Komparatif.ID, Banda Aceh— Dewan Pengurus Daerah (DPD) Projo Aceh menggelar diskusi Politik Poh Cakra kepemimpinan politik Aceh 2024-2029, tantangan dan peluang membangun masa depan Aceh di Soba Cafe, Banda Aceh, Kamis (23/5/2024).
Ketua DPD Projo Aceh Taufik Muhammad saat membuka diskusi berharap kegiatan tersebut dapat memantik pembahasan tentang sosok ideal pemimpin Aceh. Ia juga berharap audiens yang hadir, terutama dari kalangan pemuda mendapatkan gambaran masalah yang dihadapi pemimpin di Aceh.
Diskusi Politik Poh Cakra Projo Aceh dibuka oleh paparan Sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Danil Akbar Taqwaddin. Ia mengatakan kontestasi pemilihan pemimpin/kepala daerah membutuhkan lima modal; Toke, Tokoh, Tukang, Teuntra, dan Tuhan.
Danil menjelaskan lima modalitas tersebut merupakan rumus kemenangan. Toke adalah modal uang untuk mengamankan suara di lapangan. Lalu Tokoh ialah popularitas individu untuk mengakses lumbung-lumbung suara yang belum terjangkau.
Baca juga: Pemimpin Aceh Miskin Gagasan
Kontestan juga memerlukan Tukang atau mesin pemenangan sebagai eksekutor lapangan. Lalu Teuntra atau kawalan. Danil menyebut kerja-kerja pasca-hari pemilihan sangat menentukan tingkat kemenangan. Karena itu butuh kawalan, baik dari TNI-Polri hingga petugas penyelenggara pemilu agar yang didapat suara tidak tiba-tiba beralih ke calon lain. Terakhir Tuhan atau takdir.
Sementara itu, akademisi Universitas Abulyatama Usman Lamreung calon pemimpin tidak boleh hanya berkutat pada popularitas ketokohan atau partai, tapi dari kemampuan berpikir yang diejawantahkan ke dalam gagasan yang bisa diuji dan dikuliti masyarakat.
“Saat ini kepemimpinan hanya berbicara pada popularitas (tokoh atau partai). Padahal kita butuhnya gagasan. Dari calon yang bermunculan belum ada yang menyampaikan gagasan,” lanjutnya.
Usman menjelaskan, gagasan berperan penting sebagai jalan yang akan dilalui pemimpin ketika menjabat nantinya. Sehingga proses menuju tujuan yang ditetapkan dapat tercapai.
“Pemimpin itu harus tahu jalan mewujudkan gagasannya,” ungkapnya.
Lemahnya kepemimpinan di Aceh menurut Usman tidak hanya terjadi pada level Gubernur atau Bupati, tapi hingga ke tataran pemilihan Kepala SKPA yang tidak menjalankan meritokrasi secara optimal.
“Pengelolaan anggaran tidak beres, bahkan penempatan posisi di lingkungan pemerintahan bermasalah dan tidak lepas dari money politic,” imbuh Usman.