Saya mengira kalau kasih sayang FIFA kepada Lionel Messi sudah berakhir setelah Gianni Infantino memberikan trofi Piala Dunia kepada Lionel Messi di Lusail Stadium tiga bulan lalu. Ternyata, anggapan saya salah, Infantino belum berhenti; kasih sayangnya kepada Messi belum berakhir.
Dia kembali melakukan gegar dengan memberikan penganugerahan pemain sepak bola terbaik versi FIFA tahun 2022. Entah peristiwa apa yang membuatnya bertindak demikian. Saya mencoba mencari-cari motif mengapa pria asal Swiss yang pernah berujar pada satu waktu menjelang Piala Dunia Qatar 2022, “Tidak adil rasanya melihat Messi pensiun tanpa mengangkat Piala Dunia.“ Rupanya, ungkapan hati Infantino ditampilkan dengan memberikan karpet merah untuk Messi guna meraih trofi tersebut. Karena semua tahu, tanpa trofi itu, Messi tidak akan pernah berada ingatan sejarah yang lekat. “Saya bersedia menggantikan seluruh pencapaian di klub untuk ttofi Piala Dunia,” ujar Messi pada satu masa.
Lalu, untuk memahami cara berpikir dan bertindaknya Infantino, saya mencoba memasuki dunia alam imajiner demi melacak lakunya itu sejak Desember lalu. Saya menulis sebuah kisah imajiner di tengah proyek penulisan esai edisi Qatar selama Piala Dunia 2022. Tulisan itu saya letakkan dalam konteks “Mati Ketawa cara Piala Dunia.” Kisahnya sebagai berikut:
Ada cerita penting yang jarang orang ketahui mengenai voucher penalti untuk Argentina di Piala Dunia Qatar 2022. Dahulu, ada pemuda asal Swiss berusia dua puluh tahun. Dia sangat menyukai sepak bola. Baginya, olahraga itu sangat mempesona.
Suatu waktu, dia ke Italia untuk menonton Piala Dunia di sana. Hatinya sangat bergembira karena bisa menonton pemain-pemain hebat: Maradona, Mattaheus, Vialli, Lineker, Milla, Higuita, Careca, dan Rudd Gullit. Dia merasa antusias.
Pengalaman di Italia itu yang membuatnya bermimpi untuk menjadi orang nomor satu di FIFA. “Aku ingin seperti orang tua itu,” ujarnya dalam hati. Orang tua yang dimaksud itu adalah Jaoa Havelange, Presiden FIFA asal Brasil.
8 Juli 1990, pemuda itu sudah berada di Stadio Olimpico, Roma. Partai puncak mempertemukan Jerman Barat vs Argentina. Ini merupakan partai final ulangan bagi kedua tim yang empat tahun sebelumnya sudah bertemu di Meksiko. Pemuda itu melihat pertandingan tidak seimbang. Argentina sedari awal sudah diperlakukan dengan tidak adil oleh penonton di stadion. Lagu kebangsaan Argentina diteriaki. Pemuda itu gusar, “Bukan seperti sepak bola yang aku inginkan! katanya lagi, masih dalam hati.
Puncaknya adalah penalti kontroversial untuk Jerman Barat. Pemuda itu meyakini bahwa Voller melakukan diving. “Itu bukan penalti!” Teriaknya. Tetapi teriakannya tenggelam oleh gemuruh suara penonton Jerman Barat, Italia, dan mafia.
Penalti pun sukses dilaksanakan oleh Andreas Brehme. Jerman Barat menang. Argentina kalah dengan tragis. Dari atas tribun, dia melihat Maradona menangis. “Tidak! Sepak bola tidak boleh seperti ini. Tidak boleh ada tangisan lagi. Tunggulah Maradona. Aku akan ada bersamamu.”
Pemuda itu adalah Gianni Infantino. Kini dia menjadi Presiden FIFA. Dialah yang membawa Maradona duduk di tribune selama Piala Dunia Rusia 2018. Dia memberikan rasa hormat kepada Maradona yang tidak diberikan oleh Joao Havelange.
Kini, kita melihat penalti demi penalti untuk Argentina selama Piala Dunia Qatar 2022. Dalam konteks Gianni Infantino, penalti itu merupakan pembalasannya secara pribadi kepada Joao Havelange, sekaligus permohonan maaf FIFA kepada Argentina.
