Saat membicarakan Persiraja, Sekum Rahmat Djailani tanpa keraguan merupakan entitas yang tidak bisa dipisahkan dengan sang Presiden Nazaruddin “Dek Gam”. Keduanya tokoh kunci keberhasilan Lantak Laju mencicipi Liga 1 pada 2020 lalu. Dengan tangan dingin mereka, kini Persiraja merajut mimpi kembali lagi menuju kompetisi tertinggi di tanah air.
***
Sejak Rezim Mussolini hingga Rezim Jokowi sepak bola dan politik menjadi dua hal yang sulit dipisahkan. Meski banyak regulasi yang seakan-akan mencoba membatasi hubungan keduanya tapi nyatanya keduanya saling membenci namun juga saling membutuhkan.
Sepakbola telah menjelma menjadi olahraga yang paling bisa untuk menarik perhatian banyak orang di seluruh dunia, sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa setiap ajang yang menarik banyak perhatian publik akan selalu seksi untuk dieksploitasi. Demikianlah sepak bola dengan segala kerumitan dan daya tarik yang ditawarkannya telah bertumbuh.
Tidak hanya pada ajang internasional, semisal piala dunia dan Liga Champions di setiap benua, di kompetisi lokal kelas tarkam sekalipun sepak bola sangat diminati publik dan tidak dapat terhindarkan lagi “aroma” politik akan hadir di sana.
Salah satu kisah yang paling ikonik adalah kisah Italia yang berhasil meraih dua gelar secara berurutan di bawah Rezim Mussolini yang menggambarkan bagaimana Politik dan sepak bola hidup berdampingan.
Ketika itu, Italia dipimpin oleh seorang Perdana Menteri bernama Mussolini. Sosok yang dikenal dengan citra kejam dan bengis dengan haluan fasisnya. Sang diktator menjadikan Piala Dunia 1934 sebagai ajang “mempromosikan” ideologinya.
“Mussolini berkeinginan untuk membentuk citra bangsa italia baru yang berani, atraktif, kuat, dan sportif,” ujar John Foot dalam buku Calcio, A History of Italian Football.
Dalam kaitannya dengan sepak bola Mussolini selalu memposisikan pesepak bolanya sebagai tentara yang sedang berperang dan pertandingan sepak bola adalah arena pertempurannya. Kedisiplinan dan rasa patriotis ditanamkan kepada semua pemain.
Tak ayal kemudian tim-tim Italia bahkan timnas Italia kerap tampil sebagai tim yang agresif, keras, bahkan brutal.
Baca juga: Persiraja vs PSMS: Laga Keras Tanpa Pemenang
Lalu apa kaitannya dengan Dek Gam sang Presiden Persiraja? Serta apa hubungannya dengan Rahmat Djailani?
Apakah mereka berdua juga seorang yang fasis layaknya Mussolini? Tentu kita tidak mengatakan demikian, namun yang menarik kita pelajari adalah bagaimana Dek Gam dan sang “king maker-nya” Rahmat Djailani menanamkan “ideologi” semangat tempur pada pasukan (pemain Persiraja) untuk selalu tampil spartan dan all out.
Rahmat Djailani yang didapuk sebagai sekum Persiraja sejak Dek Gam berkuasa bukanlah sosok sembarangan, ia adalah salah satu pentolan aktivis mahasiswa paling disegani di generasinya, bagi pemuja Diego Maradona itu sepak bola lebih dari sekadar olahraga.
Di sana ia mencurahkan, meramu dan meracik segala strategi, ideologi, imajinasi dan fantasi perubahan yang telah ia pelajari sejak lama ketika ia bergerak di jalanan bersama rekan-rekan aktivisnya, hanya saja ia berbeda dengan teman-teman seangkatannya lebih “terkenal” di pinggir lapangan hijau seiring “kolaborasinya” dengan Dek Gam.
Bahkan saya berani mengatakan bahwa Rahmat Djailani-lah aktor yang sesungguhnya dibalik segala hiruk pikuk yang mengiringi perjalanan Persiraja akhir-akhir ini, dan juga di balik sukses besar Dek Gam yang merupakan seorang pengusaha yang melebarkan sayapnya ke dunia politik.
Tak jarang Rahmat Djailani dan Dek Gam mengeluarkan kata-kata yang terkesan tajam dan sedikit kejam dalam memotivasi skuadnya.
