Aceh dagang merupakan trade mark kita di ingatan bangsa lain. Di mana-mana tingkat kemandirian orang Aceh sangat tinggi. Wangsa Aceh memilih menjadi pedagang, supaya menjadi pengendali; bukan pion ekonomi.
Aceh meuprang, Padang peugah haba, batak duk di kantô, yang meuatô cit awak Jawa. Kata pepatah tersebut merupakan haba maja di Aceh yang hingga kini belum diketahui siapa yang menyampaikannya untuk pertama kali. Tetapi melihat dinamika perpolitikan Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini, pepatah tersebut masih sangat relevan.
Panglima Hamzah, seorang tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Rayek pada suatu ketika pernah mengatakan, “Ureueng Aceh cit galak meuprang. Bagi ureueng Aceh meuprang nyan lagèë pajôh bu leukat.” Kalimat itu dia sampaikan dalam film The Black Road yang dibuat oleh William Nessen.
Baca juga: Tionghoa Bireuen Bukan Cina di Morowali
Secara harfiah arti dari pernyataan Pang Hamzah yaitu orang Aceh menggemari perang seperti mereka menyukai nasi ketan. Tentu pernyataan tersebut menarik bila disimak dari sisi antropologi. Orang Aceh memang sangat menggemari nasi ketan, konon lagi bila dicampur dengan kuah durian bersantan. Tak peduli asam urat sedang kumat, yang penting santap saja dulu. Apalagi ada yang memuji, maka berpiring-piring nasi ketan kolak durian akan dihabiskan. Setelah itu meringis kesakitan seorang diri di bilik kamar sempit.
Di Aceh perang sangat diglorifikasi. Salah satu alasan karena perang yang sering diasumsikan sebagai jihad fisabilillah, merupakan cara paling gampang menuju jannah. Sejak abang ke-15 orang Aceh telah tampil di medan perang mengusir penjajah kafir laknatullah yang ingin menguasai semenanjung Melayu. Kafir-kafir Portugis di Melaka diperangi pada abad ke-15.
Kafir Belanda diperangi dalam perang panjang selama abad 17. Kemudian perang melawan majusi Jepang. Dengan gagah berani orang Aceh yang dikomandoi oleh Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Bireuen, menyerang Belanda dan Inggris di front Medan Area. Itulah perang yang benar-benar dapat menyelamatkan status Indonesia sebagai negara berdaulat—meski dalam buku sejarah perang itu ditulis seakan-akan perang biasa. sembari ditulis sangat biasa, peran orang Aceh yang berduyun-duyun ke sana pun dikaburkan.
Kemudian berlanjut dengan perang internal sesama Aceh yaitu Perang Cumbok yang berlanjut dengan revolusi sosial di Aceh, pemberontakan DI/TII melawan Pemerintah Pusat, dan terakhir perlawanan GAM terhadap RI yang berlangsung selama 30 tahun.
Bila kita lihat dengan seksama perjalanan wangsa Aceh, sejak dulu memang selalu berhubungan dengan perang. Di sisi lain peran-peran penting dalam bernegara justru diambil oleh bangsa lain.
Misalnya Padang—keseluruhan Sumatera Barat—ditamsilkan oleh orang Aceh sebagai tukang bicara. Tentu itu bukan suatu yang keliru. Banyak diplomat Indonesia di masa lampau dilahirkan oleh rahim bunda Minang. Sebut saja Agussalim, Muhammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka. Mereka diplomat ulung. Dalam rentang sejarah kemerdekaan RI, nama mereka wara-wiri di dalam berbagai surat kabar, dokumen perjanjian, hingga lain-lain.
Orang-orang Batak ditamsilkan sebagai ureung duk di kantô. Artinya orang Batak merupakan bangsa yang berhasil masuk hingga ke level penentu kebijakan. Suara mereka berdengung—tidak menarik dari sisi diplomasi—tapi sangat menentukan dalam politik gertak. Orang Aceh tentu tidak pernah melupakan kekejaman batalion Batak yang dikirim ke Aceh setelah pencabutan status Aceh sebagai provinsi. Mereka mengatur segala lini kala itu sangat beringas.
