Bersikap Adil terhadap Imigran Rohingya

Mahasiswa usir imigran Rohingya HMI Cabang Banda Aceh
Menangis: Sejumlah wanita dan anak-anak imigran gelap Rohingya yang ditampung di Balai Meuseuraya Aceh, Rabu (27/12/2023) diusir oleh ratusan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa. Mahasiswa meminta pemerintah segera mengeluarkan ribuan imigran Rohingya yang telah masuk secara ilegal ke Aceh. Foto: Komparatif.ID/Riski Aulia Ramadhan.

Imigran Rohingya yang akhir-akhir ini membanjiri Aceh, merupakan sebuah kaum yang telah teraniaya di Rakhine, Burma. Etnis Rohingya telah mengalami upaya genosida oleh Pemerintah Myanmar. Mimpi hidup bebas dan memiliki masa depan cerah, membuat mereka bersedia menempuh segala risiko.

Demo tolak Rohingya oleh sekelompok mahasiswa berbendera BEM Nusantara, pada Rabu (27/12/2023) di Balai Meuseuraya Aceh dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh, yang dikoordinatori oleh seorang mahasiswa narapidana narkoba, telah mencoreng citra Aceh di mata internasional.

Kasus pengusiran dengan nuansa kekerasan tersebut menjadi perhatian publik internasional. diwartakan luas, dan mendapatkan kecaman dari dalam dan luar negeri. Citra Aceh yang bertahun-tahun sebelumnya menyambut Rohingya dengan tangan terbuka, seketika luntur, tatkala sejumlah gerakan bernuansa kekerasan—yang patut diduga—digerakkan secara terstruktur—menolak kedatangan imigran Rohingya ke Aceh.

Bagi Pemerintah Indonesia, kehadiran ribuan imigran ilegal Rohingya ke Aceh, merupakan buah simalakama. Secara internasional, Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Hanya saja, sebagai negara berdaulat yang berperikemanusiaan, Pemerintah Indonesia wajib melindungi siapa saja yang telah berada di wilayah hukumnya. Secara khusus kewajiban itu dituangkan dalam Perpres No. 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.

Perpres Nomor 125 Tahun 2016 memuat penanganan pengungsi yang meliputi aspek penemuan, pengaman, penampungan, pengawasan, kerjasama internasional, dan berbagai aspek lainnya.

Sebagai sebuah produk hukum, Perpres tersebut masih memiliki beberapa kelemahan. Menurut Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenko Polhukam, Irjen Pol. Rudolf Albert Rodja beberapa persoalan yang belum diatur yaitu:

  1. Belum adanya penanganan mekanisme pengungsi yang masuk melalui jalur legal.
  2. Belum adanya aturan kewenangan lembaga internasional di dalam penanganan pengungsi di Indonesia.
  3. Belum adanya batasan masa tinggal para pengungsi di Indonesia.
  4. Belum jelasnya aturan hukum dan norma yang berlaku terhadap pengungsi apabila para pengungsi melakukan pelanggaran pidana atau norma-norma sosial yang berlaku di lingkungan tempat penampungannya.
  5. Belum adanya definisi dan timeframe kondisi kedaruratan dan jangka waktu kedaruratan penanganan pengungsi.
  6. Belum adanya aturan perencanaan dan penganggaran dalam penanganan pengungsi luar negeri.
  7. Belum adanya aturan mengenai boleh atau tidaknya para pengungsi untuk bekerja.

Sejumlah dugaan telah diulas oleh Komparatif.ID dalam editorial bertajuk: Imigran Rohingya dan proxy War Menghancurkan Indonesia. Hanya saja, oleh sejumlah pihak yang bersikap “ultra nasionalis”, telah menjadikan isu Rohingya sebagai ajang mereka menunjukkan nasionalisme dengan cara salah kaprah. Akhirnya publik Aceh meuron-ron melihat etnis Rohingya dari sudut pandang negatif.

Etnis Rohingya merupakan sebuah kaum yang mayoritas beragama Islam, dan telah bermukim di Rakhine sejak abad ke-18. Akan tetapi sejak Burma dikuasai oleh militer pada 1962, proyek birmaisasi dijalankan. Melalui Undang-Undang Yahun 1982 tentang Kewarganegaraan, etnis Rohingya/Rohang tidak lagi diakui sebagai bagian dari Birma. Etnis Birma yang menguasai pemerintahan militer di Burma membatasi siapa yang layak disebut warga negara. Rohingya ditolak.

