DPRK Bireuen dan Panggung Feodalisme Politik

DPRK Bireuen
Muhammad Akmal. Foto: Dok. Pribadi.

DPRK Bireuen [bukan] lembaga perwakilan rakyat. Wujudnya lebih nyata sebagai perwakilan partai politik dan donator politik. Kepentingan elit lebih banyak diperjuangkan ketimbang kepentingan rakyat.

Sebagai rakyat Bireuen saya melihat lembaga perwakilan rakyat di Bireuen seperti tempat berkumpulnya proletariat kaget yang tiba-tiba menjadi borjuis, dengan segenap kemewahan fasilitas yang diberikan negara.

Baca: Hina Ketua DPRK Bireuen, Seorang Warga Samuti Aman Ditangkap

Satu sisi mereka mendapatkan 1 satu kursi di “parlemen rendah” tersebut tidak gratis. Meskipun mewakili rakyat, tapi untuk mendapatkan dukungan rakyat, tidak cukup dengan ide-ide pembangunan, dan integritas. Mereka mendapatkan kursi di DPRK, dengan upaya yang sangat menguras tenaga dan belanja.

Dengan fakta demikian, ketika mendapatkan kursi di DPR, salah satu misi utama yaitu secepatnya mengembalikan modal. Bahkan ada yang sampai berakhirnya masa tugas, modal bisa dikembalikan, tapi untung tak didapatkan. Ada juga yang justru terjerat utang-piutang, sehingga diuber-uber oleh pemberi utang hingga ke media sosial.

Dengan kondisi seperti itu, hubungan wakil rakyat—yang sejatinya wakil partai—tidak benar-benar menjadi perwakilan rakyat. Mereka hadir, bermusyawarah, dan kemudian memutuskan, karena prinsip pasar liberal. Akhirnya, tugas utama tidak dijalankan dengan lurus.

Dalam konteks terkini kita bisa melihat, DPRK Bireuen lebih sering menjadi panggung pertunjukan loyalitas partai ketimbang arena perjuangan untuk kepentingan publik. Fraksi-fraksi di dalamnya sibuk membongkar borok lawan, mengklaim diri sebagai pejuang rakyat, padahal rakyat sendiri makin bingung dengan pertunjukan politik yang tak berujung.

Rakyat tidak lagi memiliki pembela. Anggota parlemen rendah yang mereka pilih lima tahun sekali, tidak lagi mewakili mereka. yang diperjuangkan oleh anggota DPRK Bireuen merupakan kepentingan mereka sendiri dan kepentingan elit partai politiknya. Diakui atau tidak, yang terbangun bukan advokasi kepentingan publik, tapi sistem feodalisme. Hubungan patron-klien tumbuh kental. Anggota DPRK Bireuen lebih sibuk mengamankan posisi dan loyalitas politik, ketimbang menciptakan solusi konkret untuk masyarakat.

Meski berbuih-buih DPRK Bireuen bicara tentang pembangunan, kesejahteraan, keadilan, kemajuan, yang lahir justru kongkalikong. Mereka kritis terhadap A dan diam terhadap B. Mereka kritis ketika “di luar” dan menjadi pembela ketika “di dalam”.

Kalau kepentingan diri dan kelompok politiknya terusik, mereka akan bicara sampai berbuih-buih, seolah-olah sedang membela rakyat. Bila kepentingan kelompoknya sedang di atas angin, mereka akan tampil seperti sufi yang tidak membutuhkan apa pun selain cinta Ilahi.

Meski tidak semua, saya kira banyak rakyat Bireuen yang sudah muak dengan kondisi demikian. Tapi kebanyakan memilih diam karena merasa tak ada yang bisa dilakukan. Sementara itu, elit politik terus bersilang sindir, merasa paling benar, dan lupa bahwa mereka dipilih untuk bekerja, bukan untuk berdebat tanpa henti.

Mungkin sudah saatnya kita sebagai masyarakat tidak lagi hanya menjadi penonton. Jika politik Bireuen masih berkutat pada drama tanpa substansi, maka tugas kita adalah mengkritisi dan mendesak perubahan. Sebab jika tidak, lima tahun lagi kita hanya akan mendengar hinaan yang sama, dari wajah yang sama, dengan hasil yang sama.

Muhammad Akmal, merupakan warga Bireuen, pemuda yang merindukan perubahan ke arah lebih baik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here