Fenomena Muslim di Media Sosial

Muslim
Syah Reza Ayub. Koleksi pribadi.

“Di media sosial, banyak muslim yang justru menjadi orang lain. Kehilangan identitas, dan meniru sesuatu yang bukan bagian dari budaya Islam itu sendiri.”

Salah satu pemuda terkaya di dunia, pemilik platform media sosial Facebook, Mark Zuckerberg, 2014 lalu sempat singgah ke Indonesia. Kedatangannya ke negeri ini bukan tanpa alasan. Ia melakukan ‘blusukan’ meninjau salah satu pasar terbesarnya. Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia (231 juta) ternyata menjadi konsumen potensial. Menempati peringkat empat sebagai negara pengguna Facebook terbanyak pada tahun itu. Saat ini, mungkin grafiknya sudah berbeda, seiring melejitnya Tiktok. Namun, melihat potensi indonesia, ceo media sosial manapun akan memperhitungkannya sebagai market.

Tak hanya Facebook atau Tiktok, jika melihat grafik pengguna media sosial umumnya, masyarakat indonesia tergolong sangat aktif. We Are Society pada Januari lalu, merilis bahwa jumlah aktif pengguna media sosial di Indonesia tahun 2023, sebanyak 167 juta dari populasi penduduk 275 juta jiwa, (Indonesiadata.id). Artinya, ada 60% lebih memiliki akun media sosial, dan muslim adalah pengguna terbanyak di negeri ini. Lalu, adakah masalah atas fenomena ini?

Sepintas masalahnya jelas tidak ada, karena dampaknya bersifat abstrak. Namun, kalau dikaji lebih dalam, efek media sosial bisa menyerang inti eksistensi manusia, yaitu jati diri. Jati diri muslim sejatinya terikat dengan kepribadian yang selalu ditopang oleh akhlak yang baik. Sebagaimana Nabi yang menjadi panutan setiap muslim. Kata Nabi, “Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” Ciri khas akhlak itu yang luput dari identitas masyarakat modern.

Baca: 1 Tahun Mujiburrahman Nakhodai UIN Ar-Raniry

Zaman milenial identik dengan transformasi gaya hidup. Akhlak sudah jadi barang langka. Menggunakan media sosial, muslim malah terjebak dalam konsumerisme aktif tanpa sikap kritis. Menjadi penikmat bahkan larut dalam pusaran digital yang tersistem dengan nilai-nilai materialis-hedonistik tersebut. Ketergantungan padanya membentuk habitus, sampai seseorang mengalami adiksi. Sifat adiksi media sosial diakui oleh para pengamat cukup mempengaruhi pola hidup, kesehatan, dan bahkan mengganggu kepribadian. Menurut kalangan psikiater, candu media sosial tidak bedanya dengan candu obat terlarang, sama-sama kebergantungan yang berefek negatif. Namun, banyak yang menyangkal kesimpulan tersebut.

Wajah Muslim

Media sosial memang dikenal sebagai perangkat aplikasi digital berbasis internet sebagai penghubung komunikasi dan informasi secara global. Tidak ada batas teritorial, jarak dan ruang. Dunia terasa hanya dalam genggaman tangan manusia. Awalnya masih berada pada relnya, sebagai sarana komunikasi dan informasi. Sejak 10 tahun terakhir, dan semakin meluasnya akses internet, orientasi pengguna mulai terjadi pergeseran. Konten non-edukasi pun menjamur melampaui kebutuhan komunikasi.

Bagi muslim, kehadiran media sosial sebenarnya cukup menguntungkan karena terbuka ruang untuk menampilkan identitas islam yang sebenarnya. Selama ini, terhadap citra Islam, nyaris tidak ada media internasional yang jujur menampilkan kenyataan ril kehidupan muslim yang selalu mengedepankan moralitas dalam interaksi sosial, sikap ramah pada orang lain, berpakaian sopan, serta wajah indah ikatan keluarga muslim. Menampilkan citra positif muslim di media, bagi mereka (baca: Barat) sama halnya mengkritik secara tidak langsung kultur masyarakatnya sendiri yang kompleks dan berada dalam krisis moralitas. Narasi yang terus dirawat pada Islam, justru sebaliknya sebagai agama ekstrim, radikal, dan gaya hidup eklusif. Stereotip itu dibentuk dengan tujuan-tujuan politik, imbasnya penyakit islamophobia menjamur diberbagai belahan dunia.

Fenomena lain cukup miris, ketika ruang hura-hura dan hiburan tidak mendidik justru lebih digandrungi oleh mayoritas anak muda muslim. Ditambah kaum perempuan tanpa merasa berada dalam kontrol budaya luar yang cenderung merusak. Dalam hal gaya hidup, paling tragis menyaksikan perempuan muslim yang menggunakan pakaian tertutup, longgar namun ikut-ikutan tren kalangan yang pakaian tak lengkap. Berfoto ria dengan gestur ‘teukeusyak’ (baca: mentel), membuat video bergoyang-goyang, joget-joget hingga hal-hal yang tidak etis. Rasa malu seakan telah hilang, tercerabut dari identitas budayanya. “Jika rasa malu sudah tiada, maka berbuatlah sesuka hatimu,” (Iza lam tastahi, fashna’ ma syikta). Begitu ucapan Nabi tegas dalam sebuah hadist.

