Deep Learning Bukan Hal Baru Dalam Pendidikan Kita

deep learning pendidikan aceh
Drs. Syamsir Alam, penggiat pendidikan di Yayasan Sukma Bangsa. Foto: Rizki Aulia Ramadan/Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Penggiat pendidikan yang berkhidmat di Yayasan Sukma Bangsa, Drs. Syamsir Alam, mengatakan deep learning bukan hal baru dalam pendidikan Indonesia. Deep learning atau pembelajaran mendalam merupakan hal yang pernah hidup dan menjadi tradisi dalam ruang-ruang kelas di Indonesia.

Drs. Syamsir Alam dalam Kuliah Umum Deep Learning; Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua, yang digelar Dinas Pendidikan Aceh dan Sukma Bangsa, Senin (14/4/2025) di Aula Dinas Pendidikan Aceh, Banda Aceh, menyebutkan deep learning saat ini mungkin terdengar asing, dan bahkan menakutkan bagi sebagian kalangan.

Baca: Baca: Akal, Modal, Pasar

Namun—bila ditelaah secara mendalam, konsep ini sejatinya bukan sesuatu yang benar-benar baru. Justru sebaliknya, pembelajaran mendalam merupakan usaha untuk menghidupkan kembali semangat belajar yang dulu sempat menjadi tradisi yang pernah hadir dalam pendidikan di Tanah Air.

“Deep learning itu bukan hal baru. Kita hanya sedang mengemas ulang sesuatu yang sudah lama hilang dalam sistem pendidikan kita,” ujar Syamsir.

Ia menegaskan, selama ini banyak guru maupun siswa merasa cemas dengan istilah deep learning, seolah ini adalah beban baru yang akan menambah kompleksitas pembelajaran. Padahal kenyataannya justru sebaliknya.

“Kalau kita tarik ke masa lalu, sekitar tahun 70-an sebelum era soal pilihan ganda, siswa biasa diajak berdiskusi terbuka. Mereka menjawab soal esai, mengemukakan pendapat, dan berpikir kritis. Itulah deep learning,” lanjut Syamsir.

Kembali ke Tujuan Asli Pendidikan

Syamsir menjelaskan bahwa inti dari pembelajaran mendalam adalah bagaimana ilmu yang sudah dipelajari bisa digunakan dalam konteks kehidupan nyata, terutama ketika dihadapkan dengan tantangan atau masalah baru.

Ia mengkritik sistem pembelajaran lama yang cenderung menekankan hafalan, sehingga siswa hanya mengulang-ulang pengetahuan tanpa benar-benar memahaminya.

“Metode deep learning adalah teknik melekatkan ilmu dalam diri siswa, bukan sekadar mengisi otak dengan informasi. Maka kita butuh pendekatan baru yang joyful dan mindful,” ujarnya.

Di sekolah Sukma Bangsa, pendekatan pembelajaran mendalam telah diimplementasikan secara bertahap. Guru-guru disiapkan dengan serius, dengan pelatihan yang berfokus pada penguatan karakter dan teknik mengajar yang partisipatif.

Hasilnya cukup menjanjikan: meski ada sekitar 30 persen siswa yang belum lulus ujian, mereka tidak pernah menyontek. “Itu bukti bahwa mereka punya pendirian. Indeks kejujuran di Aceh sangat tinggi, dan itu yang harus kita rawat,” tambahnya.

Salah satu hal menarik dalam diskusi ini adalah pendekatan Syamsir dalam mendesain pembelajaran. Menurutnya, proses pembelajaran seharusnya dimulai dari akhir—dari tujuan yang ingin dicapai. Setelah tujuan ditetapkan secara spesifik dan jelas, barulah dirancang indikator dan langkah-langkah pembelajaran.

“Jangan dulu bicara metode kalau tujuan masih kabur. Begitu kita tahu mau ke mana, kita bisa tahu kendaraan mana yang paling cocok untuk dipakai,” jelasnya.

Ia juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pelatihan-pelatihan massal bagi guru. “Saya lebih mendukung pelatihan berbasis sekolah. Ketika semua guru di satu sekolah paham dan satu suara, proses belajar akan jauh lebih stabil dan berkualitas,” tegasnya.

Menanggapi perdebatan publik yang sering mempertanyakan perubahan kurikulum, Syamsir menjelaskan bahwa kurikulum sejatinya hanyalah alat bantu, bukan sesuatu yang sakral.

Bahkan menurut pakar kurikulum di Kolombia, begitu guru membuat rencana pembelajaran, itu sudah bisa disebut kurikulum.

“Jadi, perubahan kurikulum itu hal biasa. Yang penting adalah bagaimana strategi pembelajaran bisa terus adaptif terhadap perubahan zaman,” ujarnya.

Masa Depan Ada di Tangan Guru

Saat ini, Yayasan Sukma Bangsa tengah menyusun buku yang ditulis langsung oleh para guru di lapangan. Buku ini diharapkan bisa menjadi panduan praktis dalam menerapkan deep learning, sekaligus menjadi refleksi kolektif atas pengalaman para guru dalam mendidik generasi muda.

“Guru bukan hanya pengajar, tapi pemikir dan penulis. Dengan begitu, transformasi pendidikan tidak hanya datang dari atas, tapi juga dari dalam,” ujar Syamsir.

Membumikan deep learning, kata Syamsir, bukanlah tentang mengganti sistem secara drastis, tapi tentang mengembalikan ruh pendidikan: menjadikan pembelajaran sebagai proses menyenangkan, bermakna, dan membentuk karakter.

Jika pendidikan mampu membuat anak berpikir, merasa, dan bertindak secara utuh, maka Aceh – dan Indonesia – tidak hanya sedang membangun generasi cerdas, tetapi juga generasi tangguh dan bermoral.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here