Sufi (darwis) adalah sebutan untuk kelompok muslim yang intens mendekatkan diri kepada Tuhan. Sufi lahir dari tradisi Islam. Mereka dikenal memiliki tingkat disiplin yang tinggi dalam beribadah dan menjaga prinsip agama. Tidak hanya dalam ibadah personal (mahdhah), tetapi juga memiliki aturan dalam ibadah sosial (ukhuwwah). Kaum sufi mempraktikkan Islam pada level ihsan, sebuah tingkatan lanjutan di atas ibadah syariat.
Sejauh ini, darwis sering diidentikkan dengan sikap menjauhi dunia. Prinsip yang dianutnya memang demikian. Namun yang mereka jauhi adalah sifat dunia yang dipenuhi kenikmatan yang fatamorgana. Sikap itu tercermin dari pola hidup yang ditampilkan mulai dari menyendiri (uzlah), tidak bergaul dengan manusia, sedikit berbicara, berpakaian sederhana, dan mencukupkan diri dengan harta benda seadanya hingga menghindari kemewahan.
Jika dilihat dari literatur yang ditulis oleh guru-guru sufi, seperti Imam Al-Qusyairi, ajaran tasawuf yang dipraktikkan kaum sufi memiliki landasan kuat bersumber dari ajaran Islam, baik dari pesan Alquran yang mengatakan dunia itu sementara (fana), permainan (la’ibun), senda garau (lahwun), perhiasan (zinatun), dan akhirat sebagai tempat terbaik yang kekal (akhiratu khairu wa abqa). Maupun potret Nabi yang memilih hidup sederhana. Sifat dunia demikian membuat mereka tidak melirik pada kenikmatan dunia, dan memilih fokus beribadah sebagai jalan menuju kenikmatan akhirat.
Baca: Sufi Nusantara Pesta Kopi di Tanoh Gayo
Makanya saat sendiri, kaum sufi gemar bermujahadah (bersungguh-sungguh dalam ibadah). Apalagi malam hari menjadi waktu khusus mereka melakukan latihan diri (riyadah). Tidak cukup pada ibadah saja, kaum sufi sering melatih diri agar senantiasa ikhlas dengan cara menyembunyikan ibadah dari hadapan manusia. Sedangkan siang hari, mereka melakukan aktivitas sebagaimana manusia umumnya, mencari rezeki, dan menjalin hubungan sosial dengan manusia, terutama persahabatan (shuhbah).
Tidak seperti manusia umumnya menjalin persahabatan atas landasan kesamaan visi hidup, psikologis, pikiran hingga selera. Kaum sufi justru membangun persahabatan atas landasan bahwa ia merupakan perintah agama. Konsep persahabatan sering dibahas dalam karya-karya ulama sufi.
Adapun sumber pertama yang menjadi rujukan kalangan sufi adalah kehidupan Nabi Muhammad SAW. bersama Sahabat. Sahabat adalah sebutan untuk sebuah generasi terbaik yang membersamai perjuangan Nabi dalam menyampaikan Risalah Islam. Potret persahabatan Nabi sempat menjadi perhatian Allah, hingga turun ayat menceritakan kejadian yang dialami Abu Bakar bersama Nabi. Ketika Nabi melakukan hijrah menuju Madinah, Abu Bakar R.a. menemani Nabi. Karena mengetahui dibuntuti oleh kaum Quraisy, keduanya bersembunyi di Gua Tsur selama 3 hari. Abu bakar merasa was-was dan takut bahwa kaum Quraisy akan menemukan Nabi. Ia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi pada Nabi. Lalu, turunlah ayat Al-Quran yang menceritakan kesetiaan Abu bakar kepada Nabi yang termuat dalam surah At-Taubah ayat 40.
Baca: Ishaq Ibnu Ali, Penyanyi Sufi dari Tanah Rencong
“Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Persahabatan keduanya yang kemudian disebutkan oleh Allah dalam ayat tersebut dengan istilah Sahabat (sahib) menjadi tonggak bagi ajaran kaum sufi tentang persahabatan (Shuhbah).
