Distopia Kota Ramah HAM

Distopia Kota Ramah HAM, Memaknai Kembali Peristiwa Hijrah M. Ikhwan, Akademisi STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh. Foto: HO for Komparatif.ID.
M. Ikhwan, Akademisi STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh. Foto: HO for Komparatif.ID.

Sebagai negara dengan ratifikasi hak asasi manusia (HAM) paling progresif di Asia Tenggara, Indonesia kerap memproklamirkan diri sebagai teladan dalam mewujudkan pembangunan berbasis HAM.

Sejak 2014, konsep “Kota Ramah HAM” yang digagas oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) terus digaungkan, menawarkan visi kota inklusif yang menjunjung keadilan sosial dan perlindungan hak asasi setiap warganya.

Setelah hampir satu dekade berjalan, banyak kota yang berlomba-lomba menyematkan label ini, dalam suasana hari HAM sedunia yang diperingati setiap 10 Desember sering dijadikan momentum untuk mengumumkan kota-kota ramah HAM tersebut.

Tetapi di balik jargon progresif tersebut masih menggambarkan distopia ramah HAM. Indikator untuk melihat kota ramah HAM itu nyaris dilihat secara parsial, atomistik, dan tidak komprehensif. HAM sering kali dikorbankan demi estetika urban atau agenda kapitalistik yang kerap menyisihkan masyarakat marginal.

Pada dasarnya,  kota Ramah HAM mengusung visi untuk mewujudkan kota yang menjamin hak hidup layak bagi semua, terutama kelompok rentan (vulnerable group). Namun, apa yang terjadi di lapangan sering kali jauh dari cita-cita ideal itu.

Dampak pembangunan proyek-proyek yang dianggap strategis nasional kerap mencerminkan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan digadaikan atas nama “pembangunan”. Tanah mereka dirampas tanpa kompensasi yang memadai, kebebasan mereka untuk mempertahankan tanah leluhur digilas oleh roda ekonomi (KomnasHAM 2024).

Baca jugaPencabutan Qanun KKR Aceh Ancam Pemulihan Korban Pelanggaran HAM

Konsep FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) yang menjadi kewajiban dalam hukum internasional, nyaris tak pernah diimplementasikan secara konsisten. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat adat Poco Leok mengalami kekerasan fisik saat menolak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, alih-alih menjadi contoh praktik pembangunan manusiawi, proyek tersebut malah menjadi simbol represifitas (tempo.co, 4/10/2024).

Sementara itu, laporan Amnesty International menunjukkan betapa kritisnya situasi HAM di Indonesia, dari 2019 hingga 2024 setidaknya 521 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi terjadi. UU ITE, yang semula dimaksudkan untuk menertibkan ruang digital, kini menjadi senjata represif bagi mereka yang mencoba mengungkap ketidakadilan.

 Antara Realitas dan Retorika

Kota Ramah HAM yang diwacanakan menciptakan ruang urban yang menjamin keadilan sosial dan inklusivitas kerap dijadikan sebagai alat branding politik atau proyek kosmetik yang jauh dari substansi.

Realitas ini tidak hanya terbatas pada daerah tertentu, bahkan kota-kota yang mengklaim dirinya ramah HAM pun masih menyimpan banyak ironi. Ruang-ruang publik seperti fasilitas pendidikan, rumah ibadah, kantor pemerintah, dan jalan yang belum dilengkapi fasilitas untuk penyandang disabilitas, hal ini menjadi bukti kegagalan dalam mewujudkan aksesibilitas yang adil.

Ini baru satu contoh untuk segmen disabilitas, terlalu banyak jika disebutkan satu-persatu deretan panjang realitas yang berbanding terbalik dengan visi kota ramah HAM itu, mungkin seluruh daerah di Indonesia akan selalu muda ditemukan contoh pengabaian pemenuhan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia itu.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa penghargaan atau label hanyalah kulit luar yang belum menyentuh aspek substansi. Tampaknya, di era kapitalisme global ini, kota-kota cenderung memprioritaskan daya saing ekonomi dibandingkan kualitas hidup warganya.