Terbaru misalkan orang nomor satu di Persiraja yang juga pengusaha merangkap politisi tersebut mengultimatum pemainnya untuk tidak lengah dan tetap tampil all out meskipun Persiraja sudah dipastikan lolos ke putaran dua belas besar.
Dek Gam melalui akun instagramnya mengultimatum para pemain Persiraja dengan menuliskan:
“Haba Peu ingat keu pemain Persiraja: awak kah bek terlena dengan hasil tim gop, tujuan akhir tanyo liga 1“. Demikian tulis Dek Gam mewanti-wanti pemain Persiraja agar tidak terlena dengan kelolosan mereka ke putaran dua belas besar setelah kekalahan PSPS dari Sriwijaya Fc.
“Nyan beu meuphom, bek anco kee dalam masyarakat,” lanjut Dek Gam mengultimatum pemainnya agar jangan lengah, jangan sampai nama Dek Gam hancur di mata masyarakat Aceh yang dikenal sangat mengharapkan Persiraja kembali ke liga 1.
“Ke ka ku meuabeh, awak kah peu dale lom?” Lanjut Dek Gam setengah menggugat pemainnya untuk berjuang habis-habis demi nama Persiraja sebagaimana ia telah all out dalam membesarkan Persiraja.
“Menyo ke diteunak le masyarakat, awak kah abeh mandum.” Jika saya dicaci oleh masyarakat Aceh karena kegagalan Persiraja, maka kalian akan saya habisi! Tutup Dek Gam.
Memang tidak mungkin seorang Dek Gam menghabisi pemainnya sebagaimana Jenderal Franco atau Mussolini menghabisi musuh politiknya, tapi semangat yang tersirat dari pesan Dek Gam itu sangat jelas bahwa para pemain Persiraja diwajibkan tampil all out dengan mengerahkan segala daya dan upaya, untuk dapat memberikan yang terbaik bagi Persiraja dengan taruhan apapun, Persiraja di atas segalanya.
Terlepas kita setuju atau tidak demikianlah seorang Dek Gam memompa semangat pasukan tempurnya di lapangan bahkan juga meraih simpati publik Aceh di luar lapangan.
Baca juga: Sepak Bola Tanpa Campur Tangan Mafia, Mungkinkah?
Lalu bagaimana kaitannya dengan Politik?
Dengan alibi apapun sulit untuk mengatakan bahwa Dek Gam dengan segala atribut yang melekat padanya adalah seorang pengusaha atau pelaku bisnis sepak bola murni, uang yang dikeluarkan Dek Gam untuk mengurus Persiraja tidak sedikit dan saya yakin dengan posisi Persiraja hari ini tidak mungkin seorang Dek Gam bisa mendapatkan keuntungan pure dari sepak bola.
Artinya ada profit lain yang bisa didapatkan Dek Gam dari sepak bola, bicara uang ia memang sudah terkenal kaya sebelum memegang Persiraja, tapi bicara popularitas yang ada sekarang sulit dibantah bahwa itu semua didapatkannya dari “kerja kerasnya” membesarkan namanya bersama Persiraja.
Nah sebagai politisi, popularitas tentunya merupakan sesuatu yang sangat berharga, banyak politisi yang menghabiskan begitu banyak uang untuk membangun popularitas yang bahkan terkadang hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan.
Di sinilah sepak bola dan politik menemukan chemistrinya, sepak bola dengan segala sensasi dan popularitas yang melekat padanya butuh uang untuk terus mempertahankan eksistensinya, di sisi lain politisi dengan segala kepentingannya juga sangat membutuhkan popularitas untuk keberlangsungan karir politiknya.
Di Indonesia sendiri Dek Gam bukanlah satu-satunya politisi yang menjadi petinggi klub sepak bola, bahkan hampir semua klub sepak bola di Indonesia dikendalikan oleh politisi yang “mulai” menyadari betul bahwa sepak bola telah menjadi olahraga yang dapat menarik perhatian massa yang sangat besar bahkan hampir bisa dipastikan tidak ada even lain yang bisa menarik perhatian massa yang lebih besar dari sepak bola.
Sehingga tidak heran para politisi “berani” mengeluarkan uang yang begitu besar untuk mengelola klub sepak bola di Indonesia, apapun, politik dengan segala sentimen dan kepentingan yang melekat padanya, selama sepak bola tetap bisa berjalan dalam koridor regulasi yang telah diciptakan untuk mengaturnya, keterlibatan politisi tidak perlu dianti.
Maju terus lantak laju!