telah mengenal manfaat hutan mangrove sebagai sumber protein (ikan, udang, kerang dan tiram) murah bagi keluarganya, sekaligus sebagai pelindung dari bakat dan angèn laôt yang tak terduga. Dahan dan rantingnya yang mati sebagai kayu bakar, sementara para tabib yang mahir memanfaatkan aneka ragam dan dan buah yang tumbuh didalam hutan sebagai obat.

Namun, seiring masuknya pengaruh kolonial, hubungan harmonis ini mulai terganggu. Permintaan dari negara–negara Eropa telah mendorong masyarakat Aceh semakin “giat” merambah hutan mangrove.

Masyarakat di sepanjang pantai Aceh menebang mangrove baik untuk tujuan ekspor tanin ke Eropa dan Amerika Serikat; ekspor arang, kayu konstruksi dan kayu bakar ke Singapura; bahkan digunakan sebagai bantalan rel untuk pembangunan “Trem Atjeh.”

Diperkenalkan teknologi tambak eungkôt gemulôh oleh kolonial Belanda, turut berkontribusi pada konversi hutan mangrove. Meski setakat itu, dampaknya tidak terlalu signifikan, karena petambak masih mempertahankan mangrove di tengah lahan.

Godaan devisa

Perang Dunia II mengakhiri masa kolonial. Dunia kembali membuka babak baru permintaan terhadap sumber daya laut, termasuk udang windu, dengan skala yang lebih besar dan ambisius.

Hal ini terutama dipicu oleh pertumbuhan ekonomi global yang menyebabkan peningkatan konsumsi seafood, termasuk udang, di berbagai negara. Permintaan terbesar datang dari Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Sementara negara-negara seperti Cina, India, Thailand, dan Indonesia sebagai eksportir utama.

Baca jugaMenggugat “Punahnya” Mangrove di Bireuen

Pada awalnya, udang windu tersebut diperoleh para nelayan dengan cara menjala di alam liar (wild shrimps). Meningkatnya permintaan konsumen, mendorong nelayan menangkap udang lebih agresif dengan menggunakan pukat harimau (trawl). Seiring pelarangan trawl yang merusak ekosistem pesisir dan laut oleh Keppres No.39 Tahun 1980, nelayan pun kemudian mencari alternatif dengan cara budidaya sistem tambak (farmed shrimps).

Permintaan tajam negara importir udang windu sejak dari 1970–an, mendorong harga udang windu di pasar dunia terus mengalami peningkatan. Pemerintah pusat yang membutuhkan devisa dari ekspor, kemudian mendorong petani meningkatkan produksi udang windu melalui usaha budidaya tambak secara ekstensif maupun intensif.

Usaha meraup devisa ini tampaknya berhasil, karena besar kontribusi udang terhadap penerimaan negara pada 1980–an digambarkan pernah menduduki peringkat kedua nilai ekspor setelah Migas. Meski nantinya, sistem tambak intensif itu akan mengubah wajah akuakultur di Aceh dan Indonesia.

 Diperkenalkannya sistem tambak intensif

Perubahan drastis akuakultur dalam interaksinya dengan mangrove di Indonesia dan khususnya Aceh, terjadi sejak diperkenalkannya sistem tambak intensif maupun semi–intensif oleh pemerintah Orde Baru pada 1976, melalui Proyek Peningkatan Hasil Tambak. Proyek ini merupakan bantuan teknis dan finansial asing berskala besar di Indonesia.

Proyek menetapkan 2 strategi untuk meningkatkan produksi tambak: intensifikasi produksi di tambak yang ada di provinsi Aceh, dan pembangunan tambak baru (ekstensifikasi) di provinsi Sumatera Utara. Yang pertama dicapai dengan memperkenalkan teknologi yang telah ditingkatkan, meliputi pemupukan, penebaran benih yang dikelola, penggunaan pestisida, meminimalkan kehilangan benih selama penanganan, dan perbaikan fisik tambak.

Proyek ini berkontribusi pada pertumbuhan budidaya udang, yang kemudian berkembang ke industri udang berorientasi ekspor Indonesia. Namun, pendekatan teknis dari tenaga ahli asing saat itu, yang merekomendasikan pembersihan mangrove, justru berkontribusi pada degradasi lingkungan yang parah.

Peristiwa tersebut diceritakan Tajerin dkk., dimana para ahli dari luar negeri menyarankan pembersihan jalur mangrove di dalam areal pertambakan. Alasannya produktivitas tambak Aceh rendah karena pohon bakau yang ditanam di sepanjang tanggul dan saluran itu menghabiskan unsur hara dari pupuk yang diaplikasikan untuk menumbuhkan makanan alami di dalam tambak. 

Dalam versi yang hampir sama, Zainun dkk. juga menemukan tenaga ahli yang sama di Dinas Perikanan Provinsi Aceh tersebut merekomendasikan pembersihan mangrove sekitar tambak karena dapat meningkatkan keasaman air melalui daun dan akarnya, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas tambak khususnya budidaya udang.

Dinas Perikanan Provinsi Aceh yang menaungi tenaga ahli tersebut, pada 1987 kemudian memang membatalkan rekomendasi teknis diatas dan mulai melakukan reforestasi mangrove.

