Derita Rohingya; Brutalisme dan Hilangnya Kearifan

Rohingya Khairil Miswar

Dalam perspektif kemanusiaan, aksi pengusiran terhadap para pengungsi Rohingya di gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA) yang konon dilakukan oleh sejumlah demonstran baru-baru ini adalah tindakan brutal yang tidak dapat dibenarkan. Sikap ini sangat kontradiktif dengan kearifan dan nilai-nilai luhur yang selama ini dipegang kuat masyarakat Aceh. Aksi yang kononnya melibatkan mahasiwa ini mestinya tidak terjadi jika pemerintah, baik pemerintah provinsi mau pun pemerintah pusat mengambil sikap sejak awal, bukan justru membiarkan bola api menggelinding liar dan kemudian membakar kewarasan semua orang.

Seperti dirilis sejumlah media online, para mahasiswa mengambil dan melempar barang-barang milik pengungsi Rohingya yang membuat para pengungsi ketakutan. Ditimbang dari perpektif mana pun, tindakan ini adalah biadab, tidak masuk akal dan berlebihan. Tindakan ini adalah bentuk teror kepada orang-orang teraniaya yang sama sekali tidak pantas dilakukan, apalagi oleh masyarakat Aceh yang dikenal religius. Tindakan ini akan memunculkan trauma bagi mereka, khususnya perempuan dan anak-anak yang sejak dalam perahu sudah mengalami ketakutan.

Baca: Mahasiswa Usir Imigran Rohingya yang Ditampung di BMA

Munculnya tindakan-tindakan brutal semacam itu tidak terlepas dari framing, labeling dan stigmatisasi negatif yang dilakukan oleh provokator, yang hingga saat ini belum diketahui siapa yang memulai. Aksi-aksi penggiringan opini, pembusukan dan penyebaran stereotipe tersebut berjalan masif di media sosial yang kemudian membuat publik awam menelannya mentah-mentah, seperti bayi yang menelan pisang tanpa perlu dimamah. Akibatnya, akal sehat menjadi mati dan rasa kemanusiaan lebur bersama angin.

Segala bentuk bullying terhadap pengungsi Rohingya dapat dipandang sebagai strategi dehumanisasi, yaitu mencerabut unsur-unsur kemanusiaan yang melekat pada setiap manusia. Dengan dehumanisasi tersebut, mereka akan diposisikan sebagai penjahat, perusuh, dan imigran gelap yang suatu saat akan menguasai tanah dan mengusir warga tempatan. Dan, ketika dehumanisasi ini berhasil, maka pengusiran terhadap mereka akan dipandang wajar dan niscaya. Pengusiran ini kemudian akan dianggap sebagai upaya preventif guna menolak ancaman yang akan terjadi di masa depan.

Halusinasi demikian tentu saja harus diakhiri, sebab akan membunuh sikap empati pada masyarakat Aceh yang dulu juga pernah teraniaya dan hidup dalam ketidakpastian ketika perang masih berkecamuk.

Mahasiswa Kulkas Pengusir Rohingya

Hal paling menyakitkan dari aksi pengusiran dan bullying terhadap pengungsi Rohingya adalah terlibatnya mahasiswa, kader dan aset bangsa masa depan. Sebagai orang-orang terpelajar mestinya mahasiwa mengedepan pikiran rasional sehingga tidak mudah termakan hoaks yang tersebar di media sosial. Ketakutan bahwa para pengungsi akan membuat gaduh dan akan merebut tanah Aceh sebagaimana tersebar di media sosial adalah ketakutan tak beralasan dan terlalu mengada-ngada, apalagi menyamakan para pengungsi Rohingya yang notabene adalah Muslim dengan para imigran Yahudi yang menguasai Palestina pasca Holocaust. Tentu ini absurd.

Harusnya mahasiswa bisa sedikit jeli dan tidak menelan mentah-mentah informasi tersebut, informasi yang membuat nalar mereka menjadi mati. Harusnya mahasiswa menjadi penyuluh dan pembela orang-orang tertindas, bukan justru menjadi bagian dari penindasan, apalagi terhadap orang-orang teraniaya, orang-orang yang mencari perlindungan seperti pengungsi Rohingya. Karena itu, aksi yang melibatkan mahasiswa ini patut disesalkan atau mungkin dikutuk berkali-kali.