Media sosial memang problematis bagi muslim. Dibandingkan manfaat, mudharatnya lebih besar. Tak hanya merombak identitas namun media sosial juga mampu memoles karakter manusia agar eksis dalam ketidakjujuran. Di hadapan media sosial kita ibarat bunglon, berkamuflase dalam bentuk yang diinginkan. Orientasi tidak keluar dari meraih respon pemirsa, ingin diperhatikan, dipuji, diapresiasi hingga meraih simpatik. Sangat donya oriented. Hampir semua platform media sosial menyajikan orientasi demikian, dari icon hingga filter visual disediakan. Kita hanya bermain antara gerak jari dan wajah. Lalu, menciptakan diri sesuai kepribadian yang kita poles sendiri.

Baca: Bireuen, Daerah Merah Rumah Bandar Narkoba

Jika diperhatikan, media sosial lebih mirip pentas drama dibanding kehidupan nyata. Di hadapan penonton menjadi arjuna, di balik tirai hanya sebagai buruh yang bekerja pada industri, digaji lalu pulang. Memang rilnya demikian. Penuh dengan topeng kebohongan. Di ruang media sosial, kesadaran muslim dikonstruk oleh sebuah nilai absurd. Waktu terlewatkan begitu saja secara sia-sia. Sadar atau tidak, kita seperti terperangkap dalam lubang utopis yang tidak menemukan apa-apa, kecuali hampa.

Ciutan aktivitas dari menit ke menit, letupan amarah yang meledak tak terkendali, postingan satir dan sindiran, update foto alay yang kerap minus etika, video setengah waras dengan euforia, pamer kekayaan dan kebahagiaan bersama pasangan, sampai kuliner yang berlebihan. Begitu banyak yang diekspresikan, tetapi untuk apa itu semua? Bukankah hanya memenuhi kepuasan psikologis temporal? atas nama viral kita menggadaikan identitas muslim yang selalu dibalut oleh etika. Maka, tampaknya tak berlebihan kalangan psikiater, seperti Goldberg menyimpulkan adiksi media sosial bisa digolongkan dalam gejala Kejiwaan.

Ruang Kebebasan

Identitas muslim yang punya kepribadian kokoh, dan selalu dibalut oleh etika yang tinggi, menjadi tantangan serius di hadapan media sosial. Kepribadian kerap menjadi luluh, cengeng dan mudah rapuh dalam menghadapi hidup. Setiap ada masalah, media sosial menjadi teman curhat. Menjadi tempat pelampiasan kegalauan, penderitaan, kekecewaan, hingga kebahagiaan yang kita rasakan. Ruang privasi telah menjadi konsumsi publik tanpa sekat.

Dunia maya dengan wajahnya demikian, bukan tanpa nilai. Ia memang dipoles dengan sebuah nilai kebebasan dan pembebasan. Kebebasan manusia untuk berkehendak sesuka dirinya, sekaligus pembebasan manusia dari determinasi ideologi, keyakinan dan segala hal yang terkait dengan agama dan moralitas. Di sini, kita bisa memilih mau menjadi apa. Menjadi seorang sastrawan, politisi, akademisi, aktivis, filosof hingga ulama. Terserah. Tak ada pihak keamanan yang melarang menjadi apa dan siapa. Tak ada juga aturan digital yang membatasi kepemilikan otoritas. Siapapun boleh berbicara secara bebas.

Saat isu politik dikendarai oleh media, kita menjadi pengamat melampaui pakar politik ternama di dunia. Begitu juga saat isu agama mencuat, kitapun seketika menjadi ustaz dengan mazhab ‘kutipisme’ di Google dan online, melampaui seorang teungku yang menimba ilmu bertahun-tahun di pesantren. Bahkan, (maaf) pelacur pun bisa seketika berbicara layaknya seorang ustazah. Di sini, Otoritas telah dibajak dan menjadi milik bersama. Medsos memang cukup kental dengan warna postmodernism yang dekontruktif dan menolak kepakaran. Ia mendobrak kemapanan dan mengkampanyekan kebebasan manusia.

Eksistensi muslim di era digital ini telah kehilangan bentuk rilnya. Ini adalah ujian zaman, menentukan wajah keberislaman kita. Era sudah berubah, konvensional telah tergantikan dengan digital. Di mana media sosial penentu arah kita, tinggal kita memilih, menjadikannya sebagai wadah menebar kebaikan, atau tergerus oleh budaya konsumtif yang mengikis identitas islam? Tanyakan pada diri.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here