Bulan dalam Kebudayaan Manusia

Bulan
Bulan (Shutterstock)

Bulan dan manusia dapat disebut dependen sekaligus relasi kebudayaan dalam sejarah manusia yang cukup lama dan tua. Kemunculan bulan di malam hari dengan posisi sabit hingga purnama telah mendorong manusia untuk memahami benda angkasa ini sejak lama.

Tradisi menyembah bulan telah lama ada dalam sejarah manusia, bahkan sebelum 360 berhala di sekitar Kabah dihancurkan, ada Hubal-sosok berhala yang diyakini oleh bangsa Arab kala itu sebagai jelmaan Dewa Bulan. Artinya, benda langit tersebut memang mendapat panggung dan berpengaruh bagi kebudayaan sejarah manusia.

Baca: Nasi Kebuli Tu Sudan, Harga Sebumi Rasa Selangit

Jauh sebelum Neil Amstrong seorang astronot Amerika yang mengklaim dirinya telah menginjakkan kaki ke moon pada tahun 1969, dan sempat memicu perdebatan sengit di kalangan kelompok agamawan, sebenarnya Nabi Ibrahim juga telah lama berdialektika dengan lunar . Dalam beberapa riwayat sang Nabi mencari eksistensi Tuhan, ia pernah menganggap lunar sebagai jelmaan Tuhan sang pencipta semesta, mengingat sosok satelit Bumi tersebut tampil menawan di malam hari. Meskipun, pencarian itu gagal, seiring menghilang menjelang fajar dan siang hari.

Sebagaimana dipahami bersama, kebudayaan dengan melibatkan candra dalam sejarah umat manusia tak pernah lekang-selalu hadir di setiap perjalanan sejarah umat manusia. Mulai dari tanggal yang dibungkus dalam satuan bulan hingga menjadi hitungan dua belas yang disebut warsa.

Syair dan puisi penuh emosional serta sentimental juga kerap melibatkan satelit terbesar tersebut sebagai simbol keagungan dan keanggunan. Kue bulan dalam tradisi Tiongkok juga menjadi simbol persatuan, hingga nama perempuan Aceh ada yang dikaitkan langsung dengannya seperti Nyak Buleun. Bahkan, transisi kedewasaan penting perempuan sering ditandai dengan istilah datang bulan dan telat datang bulan, hingga proses melakukan reproduksi anak manusia yang baru saja melangsungkan pernikahan dinamai honey moon. Demikianlah lunar masuk dalam struktur kebudayaan dan sejarah peradaban manusia.

Islam sendiri sebagai agama dengan penganut terbanyak kedua setelah Kristen, paling kental dan erat menggunakan kamar sebagai bagian kebudayaan sekaligus entitas agama ini. Mulai simbol sabit yang diidentikkan dengan negara Islam dan banyak dilekatkan pada simbol bendera serta logo lainnya, hingga penggunaan penanggalan tahunan (warsa) berdasarkan pergantian lunar (red- Hijriah).

Khusus dalam penanggalan Hijriah, ada beberapa bulan yang mengharuskan sebagian Muslim untuk melihat langsung kehadirannya secara langsung (red, rukyat); terutama Ramadan dan Syawal.

Meskipun beberapa kelompok Muslim lainnya memilih cara yang lebih modern, dengan memperkirakan peredaran lunar sesuai perhitungan matematis dan astronomis dalam rangka menentukan posisi bulan (red, hisab), mengingat peredaran dan perhitungan telah diyakini sesuai edar dalam pengetahuan astronomi.

Secara otomatis, kerja ini tidak perlu lagi harus bersusah payah melaksanakan kegiatan melihat langsung menentukan bulan baru, sebagaimana dilakukan oleh kelompok Muslim yang masih bertahan dengan tradisi lama dengan keyakinan “sesuai perintah Nabi.”

Dari jagat upaya melihat langsung “bulan baru,” memang kerap memunculkan perbedaan pandangan di kalangan umat Islam, terutama menyangkut kapan harus memulai puasa atau hari raya.

Maka, guna memastikan si penglihat benar-benar melihat penampakan sabit pertama sekali, pihak otoritas keagamaan akan melakukan sidang isbat guna memastikan jika sabit pertama kali benar-benar telah nampak sekaligus menentukan kehadiran bulan baru.

Selanjutnya ditandai dengan dimulainya ritual tulen dan wajib yaitu berpuasa hingga hari raya tiba selama dua puluh sembilan atau tiga puluh hari penuh.

Tak jarang akibat perbedaan pandangan dalam menyoal bulan, di beberapa tempat sudah mulai berpuasa, di tempat lain masih memilih menikmati makan, minum, berjimak dan perkara lainnya yang sangat dilarang dalam bulan Ramadan.

Tapi, inilah uniknya Islam, selalu menawarkan pilihan yang tidak tunggal dan kaku bagi pemeluknya. Namun, ruang celah demokrasi dalam Islam tersebut tak jarang dimanfaatkan oleh ego kelompok, termasuk dalam pengakuan dan kemampuan melihat kamar.

Di Negeri paling ujung Sumatra mengawali Ramadan tahun 2025 menjadi contoh gagalnya pengetahuan berada di garda depan, dibunuh oleh ego kedunguan dan kelompok.

Akibatnya, umat kocar kacir, kawasan yang seharusnya menjadi tempat diharapkan mampu mempersatukan umat, justru mengecewakan akibat dampak dari petitih Aceh caröng gop h’an taakui, bangai droe hana tatupue.

Sejatinya, buleuen tak pernah datang terlambat dan telat, orbit dan rotasinya sudah jelas di semesta raya. Kecuali pada manusia, ada tradisi telat datang bulan, seperti telatnya kebudayaan masyarakat tertentu bergerak maju akibat tidak mau memahami laju rotasi kamar dalam perkiraan pasti dan matematis. Ketelatan sadar jika pengetahuan bekerja secara pasti seperti peredaran sang satelit Bumi.

Islam adalah agama transformatif layaknya pergerakan lunar dari sabit ke purnama, hanya sebagian umat yang kekeh berada di sabit dan tak mau menjadi purnama. Mari menyambut syawal 2025 dengan semangat transformasi lunar.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here