Komparatif.ID, Banda Aceh— Penyelesaian konflik gajah-manusia yang berlarut-larut tanpa kepastian kini mengancam mata pencaharian warga Bener Meriah dan Aceh Tengah. Ratusan masyarakat, yang awalnya berprofesi tani kini harus mencari pekerjaan di luar kampung untuk menghidupi keluarga.
Riskanadi Reje (Kepala Desa) Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah mengatakan, puluhan warganya kini harus bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit di Kecamatan Juli, Bireuen.
Padahal, dulu masyarakat desanya merupakan yang menghidupi keluarga dengan bertani. Namun, sejak gajah-gajah liar mulai memasuki perkampungan, ladang-ladang garapan masyarakat hancur.
Tidak hanya itu, salah satu gajah bahkan seolah bisa beradaptasi dengan penghalau yang dibangun warga. Gajah tersebut bebas keluar masuk ladang tanpa takut pagar kawat kejut.
“Dari gerombolan, ada satu yang berbeda, dia sudah tidak takut keluar masuk ladang meski ada pagar listrik. CRU dan BKSDA yang dulu turun pun kewalahan,” ujar Riskanadi saat konferensi pers Konflik Satwa-Manusia di Aliran DAS Peusangan di kantor Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Kamis (30/11/2023).
Reje Negeri Antara itu juga menuturkan, sejak konflik gajah 13 tahun lalu, sudah ribuan hektar ladang dan ratusan rumah masyarakat rusak. Setiap malam warganaya tidak berani keluar dan hanya bisa berdiam ketakutan di rumah.
“Gajah-gajah ini berani masuk ke kampung-kampung hingga ke rumah masyarakat, tidak jarang rumah mereka dirusak,” lanjutnya.
Tidak hanya sektor ekonomi yang terdampak, Riskanadi juga menuturkan konflik gajah menyebabkan proses belajar mengajar anak-anak terganggu. Sekolah kini lebih sering libur karena saat pagi, gajah-gajah liar sering kali lebih dulu masuk ke pekarangan sekolah dibandingkan siswa.
“Hal ini (konflik gajah) juga berdampak pada pendidikan, banyak yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya, karena gajah juga masuk ke sekolah,” ujar Riskanadi.
Baca juga: TPFF Klaim Pembukaan Lahan Sawit Penyebab Konflik Gajah di Bener Meriah
Riskanadi menjelaskan, selama 13 tahun terakhir pihaknya berkali-kali mencoba melapor konflik gajah ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, namun konflik gajah tidak kunjung selesai.
“Kami sudah sering melapor ke BKSDA Aceh, tapi belum ada tindakan. Mereka hanya bilang agar kami menunggu. Padahal, kejadian seperti ini sudah berlarut selama 13 tahun,” ujar Riskanadi.
Senada dengan pengalaman warga Negeri Antara, Mukim Datu Derakal Bener Meriah Syahrial menegaskan konflik gajah-manusia semakin meluas sering waktu karen berlarutnya penyelesaian.
Akibatnya, perekonomian ratusan masyarakat terancam, dan akses pendidikan bagi anak-anak juga terputus. Karena itu ia meminta pihak terkait segera menyelesaikan konflik gajah-manusia.
“Dampaknya ini juga berkaitan dengan jumlah kerugian, ekonomi warga terancam, tanaman yang dirusak dan lain-lain. Bahkan anak-anak kami kini juga takut bersekolah karena gajah” ungkapnya.
Syahrial mengatakan, saat ini 70 ekor gajah liar masih berkeliaran di kawasan Kecamatan Pintu Rime Gayo hingga Aceh Tengah. Ia juga menyebut BKSDA hanya pernah sekali mencoba menggiring gajah selama delapan hari namun tidak berhasil.
Karena gagal dan kehabisan waktu, tim BKSDA Aceh lalu kembali Banda Aceh meski sempat dihalang warga. Gajah jinak yang digunakan untuk menggiring gajah liar kini masih berada di Bener Meriah tanpa kepastian.