Tulisan ini merupakan curhat anggota dewan. Mewakili beberapa curhat anggota dewan yang pernah bercerita kepada Komparatif.ID. dikompilasikan sebagai satu kesatuan, tanpa menyertai nama-nama yang pernah menyampaikannya. Alasannya tentu soal privasi dan nilai tawar di mata publik dan di dalam dunia politik. Tulisan curhat anggota dewan disajikan dalam bentuk opini, supaya lebih mengena saat diceritakan.
Tidak enak menjadi anggota dewan. Mungkin kalimat itu terdengar klise, tapi sebuah fakta yang tidak dapat dibantah.
Seorang anggota dewan yang juga seorang teman, berhasil lolos menjadi anggota parlemen lokal di salah satu kabupaten di Aceh pada pemilu legislatif 2019. Para pendukung bersorak sorai. Dia juga bersyukur. Istrinya tersenyum, meski belum lega. Sang istri khawatir akankah sang suami dapat mengembalikan utang-piutang yang sudah diambil dari rekan yang selama ini “membantu” sang suami untuk menuju kursi wakil rakyat.
Sang teman menghabiskan Rp700.000.000. itu yang sempat dihitung, berdasarkan kwitansi utang resmi. Belum termasuk tabungan yang dihabiskan untuk kegiatan sehari-hari menjamu tamu yang datang memberikan dukungan pada bulan-bulan jelang pemilihan.
Baca: Inggit Garnasih, Cinta & Luka Karena Sukarno
Dalam perjalanan periode kedua, dia menikah lagi. Menambah seorang lagi istri atas nama cinta. Pernikahan itu disembunyikan dari istri pertama. Sang belahan jiwa nomor dua ditempatkan di kota lain. Sebagai istri kawin siri, dia menunggu saja kapan sang suami pulang. Tidak boleh menelpon bila tidak sangat perlu. Kebutuhan ekonomi dikirim tiap bulan. Tidak mahal, juga tidak murah. Rp7 juta per bulan harus ada untuk istri kedua. Sebab, ia anak pertama dan menanggung juga ekonomi untuk keluarga kecilnya di kota sana.
Dana pokok pikiran sang dewan tidak banyak. Maklum, kabupaten-kabupaten di Aceh secara umum merupakan pemerintahan yang tidak mandiri. Masih hidup menyusu dari kucuran dana otonomi khusus, dan anggaran rutin dari Pemerintah Pusat. Tak ada pendapatan asli daerah yang cukup. Untuk menaikkan angka uang masuk pejabat dan dewan, mereka harus menggelembungkan target PAD. Meski di ujung selalu tak mencapai target, tapi perilaku itu selalu diulang.
Di daerah-daerah di Aceh, lelang proyek-proyek pembangunan yang bersumber dari pemerintah, hanya sebagai kamuflase. Sebenarnya, sejak direncanakan sudah memiliki pemilik yang mengandalkan pangkat dan kekuasaan. Oknum-oknum di institusi vertikal menitip sekian persen proyek untuk mereka. ketika dikumpulkan, persentasenya mencapai 99 %. 10 persen sisa untuk jatah orang dalam.
Baca: Bung Karno Tukang Kawin
Mereka yang menguasai proyek, merupakan agen yang menjual kembali proyek tersebut kepada kontraktor melalui agen lainnya. Kontraktor membeli dan membangun. Jangan tanya kualitas. Proyek yang dibeli sudah berlapis-lapis kena potong fee. Kualitas proyek yang buruk tidak disoal untuk sementara waktu.
Bila ada wartawan yang menulis, maka petaka bagi si kontraktor. Dia akan kena palak lagi dari oknum petugas, dengan dalih biaya tutup mulut, telinga, dan mata. Makanya, kontraktor memilih minta damai dengan wartawan. Bila berdamai, amanlah dia—untuk sementara waktu–, tapi bila si wartawan menolak, dia tidak punya pilihan kedua. Matilah dia akan jadi sumber pemerasan oleh oknum yang berwenang.
Semua sumber daya alam dikooptasi oleh mereka juga. Hutan, galian C, parkir, hingga lapak-lapak jualan. Rakyat seperti hidup di dalam film-film produksi Kollywood dan Tollywood. Pemerintah ada sebagai pemegang stempel, instansi vertikal melalui oknum-oknumnya yang bekerja sistematis sebagai monster yang menakut-nakuti, gangster lapangan sebagai tukang ancam, dan rakyat mau tak mau harus tunduk. Bila melawan akan dihajar.
