Komparatif.ID, Banda Aceh— Delegasi Bangsa Moro mengunjungi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh untuk mempelajari pengembangan pariwisata religi serta potensi unggulan yang dimiliki Aceh.
Kunjungan ini didampingi oleh Kedutaan Besar Filipina untuk Indonesia dan berlangsung di Ruang Rapat Disbudpar Aceh, pada Kamis (5/12/2024).
Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal, menjelaskan kunjungan wisatawan ke Aceh terus meningkat, terutama berkat berbagai even nasional yang rutin digelar. Ia juga mengingatkan bagaimana Aceh, yang dahulu mengalami konflik berkepanjangan, kini telah bertransformasi menjadi daerah yang damai setelah penandatanganan Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Pasca-perdamaian tersebut, Aceh mendapatkan sejumlah kekhususan, termasuk penerapan syariat Islam dan pembentukan partai politik lokal melalui Undang-Undang Pemerintah Aceh.
“Berbicara tentang pariwisata dan kebudayaan salah satu yang menjadikan Aceh tertarik di mata wisatawan pertama adalah sejarah, budaya dan alamnya,” kata Almuniza, Senin (9/12/2024),
Menurut Almuniza, pariwisata Aceh menarik wisatawan karena sejarahnya yang kaya, budaya yang unik, dan keindahan alamnya. Hingga saat ini, jumlah wisatawan Nusantara dan mancanegara yang mengunjungi Aceh telah mencapai sembilan juta orang.
Dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat di lokasi-lokasi wisata, baik dari segi ekonomi maupun promosi budaya. Wisatawan mancanegara, khususnya dari Malaysia, cenderung tertarik pada wisata religi, seperti berziarah ke makam ulama, sementara turis Eropa menunjukkan minat pada tradisi budaya lokal.
Baca juga: Aceh Jadi Inspirasi Bangsa Moro Bangun Pemerintahan Otonomi Khusus
“Aceh sangat nyaman dan aman. Tidak pernah ada isu kehilangan barang bawaan wisatawan, sehingga mereka merasa betah,” ujarnya.
Member Of The Parlieament Filipina, Atty Suharto M. Amblodto, melihat banyak persamaan antara Aceh dan Bangsa Moro, baik dalam hal sejarah perdamaian maupun perjuangan untuk mendapatkan otonomi.
Ia mengungkapkan kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina memiliki perjalanan yang serupa dengan Gerakan Aceh Merdeka. Hak-hak Bangsa Moro mulai diakui dalam konstitusi Pemerintahan Filipina sejak 1987, yang menjadi titik awal otonomi mereka.
“Peristiwa tersebut dimulai dengan langkah kecil untuk mendapatkan pemerintah seperti otonomi. Pada tahun 1987 hak-hak Bangsa Moro sudah mulai dimasukkan ke dalam konstitusi Pemerintahan Filipina,” kata Atty.
Ia menegaskan pentingnya pariwisata dan perkembangan ekonomi bagi Bangsa Moro. Kunjungan ke Aceh, menurutnya, menjadi kesempatan untuk belajar lebih jauh tentang penerapan pariwisata religi.
Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, menjadi inspirasi karena kesuksesannya memadukan syariat Islam dengan sektor pariwisata.