Chow Kit, Pesan Pakai Bahasa Aceh, Bayar Dengan Ringgit

Chow Kit
dr. Hulaimi (dua) dan dr. Saiful Hadi (tiga dari kiri) sedang berada di di salah satu warkop di Chow Kit. Ngobrol bersama warga Aceh di sana. Foto: Dok. Hulaimi.

Komparatif.ID, Kuala LumpurChow Kit yang merupakan sub daerah di tengah Kuala Lumpur, Malaysia, merupakan “kampung Aceh” yang sangat legendaris. Siapa saja yang datang ke sini, pasti akan merasakan suasana Aceh, kecuali dalam satu hal; membayar.

Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Pulmologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, saya wajib mengikuti stase di Serdang Hospital yang berlokasi di Selangor. Stase tersebut selama satu bulan.

Menjadi mahasiswa di negeri orang tentu saja tidak mudah. Apalagi sebagai orang Aceh, ada tradisi minum kopi setiap hari selama di Serambi Mekkah. Hangout di warung kopi merupakan rutinitas tatkala istirahat dari rutinitas rumah sakit.

Saya dan teman-teman sudah mencoba mengakali kebiadaan menyeruput kopi panas di warkop, dengan cara menyeduh kopi sachet. Tapi itu tidak dapat mengobati rindu kepada sajian kopi robusta saring khas Aceh.

Kami juga merindukan kuah asam keu-eung, kuah pliek, kuah beulangong, sie itek Bireuen, dan lain-lain. Tapi saya dan teman-teman sedang di Malaysia. Keinginan menyicipi kuliner Aceh merupakan hasrat yang tidak mudah diwujudkan.

Baca: H. Abubakar, Saudagar Bireuen yang Beri Baju Baru untuk Sukarno

Akhirnya—demi mengobati rasa kangen kopi dan kuliner Aceh—saya menulis status di WhatApps, dan di media sosial lainnya. Status di media sosial direspon oleh netizen. Kalau ingin memulihkan rindu kuliner dan kopi Aceh, mengapa tidak bertandang ke Chow Kit yang oleh orang Aceh sering disebut Joket atau Coket.

Untuk meyakinkan saya bahwa Chow Kit merupakan tempat yang tepat, mereka mengirimkan foto saat mengudap mi gureng yang kini secara luas dikenal dengan sebutan mi aceh.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya benar-benar bahagia. Seperti gadis yang mendapatkan setumpuk kencana yang dikirim pangeran mengendarai bianglala. Rasa bahagia begitu meletup-letup laksana jaka yang mendapatkan suling buluh perindu.

Dari data yang disajikan Google, jarak dari tempat kami menginap ke Chow Kit 18 kilometer. Berbekal panduan aplikasi Moovit, kami mendapatkan jasa kendaraan tumpangan dengan harga RM200. Bila diukur dengan rupiah sekitar Rp70 ribu. Tapi kami punya pilihan yang lebih murah; monorel. Dengan harga karcis Rp13.200 alias RM3,8, kami sudah tiba di Chow Kit. Ini kiat hemat, yang penting rajin mencari tahu harga.

Sesampainya di Chow Kit, kami langsung mencari warung kopi. Warkop pertama yang ditemukan oleh pandangan saya yaitu Raja Bot.

Tahukah Anda, ternyata warkop Raja Bot 100 persen menghadirkan suasana Aceh. Pekerja dan pengunjung seluruhnya berbahasa Aceh. Rasa-rasanya saya sedang di warkop di Aceh.

Lidah yang sudah teramat rindu masakan Aceh, memaksa saya dan teman segera memesan nasi dan kuah asam keu-eung. Kami juga memesan mi gureng dan kopi.

Seluruh proses memesan makanan dan minuman saya lakukan menggunakan bahasa Aceh. Dijawab pun dengan bahasa Aceh. Duh, asyik banget.

Makanan di Raja Bot tidak berbeda dengan di Aceh. Rasanya benar-benar otentik. Harganya juga sangat terjangkau.

Nasi putih plus ikan bandeng asam keu-eung dijual RM6. Atau setara dengan Rp21.000. Harga kopi per gelas RM2. Setara Rp7 ribu.

Selesai makan siang, sudah masuk waktu salat Dhuhur. Saya dan teman pun bergegas menuju Surau Aceh. Saya sempat mengira surau di tengah pasar yang sibuk, tentu kebersihannya seadanya saja. Ternyata dugaan saya keliru. Surau Aceh benar-benar bersih. Toiletnya bersih, sajadahnya bersih, dan ruang salatnya sangat nyaman.

Identitas Aceh di Chow Kit

Orang Aceh di Chow Kit masih tetap mempertahankan keacehannya melalui kuliner, bahasa, dan meunasah. Tiga identitas penting dalam menjaga sebuah peradaban supaya tetap diakui masih ada.

Apa artinya sebuah bangsa, bila kehilangan bahasa? Apa artinya sebuah entitas, bila tak lagi punya kuliner otentiknya? Apa artinya Aceh, bila tak lagi memiliki meunasah?

Saya mencatat pengalaman penting. Orang-orang yang merantau, cenderung mempertahankan bahasa, kuliner, dan identitas lainnya. Mereka ingin dilihat sebagai sesuatu yang penting, unik, dan tentunya asyik. Pekerjaan boleh apa pun, tinggal boleh di manapun, tapi identitas tidak boleh hilang.

Pengalaman lainnya, etos kerja perantau Aceh juga menarik dikaji. Bagi mereka yang sedang berada di tanah rantau, waktu adalah uang. Falsafah itu benar-benar dihayati dalam bentuk tindakan.

Joket/Coket, merupakan titik penting yang harus saya catat dalam agenda. Bila kelak kembali ke Malaysia, Chow Kit merupakan lokasi yang harus saya kunjungi lagi. Tentu—bila ada kesempatan—saya bisa kembali lagi ke sini. Menyeruput kopi, mengudap mi gureng, dan menyantap geumuloh asam keu-eung.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here