BPKS [Seharusnya] Bukan “Anak Haram” Pemerintah Pusat

Muhajir Juli BPKS Sabang
Muhajir Juli. Dok. pribadi.

Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) baru saja mengalami pergantian pucuk pimpinan. Pada Rabu, 8 Mei 2024, Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah, melantik Iskandar Zulkarnaen sebagai Kepala BPKS.

Beberapa orang meragukan kapasitas Iskandar Zulkarnaen dalam menakhodai BPKS. Lembaga yang beroperasi sejak 2000, merupakan naga patah kaki di tengah lautan.

Silih berganti orang dilantik dan kemudian diberhentikan –sebagian habis masa kerja karena pensiun—akan tetapi Sabang dan sekitarnya tak kunjung maju.

Lalu benarkah ketidakmampuan ototitas tersebut membangun Sabang dan sekitarnya karena lembaga itu salah urus di tingkat Aceh? Tentu saja masalah sumber daya manusia di internal menjadi persoalan. Kompetensi manusia yang mengelola umumnya tidak memiliki pengalaman di bidang tersebut.

Baca: Ini Dia Profil Ketua BPKS Iskandar Zulkarnaen

Saya mendapatkan kabar, sebagian pejabat  yang duduk adalah PNS dari Pemerintah kota Sabang, tidak direkrut secara profesional. Di internal, mereka kurang berwibawa dalam berkomunikasi dengan Pemko Sabang dan Pemkab Aceh Besar. Konon lagi dengan Pemerintah Aceh dan kementerian terkait di Jakarta.

Ini PR utama di internal. Kompetensi para pejabat masih bermasalah. Pemerintah yang lalu saya duga alpa memperhatikan persoalan kompetensi pegawai, semoga ke depan, ini menjadi perhatian penting.

Ke depan BPKS harus diisi oleh pejabat yang memiliki kemampuan setara dengan pejabat di berbagai kementerian/lembaga. Dengan demikian, akan melahirkan kemampuan yang setara; tidak pincang seperti yang sudah terjadi.

Persoalan lainnya yang tidak kalah penting, dan saya perkirakan sebagai persoalan utama yaitu ketidakrelaan Pemerintah Pusat mendukung keberadaan Pelabuhan Bebas di Sabang. Meski BPKS merupakan lembaga pemerintah non struktural dan bagian dari kementerian dan lembaga, bermitra dengan DPR RI Komisi VI seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, KPPU, BSN, dll, tapi dalam operasionalnya, BPKS diperlakukan seperti lembaga daerah.

Boleh dikatakan posisinya di mata Pemerintah Pusat seperti anak haram yang lahir di keluarga kaya, yang mau tak mau harus diakui, tapi tidak diberikan perhatian yang baik.

Lihat saja, berapa kali lembaga tersebut dilibatkan dalam agenda nasional? Bila saya tidak keliru, BPKS hanya dilibatkan dalam kerja sama India dan IMT-GT. Selebihnya, BPKS ya seperti saya katakan tadi, posisinya seperti anak haram yang lahir dari keluarga kaya. Hanya menjadi penyambut tamu pelancong luar negeri yang singgah di Sabang menggunakan kapal pesiar.

Sebagai Dewan Kawasan Sabang (DKS), Gubernur Aceh, Wali Kota Sabang dan Bupati Aceh Besar, bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sesuai dengan perpu No. 2 tahun 2000 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 37 tahun 2000. Akan tetapi, sejauh pengetahuan saya, dalam 20 tahun terakhir, Presiden tidak pernah memanggil DKS untuk duduk bersama membincangkan bagaimana memajukan Kawasan Sabang.

Ketidakpedulian presiden-presiden yang sudah menjabat terhadap BPKS, berpengaruh kepada pengalokasian anggaran, yang terus menurun tajam, dikarenakan tidak lagi menjadi prioritas pembangunan nasional. Terutama sejak musim Covid 19, dengan dalih automatic adjustment, anggaran BPKS selalu dipotong dari anggaran tahunan yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPR RI.

Pemotongan anggaran BPKS merupakan penzaliman Pemerintah Pusat kepada Aceh dan BPKS. Amanat pengembangan kawasan yang dituangkan dalam perencanaan, tidak bisa dilaksanakan karena tidak adanya anggaran.

Masalah lainnya, meskipun secara UU usia BPKS sudah mencapai 20 tahun –didirikan dengan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang, nyatanya Peraturan Pemerintah tentang pendelegasian Kewenangan di bidang Perizinan (PP 83/2010) sebagai turunan dari UU 37 tahun 2000, baru lahir tahun 2010.

Ada jeda 10 tahun antara UU dan PP, sehingga selama itu, BPKS tidak bisa mengepakkan sayapnya karena keterbatasan regulasi.

Masalah lain, norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) perizinan sebagai tindak lanjut PP 83/2010, sampai hari ini belum keluar. Di PP disebutkan NSPK akan keluar selambat-lambatnya 6 bulan. Sudah lebih dari 14 tahun sejak dikeluarkan PP, NSPK belum ada. Jelas ini hambatan besar.

Kewenangan perizinan sudah dilimpahkan kepada DKS untuk dilaksanakan oleh BPKS, namun NSPK terkait perizinan, belum dikeluarkan oleh kementerian terkait, sehingga izin belum bisa diberikan oleh BPKS kepada pihak ketiga atau investor. Jadi bagaimana mengharap BPKS bekerja memberikan kemudahan perizinan kepada pengusaha dan investor sedangkan NSPK perizinan tidak dikeluarkan kementerian terkait.

Saya menduga –dan dugaan ini pantas muncul—lembaga tersebut sudah dikondisikan seperti kereta api Cut Mutia di Lhokseumawe; ada tapi tak berguna. Sekadar ada.

Saya melihat bahwa BPKS sebagai sebuah lembaga keistimewaan yang ada di Aceh sebagai lokomotif percepatan pembangunan Aceh, memang hendak dilemahkan, diberangus dananya dan dipreteli kewenangannya.

Saya bukan Gubernur Aceh, bukan Bupati Aceh Besar, bukan Walikota Sabang. Juga bukan politisi di DPR, bahkan bukan siapa-siapa. Tulisan ini pun akan menjadi boomerang bagi saya; karena tipikal orang kita kebanyakan; sudahpun tak berdaya, tapi tak boleh dibela. Karena mereka takut akan ditegur oleh atasan, mengapa kelemahan sampai diketahui orang luar?

Tapi saya kira bahwa tulisan ini sudah saatnya dituangkan, berhubung Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah telah melantik Kepala BPKS yang baru; seorang akademisi bergelar doktor yang pernah menjabat beberapa posisi kepala SKPA.

Saya percaya bahwa Iskandar Zulkarnaen sudah tahu ragam masalah besar nan fundamental di tubuh lembaga itu. Semoga ia mampu menjadi lokomotif perubahan; membawa BPKS menjadi lembaga besar sesuai dengan apa yang seharusnya sudah sangat lama diterima oleh lembaga tersebut.

Iskandar harus mampu meyakinkan Pusat bahwa BPKS bukan anak haram. Ia harus mampu meyakinkan bahwa lembaga tersebut juga bagian dari Indonesia. Lembaga tersebut ada di daerah yang pernah menjadi ibu susu Indonesia. Bila Sabang maju, maka ekonomi Indonesia juga akan lebih maju.

Bagaimana bila ia gagal? Kita telah banyak mendengar kisah kegagalan di negeri ini, semoga Iskandar tidak menjadi bagian dari sejarah buram itu.

Nyoe aweuk ka bak jaroe droneuh, Teungku Ih. Aci meuwot sigoe.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here