Elang dalam sangkar besi di sebuah taman safari di ujung sebuah pulau. Sangkarnya dari besi. Sangkar dibangun sangat indah.
Di pintu sangkar, digantung selembar kertas yang telah dipress plastik bening. Berisi informasi tentang asal-usul elang. Wilayah sebaran, rentang sayap, dan daya jelajah.
Setiap pengunjung pasti mengunjungi sang elang. Binatang berdarah panas itu dipuji oleh setiap orang yang melintas. Ia dipotret, bahkan tak jarang manusia berselfie ria dengan latar belakang eagle tersebut.
“Tak ada burung yang lebih hebat dari ini. Petarung sejati, pemimpi besar dan pekerja keras. Eagle merupakan burung penyendiri. Tapi kita tidak bicara tentang yang di dalam sangkar. Karena ini tidak lebih dari kalkun berbentuk brontok,” terang seorang pengunjung kepada putranya.
Baca: Gangga Disembah Sekaligus Dihina
Berkali-kali burung genus aquilla itu memekik. Kepalanya diliuk-liukkan membentuk kesan sangar. Seolah ingin mengatakan “ I am a king!“
Pengunjung bertepuk tangan. Burung filum chordata itu kembali memekik. Kemudian mengepakkan sayap. Kedua kakinya kukuh mencengkeram ranting mati yang dipasang pekerja taman safari.
Dia mengepakkan sayap lagi. Meloncat dari ranting mati ke ranting lainnya yang juga tidak hidup. Setelah berhenti, kembali kepalanya diliuk-liukkan, mencoba menghadirkan aura sangar. Seorang anak lelaki kegirangan. “Lagi! Ayo, Lang, lagi, liukkan lagi!” Pekik sang bocah sembari meloncat-loncat kecil di sudut sangkar.
Elang itu kembali meliukkan kepala. Setelah sekian lama, batang lehernya terasa sakit. Ia bermaksud rehat sejenak. Tapi pengunjung memintanya beraksi lagi. Burung buas itu enggan. Tapi tatapan tajam petugas safari membuatnya harus mengulang apa yang telah tadi dimulai.
Di sela-sela atraksi sang burung besar sempat melihat ke luar sangkar besi. Nun di sana, teman-temannya bersuka ria memburu burung kecil, dan ikan di sungai yang jernih di pinggang Bukit Barisan yang hijau.
Eagles di gunung memilih menjauh dari sangkar besar. Mereka tak ingin dipenjara dalam aturan yang semata menguntungkan pemilik taman safari. Mereka memilih “uzlah” dari hidup yang selalu diatur oleh serangkaian term of conduct “pabrikan” kepentingan.
Seekor elang hitam berseru dari tepi bukit batu. “Lihatlah! Brontok itu! Yang merasa diri paling elang. Itu dia yang merasa paling peduli terhadap keyakinan elang, lihatlah! Ia sebenarnya terpenjara. Dia menikmatinya dengan terpaksa kehidupan penuh aturan, yang sejatinya tidak lebih camp konsentrasi tempat Yahudi ditempatkan, sebelum digiring ke ladang jagal.”
“Lihatlah, kodok-kodok di bawah tempurung besar itu, mereka sepanjang hayatnya hanya makan tahi elang dalam cintra sembari bersorak bahwa elang brontok di dalam sangkar sebagai puncak penentu nilai keelangan. Mereka berpikir telah hidup paling teratur. Mereka tidak tahu bila brontok hanya boneka untuk segenap yang tunduk tanpa banyak bertanya.”
***
Pengunjung di taman safari pulang ketika cahaya Matahari mulai berpendar. Diiringi lagu India dari sinema legendaris “Dhadkan” mereka beranjak pergi.
Pemilik taman safari menghitung jumlah karcis dan melipat lembaran uang hasil pemasukan. Para pekerja menjulurkan kaki di ruang ganti. Mereka sangat lelah setelah seharian bekerja tanpa jeda.
Pekerja wanita masuk ke kamar mandi, membasuh sekujur badan. Mengelap tubuh, mengganti pakaian, menyemprotkan parfum, memulas gincu di bibir; selanjutnya beranjak pulang. Mereka harus terlihat sempurna di mata publik, meski telah dibekap lelah tanpa ujung.
Pemuda kampung menghitung jumlah pendapatan dari jasa parkir. Membagi persen kepada desa. Kemudian pulang ke rumah dengan motor matic kredit yang belum lunas.
Headset nirkabel dimasukkan ke dalam daun telinga. Sebatang rokok diselip di jemari tangan kiri. Lagu balada Iwan Fals “Penguasa! Penguasa beri hambamu uang” mengalun pelan. Angin menyibak helai baju kaos yang ditaruh di bahu kanan.
Seekor rajawali kuskus terbang dari puncak bukit. Matanya tajam menatap derak air sungai. Ia meluncur sangat deras, kecepatannya mengalahkan angin. Tubuh rampingnya dihujam ke dalam air. Dua menit selanjutnya seekor keureuling ditekan kuat oleh paruh bengkok. Ikan itu diterbangkan ke puncak bukit batu.
“Elang sejati tidak dapat diatur oleh pemakan pelet di dalam sangkar besi.” Serunya kepada dua elang muda yang sedang belajar terbang.
“Seekor elang tidak pernah kehilangan waktu tidurnya karena perasaan seekor kalkun.” (Matshona Dhliwayo)