Baca juga: Messi Rengkuh Piala Dunia, Debat GOAT Usai
Karpet Merah FIFA di Tengah Kritik
Karim Benzema memposting seluruh capaian individunya tahun lalu. Publik menangkap bahwa itu bentuk protesnya atas terpilihnya Messi sebagai Pemain Terbaik Dunia tahun 2022 versi FIFA. Namun, postingannya dibalas oleh Messi – paling kurang begitu anggapan publik – dengan fotonya sedang mengangkat trofil Piala Dunia. Foto Messi itu seakan-akan berbicara, “Apa pun capaian Anda, tanpa trofi ini, tidak ada artinya.” Trofi Piala Dunia memang mengangkat segalanya, sekaligus meniadakan yang ada. Carlo Anceloti mengungkapkan betapa kuatnya pesona Piala Dunia sampai-sampai dia tidak berpolemik tentang tiga wakil dari Argentina yang meraih gelar itu: Messi, Scaloni, dan Martinez.
Anceloti menghormati trofi Piala Dunia karena ada kisah yang menjadi tulang punggung sejarah sepak bola dunia, tetapi tidak untuk FIFA. Oleh karena itu, dia dengan cepat mengatakan, di saat Messi disuarakan sebagai pemain terbaik dunia sepanjang masa setelah Argentina mengalahkan Perancis di Lusail Stadium, “Saya tidak akan pernah menyebut Messi sebagai pemain terbaik sepanjang masa.” Sikap kritis Anceloti kepada FIFA ditampilkan dengan keras pada malam penganugerahan itu. Selain dia tidak menghadiri bersama pemain Real Madrid lainnya, dia juga berkata tidak ingin memusingkan diri dengan agenda tahunan itu, dengan mengatakan dia tidak mungkin netral memilih pemain terbaik versi FIFA karena ada tiga pemain Madrid di jajaran atas nominasi.
FIFA selalu dikritik. Federasi ini sejak dahulu dianggap sebagai sarangnya korupsi dan tidak berpihak kepada sepak bola. Federasi itu malah lebih mementingkan uang daripada sepak bola itu sendiri. Salah satu pengkritik utama FIFA adalah Maradona. Dia pernah berbicara di depan kamera demi memarahi Jaoa Havelange karena membuat jadwal pertandingan selama Piala Dunia 1986 di Meksiko di bawah panas matahari yang sangat menyengat. Maradona juga pernah mengkritik keras FIFA yang menjebak Argentina di grup berat, sedangkan Italia diberikan grup yang lebih ringan pada Piala Dunia 1990.
Tentu saja, FIFA berkepentingan untuk menguasai sepak bola, tetapi apa yang dilakukan oleh Gianni Infantino melebihi perbuatan dari Jaoa Havelange dan Sepp Blatter, yaitu menguasai narasi. Infantino sepertinya menyadari kenapa dua pendahulunya gagal menguasai sepak bola karena abai untuk merebut narasi. Lalu, dia melakukan sebuah sikap yang tidak populis dengan menjadikan anak baik yang bernama Lionel Messi sebagai pemain yang tidak tersentuh.
Langkah pertamanya adalah dengan menggelar karpet merah untuk Argentina selama Piala Dunia Qatar 2022. Infantino melakukan hal demikian sekaligus untuk membungkam Cristiano Ronaldo, pemain yang juga bengal dan tidak bisa diatur.
Cristiano Ronaldo bukan sahabat yang baik bagi FIFA. Hidupnya yang keras membuat Cristiano memilih jalan sejarahnya sendiri. Bagi FIFA, Cristiano adalah malapetaka. Untuk mengalahkannya, FIFA tidak ragu untuk turut serta dalam percakapan publik mengenai – yang sebenarnya absurd – “GOAT.” Tidak lama setelah Argentina menjuarai Piala Dunia, FIFA menulis dua cuitannya di akun resmi Twitternya, “The GOAT debate is settled. The utimate prize is now part of the collection. The legacy is complete.” Tidak cukup itu, FIFA juga mencuit sekaligus memasang foto Cristiano Ronaldo, “Thumbs up if you really enjoyed #FIFAWorldCup.”
Postingan itu mendapat protes keras dari publik dunia. FIFA pun menghapus cuitan itu. Namun, hal tersebut menunjukkan FIFA telah memasuki area yang seharusnya menjadi milik publik: narasi. FIFA sebagai federasi paling tinggi yang memiliki otoritas untuk mengatur lalu lintas sepak bola dunia seharusnya tidak campur tangan dalam narasi. FIFA harusnya berlaku netral – hal yang semakin lama seperti semakin mustahil. Kalau hal ini diteruskan, baik dengan mengangkat Lionel Messi ke langit, atau, dilakukan untuk pemain lain di masa depan, FIFA telah merusak sepak bola karena telah mengambil kebahagiaan miliaran manusia atas olahraga ini.