Komparatif.ID,Jakarta—Prabowo-Gibran merupakan penentu arah baru Indonesia. Bila memenuhi syarat, mereka akan berpasangan. Prabowo mewakili “kabinet rekonsiliasi”, sedangkan Gibran merupakan simbol persatuan antara Prabowo dan Jokowi.Putra Jokowi itu dilirik karena hasil kehendak pasar.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Fahri Hamzah, Sabtu (14/10/2023). Pria tambun asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menjelaskan, sistem politik Indonesia saat ini menghadirkan ketidakjelasan. Semuanya mengikuti pertimbangan sementara.
Menurutnya, satu-satunya kandidat presiden yang memiliki kejelasan dalam pencalonan hanyalah Prabowo. Sedangkan lainnya tidak memiliki dasar yang kuat untuk dicalonkan, termasuk para calon wapres.
Baca: Anis Matta Yakin Gelora Capai Target
Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka dalam bursa pencalonan, bukan kesalahan politisi muda PDIP. Sebagai Angkatan muda, ia punya nilai tawar politik; sebagai legacy Pemerintahan Jokowi.
Bila menggunakan platform rekonsiliasi dan legacy Pemerintahan Jokowi, menurut Fahri, pasangan Prabowo-Gibran menempati kecocokan paling tinggi.
Ihwal mengapa muncul nama Gibran, Fahri menjelaskan, semuanya bermuara dari ketiadaan sistem yang baik dalam pencalonan. Partai-partai besar memiliki tiket angkuh yaitu threshold. Mereka beranggapan bahwa telah memiliki kendali atas sistem politik.
“Pada awal masa sebelum mendekati pendaftaran, mereka tampak tenang seolah calon ada di kantong sendiri karena tidak memerlukan siapa siapa. Kata mereka tiket kami cukup dan kata mereka kami mudah mencari siapa pun yang kami mau untuk menjadi pemimpin yang akan datang,” kata Fahri Hamzah.
Keangkuhan itu akhirnya berbenturan dengan fakta politik, bahwa terdapat banyak lubang. Tiket threshold yang digenggam kalah populer ketimbang kehendak pasar yang dihasilkan melalui survei.
Fahri mengatakan dari dulu dia sudah mewanti-wanti tentang prosedur pencalonan yang harus dikontrol oleh mekanisme partai politik. Nominasi harus dilakukan melalui satu proses dari bawah, sehingga menjadi fungsi partai politik sebagai organisasi kerakyatan mencalonkan seorang kandidat sebelum dilakukan survei dan pertandingan atau perdebatan.
“Tidak banyak yang mau mendengar saran saya, bahkan juga termasuk para penyelenggara pemilu. Semua lupa bahwa kita sedang menciptakan sistem yang akhirnya akan berefek pada ketidakpastian dalam pencalonan. Seperti pemandangan hari hari ini semua calon presiden bukan merupakan proses nominasi partai tetapi kehendak survei dan pasar.”
Keadaan berbalik. Pasar lebih mahir mengajukan calon. Parpol besar gigit jari. Parpol kecil menari-nari. Bahkan relawan nampak lebih menawan.
Kalau boleh dipuji,katanya, hanya Prabowo yang sejak awal konsisten menolak threshold melalui Partai Gerindra. Beberapa partai lain juga ikut, mereka kalah tapi mereka juga lupa pada akhirnya lubang lubang memerangkap mereka dalam pencalonan orang populer yang tidak jelas kaderisasinya dalam partai politik.
Bukan Salah Gibran
Kini, kehadiran Gibran dalam bursa wapres, dikritik oleh sejumlah orang. Tapi Fahri justru memberikan pendapat lain. Baginya Gibran tidak bisa disalahkan.Dia hadir karena hasil preferensi tinggi mekanisme pasar.
Sebagai walikota yang mengerti isu isu eksekutif dan anak muda yang berbasis konsekuensi Jawa tengah, maka Gibran memiliki kriteria yang lengkap dalam memenangkan pertarungan ini.
“Sekali lagi, inilah sistem dan keadaan yang harus kita terima sekarang ini. Dan saya percaya Prabowo adalah yang akan memperbaikinya sehingga di masa yang akan datang basis pencalonan akan lebih mengakar pada dinamika rakyat melalui partai politik, bukan dinamika elit melalui pasar survey yg mahal,” katanya.
Ia melanjutkan, kemenangan Prabowo-Gibran nanti, jika pencalonannya memenuhi syarat, akan menjadi arah baru bagi penataan sistem berpartai ke depan. Partai politik harus kembali menjaga dapur politik dan ketatanegaraan Indonesia.