Anak muda? Si anggoat dewan bilang, mereka banyak yang telah dapat disogok dengan paket-paket kecil, atau uang cash berjumlah sedikit untuk sekadar dapat bergaya di ruang publik. Nongkrong di café yang sedang in, dan memakai pakaian bermerk, serta update status di media sosial dengan foto-foto nan artistic.
Perempuannya yang muda-muda, sebagian tidak tahan hidup dalam kondisi miskin. Kemudian memilih jalan gelap. Menjadi pelacur, menjual tubuh dengan harga yang kompetitif. Perang tarif terjadi, tapi ada juga yang pandai. Memilih menjadi simpanan pejabat-pejabat korup yang tak bisa menjaga kehormatan alat kelamin.
Si anggota dewan tak dapat berbuat apa-apa. Anggaran pokirnya yang tidak mencapai 1 miliar per tahun, harus dikawal sejak direncanakan, sampai saat dilelang. Sebentar saja mengantuk, sudah dibawa lari. Akhirnya terjadi transaksi bisnis ilegal dengan pelaksana tender dan atasan si pelaksana tender. “Anda jaga punya saya, saya jaga punya Anda.”
Bahkan ada anggota dewan yang melaga dana tabungan ke industri gelap money game. Berharap dapat untung, tapi umumnya buntung.
Program-program pembangunan, penguatan kapasitas, pemberdayaan, semuanya tipu-tipu. Si anggota dewan bilang, bila ada 1 miliar rupiah anggaran peningkatan kapasitas masyarakat, 800 juta rupiah kembali ke pelaksana dan koleganya dalam bentuk macam-macam. Peserta kegiatan hanya dapat tas, sertifikat, dan uang saku yang tidak seberapa.
Hutan dan tanah-tanah milik Tuhan di gunung-gunung nan hijau. Dialihkan atas nama HGU dan dibeli secara ilegal oleh oknum-oknum untuk kepentingan tambang orang yang jumlahnya sedikit. Rakyat makan tanah. Tidak makan hasil kekayaan yang diambil dari dalam tanah.
Untuk menutupi keangkaramurkaan, ketidakmauan membangun, disaluplah dengan kegiatan sosial dan narasi agama. Kegiatan-kegiatan religius ditingkatkan. Seminar-seminar bertema religi diperbanyak. Bahkan protes-protes ekonomi dari kelompok oposisi, diputar, disalup dengan isu ekonomi syariah, dengan memunculkan pakar-pakar bayaran untuk bicara. kelompok yang memprotes dihantam dengan label anti-syariat Islam.
Anggota dewan mengatakan kolaborasi dalam dunia kegelapan terpaksa dilakukan, karena mahalnya satu kursi yang didapatkan.
Berstatus sebagai wakil rakyat, uang masuk 5, uang keluar 20. Ditambah pula dengan iuran-iuran resmi dan tak resmi yang harus disetor kepada partai. Bila ia bekerja jujur, maka jangankan dapat membayar utang pemilu Rp700 juta, bahkan untuk mengontrak rumah layak huni saja di kota si anggota dewan tidak akan mampu.
Bila sesekali dia butuh lebih. Maka ia akan berteriak atas nama rakyat. Dia pasti dipanggil, dan kemudian kembali berkolusi demi menjaga periuk nasi, melunasi utang, dan mempertahankan gaya hidup sebagai wakil rakyat.
Ada satu catatan menarik dari curhat anggota dewan itu. Periode ini daerah berada dalam kondisi paling buruk. Semua yang punya wewenang, melalui oknum-oknumnya berlomba-lomba merampok sumber daya di kabupaten. Semuanya dikuasai. Hukum, telah dikunci di dalam rumah kosong, ditutup dengan seragam-seragam gagah yang pemakainya telah mengalami kematian nurani.
“Kesalahan diciptakan, kemudian pelakunya diperas sampai tersisa kentut dan dan sisa kotoran di perut. Saya bertahan karena dua alasan. Minimal ada sedikit yang mengalir ke bawah, dan selebihnya menutupi defisit keuangan pribadi yang sangat bermaharajalela,” curhat anggota dewan itu sembari pamit karena seseorang yang utangya belum ia lunasi, terlihat masuk ke dalam warkop.
Percuma….