Komparatif.ID— Setiap kali Ramadan tiba, umat Islam di seluruh dunia bersiap menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan. Salah satu syarat sahnya puasa adalah niat, yang ternyata memiliki perbedaan teknis dalam berbagai mazhab fiqih.
Seluruh ulama sepakat niat puasa harus ada, tetapi soal apakah harus diulang setiap hari atau bisa cukup sekali di awal bulan masih menjadi perdebatan hingga kini.
Dalam mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali, niat puasa wajib diperbarui setiap malam sebelum fajar. Sementara itu, mazhab Maliki memiliki pendekatan berbeda.
Maliki membolehkan niat puasa Ramadan dilakukan hanya sekali di awal bulan, karena memandang puasa sebulan penuh sebagai satu kesatuan ibadah yang tak terputus. Pendapat inilah yang banyak diadopsi oleh masyarakat Indonesia, meskipun mayoritas bermazhab Syafi’i.
Fenomena niat puasa sebulan di awal Ramadan ini dapat dengan mudah ditemui di berbagai masjid dan mushala. Malam pertama Ramadan sering diwarnai dengan bimbingan dari para kiai dan tokoh agama untuk melafalkan niat puasa sebulan penuh bersama-sama.
Hal ini bukan berarti bahwa setelahnya seseorang boleh mengabaikan niat harian. Sebaliknya, pembacaan niat setiap malam tetap dianjurkan sebagai langkah antisipasi jika suatu saat lupa, sehingga puasanya tetap sah karena telah berniat di awal bulan.
Allahyarham KH A. Idris Marzuqi, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, dalam kitabnya Sabil al-Huda menekankan pentingnya mengikuti pendapat Imam Malik sebagai bentuk kehati-hatian. Namun, niat harian juga tetap dianjurkan agar lebih sempurna.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis Tetap Lanjut Saat Puasa Ramadan
“Untuk berjaga-jaga agar puasa tetap sah ketika suatu saat lupa niat, sebaiknya pada hari pertama bulan Ramadhan berniat taqlid (mengikut) pada Imam Malik yang memperbolehkan niat puasa Ramadhan hanya pada permulaan saja. Dan adanya cara tersebut bukan berarti membuat kita tidak perlu lagi niat di setiap harinya, tetapi cukup hanya sebagai jalan keluar ketika benar-benar lupa,” (KH. A. Idris Marzuqi, Sabil al-Huda, hal. 51).
Di dalam kitab tersebut, ulama kharismatik dari Kediri, Jawa Timur, tersebut mencontohkan lafazh niatnya sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah,” (terjemahan nu.co.id).
Lalu bagaimana dengan seseorang yang tidak bisa berpuasa sejak awal Ramadan, misalnya wanita yang sedang menstruasi? Apakah ia masih bisa mengadopsi niat puasa sebulan penuh ala mazhab Maliki setelah suci?
Untuk menjawab hal ini, perlu dipahami konsep dasar yang dipegang oleh mazhab Maliki, yaitu puasa Ramadan merupakan satu kesatuan ibadah yang dilakukan terus-menerus tanpa jeda.
Karena sifatnya yang berkesinambungan, niat di awal bulan dianggap cukup untuk mencakup seluruh hari dalam Ramadan. Namun, bagi mereka yang baru mulai berpuasa setelah beberapa hari, pendapat ini menjadi kurang relevan, sebab kesatuan puasa mereka telah terputus.
Dalam kondisi demikian, lebih aman bagi mereka untuk tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama yang mewajibkan niat harian.
Pendekatan mazhab Maliki ini juga tidak berlaku untuk puasa yang tidak dilakukan secara berturut-turut, seperti puasa qadha. Sebab, dalam jenis puasa ini terdapat kemungkinan jeda yang membuat setiap harinya berdiri sendiri sebagai ibadah terpisah, sehingga niatnya pun harus diulang setiap kali berpuasa.