Mereka juga sangat banyak di berbagai kementerian dari sejak Soekarno hingga Jokowi. Bahkan sangat banyak yang jadi jenderal hingga Menteri. Saat ini semua orang pasti kenal Luhut Binsar Panjaitan. Lord Luhut merupakan menteri serba bisa di negeri ini. Dia mengatur segala lini.
Jawa meuatô, artinya di Republik Indonesia, siapa saja boleh menjadi apa pun, tapi tidak untuk jabatan pemimpin tertinggi. Sepanjang Republik berdiri, baru Bj. Habibie yang non Jawa. Itupun berhasil menjadi presiden karena kecelakaan sejarah.
Lantas kita Aceh masih tetap ingin sekadar jago berperang? Sudah berapa lama kita bangsa kita menjadi petempur di tiap palagan? Sejak era kerajaan hingga sebelum 15 Agustus 2005, berapa banyak orang Aceh yang menjadi korban akibat perang? Lantas, apa yang didapatkan setelahnya?
Saat ini berbagai ladang migas sedang diekksplorasi di Aceh. sejauh mana peran orang Aceh di dalam industri itu? Bila kita memang belum mampu menjadi KKKS, posisi lain apa yang dapat kita isi? Misalnya sebagai vendor, ataupun tenaga kerja di industri elit itu?
Ini harus dipikirkan dengan seksama. Pikiran-pikiran itu hanya dimiliki oleh orang Aceh yang bermental pedagang. Politisi di negeri itu tak sempat berpikir, karena bagi mereka cash back lebih menarik.
Jangan sampai terulang pengalaman lampau di bumi Pasee. Gas dan minyak habis disedot, yang tersisa dari Aceh Utara hanya kemiskinan dan fasilitas publik yang sangat buruk. Kita harus berpikir, agar tak perlu berperang lagi supaya diperhatikan. Kita harus berani dan berhasil “menggertak” BPMA, SKK Migas (Pemerintah) dan orang kaya (KKKS) supaya mereka tahu kita masih ada di Aceh. Caranya? melalui mental Aceh dagang.
Ini zaman modern, perang konvensional sudah tak mempan, ini zaman proxy war, zaman perang dagang. Inilah medan perang kita sekarang. Jangan terjebak lagi ke perang konvensional yang strateginya seperti itu-itu saja dan sudah banyak dipelajari dan diteliti orang. Konon lagi cara orang Aceh berperang, telah menjadi bahan studi orang lain sejak perang itu dimulai.
Carilah buku tentang Cara Menghadapi Orang Jawa, ada tidak di toko buku? Tentu saja tidak ada. Karena buku itu belum ditulis. Tapi buku cara menghadapi orang Aceh dengan mudah dapat ditemukan. Salah satu penulisnya yaitu intelektual asal Belanda yang menekuni studi orientalis. Dia adalah Cristian Snouck Hurgronje.
Buku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diberi judul Orang Aceh, merupakan kitab paling mujarab bagi siapapun yang ingin mempelajari tentang Aceh dan manusianya.
Menghidupkan Kembali Trade Mark Aceh Dagang
Di Aceh, era kesultanan dua kelompok yang dominan di Aceh yaitu pedagang dan politisi. Pedagang-pedagang Aceh berniaga hingga ke mancanegara. Mereka dulu mudah ditemukan di Pelabuhan-pelabuhan penting di semenanjung Asia Tenggara.
Namun sejak Belanda melakukan blockade, kelompok pedagang tidak lagi bermukim di Aceh. mereka pindah ke Medan, Singapura, Penang. Sementara kelompok politik juga banyak yang keluar. Migrasi kelompok politik semakin banyak sejak pemberontakan DI/TII dan GAM. Mereka uzlah ke Malaysia, Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. Wali Negara Aceh/GAM Teungku Hasan Tiro bermukim di Swedia. Demikian juga sejumlah Menteri-menterinya
Kelompok pedagang di Aceh—hal yang utama yaitu para saudagar—jarang menjadi objek penelitian, sehingga sangat jarang disorot dalam tulisan. Peneliti-peneliti yang melakukan riset di Aceh, lebih gemar meriset politisi dan politik.Sehingga narasi jihad di medan perang dan konflik, lebih mendominasi literatur keacehan. Sedangkan jihad di medan ekonomi nyaris tak ada literaturnya.