Baca: HMI Banda Aceh Kecam Arogansi Mahasiswa yang Usir Rohingya

Harusnya para mahasiswa yang terlibat dalam pengusiran pengungsi itu bisa berkiblat pada pengalaman konflik Aceh, ketika gelombang pengungsian terjadi di mana-mana, ketika rumah-rumah penduduk dibakar, ketika orang-orang dibantai seperti binatang dan ketika ketakutan menyebar di tengah masyarakat. Apa yang dilakukan mahasiswa saat itu? Saat itu mahasiswa berdiri dengan dada membusung untuk melawan segala bentuk penindasan, menyerahkan tubuh-tubuh mereka sebagai santapan peluru dan berteriak lantang melawan kezaliman, bukan justru menari-nari di atas penderitaan orang-orang teraniaya seperti ditunjukkan segelintir mahasiwa pengusir Rohingya yang minus adab.

Di satu sisi memang dapat dimengerti, karena mahasiswa yang terlibat dalam pengusiran para pengungsi Rohingya adalah mereka-mereka yang terlahir dalam “kulkas” yang sejuk, ketika perang di Aceh telah berakhir, ketika letupan senapan tak lagi terdengar, sehingga mereka tidak memiliki empati pada orang-orang tertindas. Namun, sekiranya mereka mau belajar pada masa lalu, ketika Aceh dilanda perang atau ketika air laut menghantam daratan saat tsunami yang kemudian membuat para korban berkumpul di kamp pengungsian, mungkin para mahasiswa akan berpikir berkali-kali sebelum meneror para pengungsi. Sayangnya, hal itu tidak terjadi, dan mereka justru termakan provokasi murahan, provokasi yang seharusnya mereka lawan dengan akal sehat, dengan pengetahuan yang telah mereka dapat dari kampus-kampus.

Negara yang Sibuk

Sejauh ini tidak terlihat ada sikap tegas dari negara terkait keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh. Kondisi ini telah membuat sebagian oknum masyarakat yang termakan hoaks kian bingung, yang kemudian mendorong mereka untuk bertindak di luar akal sehat. Narasi kebencian terhadap pengungsi terus disebarkan, sementara negara hanya diam dan tidak memberi respons yang berarti, kecuali beberapa komentar mengambang yang tidak memiliki dampak.

Bisa jadi hal demikian disebabkan oleh kesibukan elite dalam menghadapi kontestasi Pilres yang semakin dekat sehingga peran-peran mereka dalam menyikapi persoalan pengungsian tidak muncul ke permukaan. Akibatnya masyarakat bertindak sendiri-sendiri, seperti dilakukan sekelompok mahasiswa di Banda Aceh. Kondisi ini seolah dibiarkan liar begitu saja, sehingga benturan antara penduduk lokal dengan para pengungsi pun tak dapat dihindari. Ketika kondisi kian keruh, maka yang muncul di permukaan adalah buruknya citra masyarakat Aceh di mata dunia, di mana sejumlah media dengan penuh semangat mengabarkan dan mengulang-ulang pemberitaan terkait penolakan pengungsi.

Sialnya lagi, gerakan penolakan yang kian masif ini kemudian dijadikan dalil oleh sebagai pihak untuk menjustifikasi segala bentuk framing yang telah beredar, bahwa para pengungsi Rohingya adalah orang-orang yang tak layak dibantu, suka membuat rusuh dan mengancam stabilitas nasional, yang karena itu mereka harus diusir dan dibiarkan mati di tengah laut.

Harusnya pemerintah menunjukkan perannya agar keriuhan ini segera berakhir, bukan justru menutup mata dan haha hihi atas apa yang terjadi sehingga keresahan masyarakat pun kian membiak.  Atau jangan-jangan keriuhan ini sebuah drama?

*Khairil Miswar, mantan mahasiswa yang sesekali terlibat dalam penanganan pengungsi masa konflik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here