Sejak saat itu, etnis Rohingya terkatung-katung. Tidak boleh mengakses pendidikan formal, dilarang menjadi pegawai pemerintah, tidak diberikan kartu identitas kewarganegaraan, tidak dilindungi bilamana mendapatkan kekerasan berbasis seksual, gender, pelecehan, dan eksploitasi. Etnis Rohingya dipaksa mengakui diri sebagai Benggali.

Sejak 1991, tatakala Aung San Suu Kyi menerima Nobel Perdamaian, etnis Rohingya beramai-ramai mencari suaka ke Bangladesh? Mengapa Bangladesh? Cox’s Bazaar merupakan tempat paling dekat karena berbatasan langsung dengan Rakhine. Secara agama, Bangladesh juga negara muslim. Sejak 2018, jumlah pengungsi Rohingya di dua kamp penampungan di Bangladesh telah mencapai 1 juta jiwa.

Dipersekusi di kampung halaman, dan kemudian menjadi pengungsi tanpa masa depan di Bangladesh, telah cukup syarat bagi etnis Rohingya untuk tidak normal. Konon lagi ditambah dengan kenyataan bahwa selama di Rakhine, mereka manusia tanpa kemerdekaan. Mereka tidak lebih berharga dari sekawanan binatang liar. Hak-hak kemanusiaan yang melekat, dicabut secara paksa.

Imigran Rohingya Bukan Binatang

Melihat narasi terhadap imigran Rohingya yang kian kencang diembuskan, dan menjalar hingga ke pelosok kampung, menunjukkan sedang terjadinya dehumanisasi di kalangan masyarakat Aceh.

Sejumlah aksi penolakan terhadap penempatan sementara imigran Rohingya, bukan semata soal nasionalisme, tapi berisi cacian dan makian, seakan-akan etnis Rohingya merupakan kaum paling buruk di muka bumi. Seolah-olah mereka datang ke sini dengan tujuan tidak baik. Ingin merebut dan menjajah Aceh.

Kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh individu imigran Rohingya dimunculkan, dengan narasi seolah-olah merupakan kejahatan yang dilakukan secara komunal. Bahkan muncul narasi baru—tentu saja hoaks– bahwa mereka diusir dari Myanmmar karena memerkosa perempuan etnis Burma.

Islam Harus Menjadi Landasan Bertindak

Kehadiran Imigran Rohingya di Aceh yang secara keseluruhan telah mencapai 4.000 jiwa sejak 2015, tidak datang secara alamiah. Mereka dipaksa masuk oleh mafia penyeludupan manusia. Pelarian dari Cox’s Bazaar Camp ditipu oleh kelompok mafia.

Mengapa mereka “didamparkan” ke Aceh? tentu saja terdapat beberapa dugaan. Termasuk soal proxy war terhadap Indonesia. Hanya saja, sebagai sebuah objek perdagangan, Rohingya tidak tahu menahu tentang itu. Mereka membayar hingga puluhan juta, hanya demi satu tujuan; secepatnya keluar dari “tahanan tanpa masa depan” menuju negeri yang memberikan peluang besar bagi mereka bertumbuh sebagai manusia merdeka.

Dari sisi lain, kita jangan pernah lupa bahwa kedatangan mereka yang massif ke Aceh, juga bagian dari skenario Ilahi. Sebagai manusia yang beragama Islam dan mengaku menjunjung tinggi Syariat Islam, tentu tidak boleh menanggalkan Islam dalam melihat imigran Rohingya.

Mereka berhasil didamparkan ke Aceh? Mengapa tidak dimasukkan ke wilayah lain? Ilahi mungkin sedang menguji manusia Aceh, sudahkah kita siap hidup dengan nilai-nilai islami, seperti yang selalu didengungkan di tiap mimbar dan ruang?

Kewaspadaan kita semua terhadap adanya proxy war, jangan sampai menghilangkan akal sehat sebagai umat Islam yang selain berhati-hati, juga punya kasih sayang melimpah. Dengan berbagai alasan mungkin kita tidak lagi menyambut mereka seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi setidaknya tidak pula menjadi kaum yang mempersekusi manusia yang sedang teraniaya.

Mari dukung Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat yang sedang bekerja keras menyelesaikan persoalan ini. Mari gunakan cara pandang Islam; jangan gunakan lagi—bila sudah terlanjur—cara pandang manusia tanpa Tuhan dalam menyikapi persoalan. Imigran Rohingya memang “masuk” secara ilegal ke Indonesia. Tapi mereka manusia, bahkan manusia Islam yang sedang teraniaya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here