Infrastruktur sering kali dibangun untuk menarik investasi ketimbang memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, HAM menjadi korban dan dipaksa tunduk pada logika ekonomi yang melihat tanah dan sumber daya manusia sebagai komoditas belaka.

Namun, apakah pembangunan ekonomi dan HAM harus selalu bertentangan? Berkaca dari negara lain menunjukkan bahwa keduanya dapat bersinergi, dengan catatan bahwa manusia ditempatkan sebagai pusat pembangunan, bukan sekadar alat produksi.

Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) harus menjadi standar wajib dalam setiap proyek pembangunan, bukan sekadar formalitas administratif. Partisipasi masyarakat lokal harus benar-benar diintegrasikan dalam perencanaan, bukan hanya dijadikan simbolis untuk memenuhi persyaratan prosedural.

Selain itu, upaya memperbaiki kerangka hukum seperti revisi UU ITE menjadi mendesak untuk menjamin kebebasan berekspresi, sebuah pilar penting dari HAM. Tanpa kebijakan ini, ruang publik kian menyusut dan kota-kota di Indonesia hanya akan menjadi distopia modern yang hampa dari nilai-nilai HAM.

Menentukan Arah Keberpihakan

Seperti yang pernah diungkapkan Nelson Mandela, “Kebebasan sejati tidak hanya tentang membebaskan diri dari rantai, tetapi juga tentang menghormati kebebasan orang lain”.

Pernyataan ini bukan sekadar refleksi moral, tetapi tantangan bagi kebijakan publik di Indonesia. Jika negara ini benar-benar ingin menjadi pelopor dalam membangun Kota Ramah HAM, maka retorika semata tidak cukup.

Praktik-praktik eksploitatif yang menjadikan masyarakat marginal sebagai korban pembangunan harus dihentikan secara sistematis, bukan hanya melalui kebijakan ad hoc. Masyarakat marginal harus dipandang sebagai mitra strategis dengan perspektif yang esensial untuk keberlanjutan kebijakan, bukan sebagai beban pembangunan.

Konsep Kota Ramah HAM akan tetap menjadi jargon tanpa makna jika setiap kebijakan tidak dimulai dengan pertanyaan mendasar, apakah ini memajukan martabat manusia? Ironisnya, banyak kebijakan yang sering kali mengatasnamakan “kepentingan umum” justru mengorbankan masyarakat umum maupun kelompok, baik melalui penggusuran paksa, kriminalisasi, maupun pengabaian kebutuhan dasar mereka.

Narasi pembangunan yang terus-menerus mengesampingkan dimensi keadilan sosial hanya akan memperdalam jurang ketimpangan dan mengikis kepercayaan publik.

Jalan menuju kota yang benar-benar ramah HAM memang panjang dan sarat tantangan, namun ini bukan sekadar perjalanan teknokratik, ini adalah ujian keberpihakan moral. Kegagalan untuk mengambil langkah ini adalah kegagalan kolektif yang menandai bahwa kita sebagai bangsa lebih peduli pada pencitraan visual daripada substansi keadilan.

Indonesia memiliki optimisme untuk mewujudkan visi ini, selama berani menentukan arah keberpihakannya, karena Indonesia mempunyai konstitusi progresif yang menjamin hak asasi manusia, banyak masyarakat sipil yang kritis dan vokal, dan juga mempunyai sumber daya ekonomi yang memadai.

Namun, semua ini tidak berarti apa-apa tanpa kemauan politik yang konsisten dan keberanian institusional untuk menindaklanjuti komitmen tersebut. Sebaliknya, jika elemen-elemen ini hanya dijadikan alat politik untuk kepentingan jangka pendek, maka jargon “Kota Ramah HAM” hanyalah ilusi.

Keberhasilan Kota Ramah HAM tidak dapat diukur hanya dari infrastruktur fisik atau penghargaan, tetapi dari sejauh mana kebijakan tersebut benar-benar memajukan martabat manusia.

 

*Penulis adalah Ketua bidang Hukum, HAM dan Advokasi Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kota Banda Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here