Namun kerusakan sudah terlanjur, kawasan tambak telah berubah menjadi gurun, sementara reforestasi butuh waktu yang lama untuk kembali ke kondisi inisial. Mindset petani juga berubah, karena kini mereka tak lagi melihat mangrove sebagai subsistem budidaya. Ironis disini, karena intensifikasi yang semula dianggap jalan keluar, kemudian justru menjadi bumerang ketika alam mulai memberikan peringatannya.

Ketika alam melawan balik

Kabupaten Bireuen pernah dikenal sebagai sentra–produksi udang windu di Aceh bahkan nasional, dengan luas areal tambak mencapai 4.945,6 ha, tersebar di 12 kecamatan pesisir.

Saat budidaya udang windu mulai dijalankan pada 1980–an, tambak masih memberikan hasil terbaiknya. Para petani dianggap hidup lebih dari cukup, dari hasil bertambak udang windu yang bernilai tinggi untuk tujuan ekspor ke Eropa. Fenomena kemakmuran terlihat dari perubahan gaya hidup masyarakat pesisir yang mulai membeli kendaraan bermotor dan membangun rumah beton.

Meski pada awal penerapan sistem intensif tampak menjanjikan dan memberi bukti kesejahteraan secara langsung kepada petani, namun seiring perjalanan waktu produktivitasnya terus menurun. Semua itu berubah seketika, penyakit viral (disebabkan virus) maupun bakterial (disebabkan bakteri) muncul silih berganti menyerang udang dalam tambak.

Laporan dari kecamatan Jangka pada 1998 menyebutkan setidaknya ada 3 penyakit viral yang menyerang budidaya windu di sana, yaitu Monodon Baculo Virus (MBV), White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dalam waktu 3–4 hari memicu kematian massal udang.

Rangkaian penyakit pada udang ini juga bertahan lama karena ancamannya masih dirasakan hingga hari ini, bahkan setelah varietas udang windu diganti dengan vannamei  (litopenaeus vannamei) pada 2001. Tak butuh waktu lama, kemunculan penyakit TSV terjadi di Jawa Timur pada 2003, dan Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) di Situbondo pada 2006. Sejauh ini, ada 4 (empat) penyakit viral yang signifikan dilaporkan pada udang vaname di Indonesia, yaitu: WSSV, TSV, IMNV dan Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV).

Fenomena wabah penyakit udang secara mendasar dijelaskan para ahli sebagai ketidakseimbangan pada interaksi antara inang–patogen–lingkungan (disease triangle theory). Para ahli menyimpulkan bahwa penurunan daya dukung lahan, merupakan faktor utama penyebab kegagalan budidaya udang yang berdampak pada produksi. Kegagalan panen yang seringkali dialami petani tambak udang windu merupakan petunjuk telah terjadi degradasi kualitas lahan dan air pendukung usaha budidaya.

Pada sistem intensif yang dicirikan padat tebar yang tinggi dan pemberian pakan yang terus bertambah seiring pertambahan berat udang, telah meningkatkan konsentrasi bahan organik dan feses yang terdapat di dalam media pemeliharaan.

Hal ini meningkatkan pelepasan senyawa-senyawa yang bersifat toksik dan membahayakan udang yang dipelihara, seperti amonia dan nitrit. Menyebabkan udang stress dan akhirnya rentan terhadap penyakit, baik oleh patogen yang berasal dari virus, bakteri, protozoa, dan lain-lain.

Memburuknya kualitas air turut pula mempengaruhi kualitas tanah dasar tambak, dikarenakan akumulasi bahan organik yang tak dapat dihindarkan selama kegiatan budidaya. Karena itu substansi-substansi beracun seperti amonia, nitrit, H2S dan metan perlu dihilangkan dari lapisan tanah dasar.

Di balik kegagalan panen dan wabah penyakit yang terus berulang, tersembunyi akar masalah yang lebih dalam: hilangnya pelindung alami kita, hutan mangrove.

 Hilang mangrove, hilang sejuta manfaat

Hutan mangrove di Aceh sendiri telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak dalam periode 1982–2001 yang merupakan periode emas budidaya udang windu di Aceh, dimana hampir semua kota dan kabupaten di pesisir timur Aceh memiliki lahan tambak udang windu. Menurut Wetlands International Indonesia Programme, luas lahan mangrove di Aceh sebelum tsunami 2004 adalah sekitar 53.512 ha, itu sudah termasuk hasil konversi mangrove sebelumnya menjadi tambak seluas 27.592 ha.

Hilangnya mangrove berarti kehilangan sejuta manfaat ekologi yang menopang kehidupan pesisir. Padahal ekosistem mangrove menyediakan unsur hara, melalui guguran daun (serasah) yang diuraikan oleh mikroorganisme sebagai sumber makanan bagi biota air disekitarnya. Perakarannya digunakan larva udang sebagai tempat berlindung dari serangan predator sampai ia tumbuh menjadi udang muda. 

Mangrove yang berada disekitar tambak bukan saja sebagai peneduh, tapi juga mengurangi paparan langsung sinar matahari. Ini membantu menjaga suhu air tambak lebih stabil. Selain fungsi fitoremediasi mangrove, yang dapat mengurangi atau menghilangkan polutan dari lingkungan melalui mekanisme biologis, menyaring dan menyerap nutrien yang berlebihan selama proses budidaya.

Kini, saat gelombang perubahan iklim makin terasa dan produktivitas tambak terus terpuruk, kita diingatkan bahwa keberlanjutan hanya bisa diraih dengan kembali merangkul hutan mangrove, bukan mengabaikannya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here