Komparatif.ID, Jakarta— Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kembali mengajukan gugatan praperadilan terhadap status tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Gugatan ini didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (12/3/2025) dengan nomor registrasi 42/Pid.Pra/2025/PNJKT.SEL. Dalam gugatan tersebut, Firli menggugat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto.
Kuasa hukum Firli, Ian Iskandar, mengatakan langkah hukum ini merupakan upaya mencari keadilan karena kasus yang menjerat kliennya dinilai berlarut-larut tanpa kepastian.
Menurutnya, status tersangka yang disandang Firli sudah berlangsung selama lebih dari satu tahun empat bulan tanpa perkembangan berarti.
Polda Metro Jaya telah menetapkan Firli sebagai tersangka sejak 22 November 2023 dalam kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo.
Eks Ketua KPK itu dijerat Pasal 12 e dan atau Pasal 12 B dan atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 65 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Baca juga: Pencekalan Firli Bahuri Bisa Diperpanjang dengan Mekanisme Baru
Meski telah berstatus tersangka selama lebih dari setahun, penyidikan yang dilakukan Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Berkas perkara Firli telah dua kali dikirimkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, namun dua kali pula dikembalikan karena dianggap belum lengkap.
Sebelumnya, pada Desember 2023 lalu Firli Bahuri juga pernah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, hakim tunggal Imelda Herawati menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa gugatan Firli mencampurkan aspek formil dan materiil dalam praperadilan.
“Menimbang, bahwa selanjutnya ketentuan Pasal 2 ayat 2 Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016, mengatur pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada atau paling sedikit 2 alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara,” terang hakim Imelda saat membacakan putusan sidang.
Hakim merujuk pada Pasal 2 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang menegaskan pemeriksaan praperadilan terkait penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu keberadaan minimal dua alat bukti yang sah, tanpa memasuki substansi perkara.