Ekonomi Aceh Dapat Dibangun Bermodalkan Emas Hijau

ekonomi emas hijau
Emas hijau (dunia pertanian) merupakan lahan besar yang belum digarap maksimal. Demikian disampaikan Abdullah Puteh, Senin malam (3/4/2023). Foto: HO for Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Ekonomi Aceh dapat dibangun dengan hanya bermodalkan emas hijau. Sebagai daerah agraris, Serambi Mekkah memiliki lahan pertanian dan perkebunan teramat luas. Hanya saja selama ini sektor tersebut belum benar-benar dapat menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat.

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) periode 2000-2004 Dr. Ir. Abdullah Puteh dalam diskusi informal dengan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh, Senin malam (3/4/2023) mengatakan sampai saat ini Aceh masih menjadi daerah termiskin di Sumatera. Data tersebut merupakan hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS). Persoalan kemiskinan merupakan hal yang krusial, namun belum kunjung dapat diatasi.

Menurut Abdullah Puteh, ekonomi merupakan tulang punggung sektor lainnya di dalam sendi sosial. Bila ekonomi ambruk, maka lainnya ikut terpuruk. Bila ekonomi bagus, bagian lain juga akan stabil.

Baca: Abdullah Puteh Siap Menjadi Gubernur Bila Rakyat Menginginkan

Salah satu yang perlu dilakukan adalah mulai menarasikan Aceh dari wajah ekonomi. Bukan semata isu “agama” dalam arti yang sempit. “Rakyat Aceh tidak mungkin menghilangkan diri dari Islam. Untuk memperhebat syiar Islam di Aceh, ekonomi masyarat islam-nya harus kuat,” sebut Abdullah Puteh.

Ke depan anak-anak negeri yang menimba ilmu di pesantren tidak lagi tidur di atas lantai maupun tikar. Tapi dapat tidur di atas kasur empuk dalam ruang berpendingin udara.

Untuk itu mulai saat ini potensi emas hijau yang tersedia di antero Aceh harus dikelola dengan baik dan terencana. Sehingga dunia pertanian tidak lagi menjadi “kutukan” tempat melanggengkan kemiskinan.

Untuk mengelola emas hijau, perlu pendekatan baru, konsep baru, dan berlandaskan hasil riset-riset terbaru.

“Saat ini kita sudah sangat ketinggalan. Apa yang kita lakukan untuk membangun ekonomi daerah, sudah jauh tertinggal dengan apa yang dilakukan di daerah-daerah lain,” sebutnya.

Abdullah Puteh sendiri hanya punya satu visi untuk membangun Aceh, yaitu pertanian. Tanpa perlu menyandingkan kepada kepada sektor lain, bila dikelola serius, pertanian Aceh akan menjadi raksasa ekonomi yang dapat menjadi pilar utama.

Selama ini, masalah utama yaitu rantai pasok yang tidak menguntungkan petani. Industri pengolah terlalu jauh dari Aceh, dan banyaknya agen-agen sehingga harga komoditas petani jeblok.

Ia menyebutkan sebagai contoh adalah singkong. Meskipun Indonesia masih mengimpor singkong dari Brazil. Sepanjang Januari-September 2020, Indonesia mengimpor 136 ribu ton singkong, dengan total nilai setara 58 juta dollar AS.

Pada Januari 2023, Pemerintah Indonesia kembali mengimpor jagung dari Brazil sebanyak 75,75 juta kilogram. Secara total, impor jagung pada Januari 2023 sebesar 97,48 juta kilogram, naik 7.792,81% dibandingkan Januari 2022 sebanyak 1,23 juta kilogram, atau naik 26,16% dibandingkan Desember 2022 yang sebesar 76,65 juta kilogram.

“Sementara di Aceh, bila ada petani menanam setengah hektare saja, takut  harus menjual kemana bila panen tiba. Paling dijual kepada produsen keripik yang pasarnya telah jenuh. Bagaimana bila hendak menanam 5000 hektare, mau dibawa kemana? Itulah dilema yang menghimpit dunia pertanian kita. Rantai pasok yang awut-awutan, sistem yang tidak fair, membuat potensi Aceh di bidang pertanian tidak memberikan dampak mengembirakan bagi petani,” sebutnya.

Mau tak mau, akhirnya hampir semua pemilik lahan di Aceh berlomba-lomba menanam sawit. Satu hektare dapat menghasilkan Rp5 juta per bulan. Tidak ada yang dapat menggenjot lebih dari itu. Padahal bila potensi emas hijau terkelola dengan baik, nilai yang didapat berkali-kali lipat lebih tinggi.

Oleh karena itu, menurut Abdullah Puteh, Aceh terlalu lama energinya terbuang untuk mengurus hal-hal yang tidak produktif, dan bahkan justru kontraproduktif. Potensi besar tambang emas hijau di depan mata, tak dapat dilihat sebagai peluang.

“Rakyat Aceh harus kritis terhadap pemimpin. Kritik pemimpin supaya tetap berada di atas rel,” imbuh Abdullah Puteh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here