Sebagai bagian dari DI/TII, dulu ayah saya setelah turun gunung segera berangkat ke Kota Medan, Sumatera Utara. Dia berdagang di sana. Ayah berdagang dengan adiknya dan saudara-saudaranya yang lain. Sampai sekarang mereka masih ada di sana sebagai pelaku ekspor. Ayah juga mengajarkan kami secara tidak langsung bahwa ketika bicara Aceh maka yang harus timbul dalam pikiran; Aceh dagang.
Baca juga: Ismail Rasyid, CEO Trans Continent yang Berkelas Dunia
“Korang Acheh keje repair kereta? nape tak buka kedai runcit? kat sini banyak kedai Aceh?” begitulah seorang kostumer yang memperbaiki mobilnya tadi sore, Sabtu (28/1/2023) ketika saya mengaku sebagai orang Aceh di Melaka, Malaysia.
Dua bulan lalu,saat saya bekerja di Semenyih seorang Pak Cik Melayu yang memperbaiki mobil double cabin-nya berkata pada saya ketika saya katakan bahwa saya orang Aceh.
“Aceh ni trade mark-nya niaga, yang keje kontrek orang Jawe, Mamak (India Muslim) buka kedai makan, ini aku cakap ya, bukan orang Aceh sendiri.”
“Aceh ni lain, die tak nak keje lama-lama dengan orang, ada duit dia meniaga,” kata teman saya King, orang Melayu di Bukit Jalil.
“Saya pernah hantar orang Aceh dekat kilang, dia marah kawannya, dia kate ‘nape engkau keje dengan orang,” kata seorang supir taksi online saat saya jalan-jalan ke Kuala Lumpur, tahun 2017.
“Dekat saya tinggal banyak orang Aceh buka toko, murah dan ramah,” kata tukang ojek Medan, tahun 2022, saat saya akan berangkat ke Batam.
“Gak buka warung, Mas?” Banyak warung Aceh daerah sini, kopi, mi Aceh-nya mantap,” kata seorang seniman yang baru kenal di seputaran Taman Ismail Marzuki sekitar tahun 2015.
Orang melihat kita—Aceh—tidak sebatas melalui pandangan sekilas. Ada rekam jejak sejarah yang diingat. Ketika nenek moyang mereka dan indatu kita bertemu dalam niaga besar. Ramai sekali orang Aceh dikenal sebagai pedagang. Di berbagai lebuh mereka ada dengan usaha yang gilang gemilang. Itulah yang diingat oleh orang. Mereka mungkin tak tahu kita punya sejarah perang panjang. Tapi mereka mengingat kita sebagai bangsa pedagang.
Tapi kita telah melupakannya. Kita sepakat dengan tudingan orang-orang picik bahwa Aceh bangsa pemalas. Orang Aceh semuanya bertabiat raja; malas, culas. Kita bergembira dengan itu, karena dengan demikian, kita memiliki bahan untuk membuli bangsa sendiri. Bukankah demikian perilaku orang-orang yang telah menjadi inferior? bukankah demikian tabiat lamit? Tertunduk di depan orang lain, dan saling menghina bila berjumpa dengan sesamanya.
Jangan lagi mudah diprovokasi supaya kita angkat senjata. Cukuplah pengalaman indatu dan kita tentang betapa buruknya perang bersenjata. Di zaman secanggih ini perang bersenjata merupakan perilaku orang-orang primitif.
Cukup sudah, Serambi Mekkah hampir saja menjadi negeri anak yatim—orphaned land. Mari kita bangun kembali Aceh yang menjadi rumah besarnya wangsa niaga, bangsa yang berdaulat secara ekonomi, dan disegani karena daya saingnya yang luar biasa. Mari bentuk kembali trade mark kita: Aceh dagang!
Terima kasih sudah memberi info yang sangat menarik ini