Prinsip Sahabat Dalam Sufi
Kaum sufi menganjurkan persabahatan (suhbah), dan melarang menyendiri (uzlah) yang berlebihan. Terutama bagi mereka yang baru memulai perjalanan kesufian (salik), menyendiri akan mudah dihampiri oleh keburukan. Sebagaimana kata Nabi, “Setan bersama orang yang menyendiri, tetapi ia menjauh dari dua orang yang bersama-sama (bersahabat). Namun, uzlah juga menjadi metode tersendiri yang dipraktikan oleh kaum sufi pada ahwal tertentu. Ia adalah salah satu proses penting dalam riyadhah (latihan), mengontrol nafsu dari keterikatan dengan dunia.
Guru-guru sufi menyuruh muridnya untuk melakukan persahabatan dengan sesama, dan memilih teman yang baik yaitu ketika bersamanya hati kita terpaut pada agama, dan teringat akan Tuhan. Malik bin Dinar mengatakan kepada menantunya, Mughirah bin Tsu’bah, “Jika engkau tidak bisa memetik manfaat keagamaan dari seorang saudara atau teman, hindarilah bersaudara atau berteman, agar engkau selamat.” Bahkan Imam Al-Ghazali menyuruh kepada siapa saja yang tidak menemukan sahabat (yang bermanfaat) yang dapat dijadikan saudara, lebih baik ia sendiri.
Baca: Dayah Sufi Muda Gelar Maulid Akbar 1000 Lemang
Dalam hal persahabatan, kaum sufi membuat aturan-aturan dan tugas yang mesti dilakukan. Sehingga di antara mereka, persahabatan menjadi suatu kewajiban agama. Banyak karya yang mereka tulis sebagai penuntut bagi para salik dalam persahabatan, seperti Imam Junayd Al-Baghdadi menulis kitab Tashih al-Iradah, Syeikh Ahmad Al-Balkhi karyanya Al-Ri’ayah bi Huquqillah, Imam Tidmidzi berjudul Adab Muridin, dan banyak lagi yang lainnya.
Salah satu prinsip kaum sufi dalam hal ini adalah, bahwa mereka harus memperlakukan setiap orang sesuai derajatnya masing-masing. Memperlakukan orang yang lebih tua dengan pernghormatan yang tinggi (hurmat), seperti bapak, orang tua dan ibu. Orang yang sebaya dengan mereka diperlakukan dengan keramah-tamahan, seperti saudara sendiri. Sehingga terasa tidak ada sekat apapun antar mereka. Orang-orang yang lebih muda dengan kasih sayang, seperti anak-anak sendiri. Mereka menghindari kebencian, iri hati, dan kejahatan, dan selalu menerima nasihat dari siapapun (tanpa melihat status sosial dan pengetahuan) dengan tulus ikhlas.
Imam Al-Ghazali menceritakan dalam Ihya Ulumuddin, Kitab Adab Al-Ulfah wal Ukhwah, Suatu ketika cicit Nabi yaitu Ali ibn Husain, R.a bertemu dengan para sahabatnya, ia bertanya, “Apakah seseorang dari kalian boleh memasukkan tangan ke dalam saku atau dompet saudaranya, dan mengambil apa yang diperlukan tanpa izin? Ada yang menjawab, “Tidak”. Kalau begitu, kalian tidak bersaudara (baca: bersahabat). Tegasnya.
Persabahatan itu dibangun atas prinsip mendahulukan saudaranya di atas dirinya sendiri yang disebut dengan itsar. Sebuah sikap yang muncul dari keimanan yang tinggi dari orang-orang terpilih sepanjang zaman. Bagaimana dengan hari ini, apakah masih ada persahabatan seperti yang dipraktikkan kalangan sufi? semoga.