Bencana alam memiliki bidang kajian khusus dalam pembangunan. Karena bencana alam dan pembangunan, merupakan satu paket dalam kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemulihan kembali kondisi kehidupan sosial masyarakat pascabencana alam.
Bencana alam merupakan kejadian yang tidak bisa diperkirakan dan persiapkan langkah pencegahan. Namun kita sebagai manusia dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana dan menghindari jatuhnya korban harta dan jiwa.
Katakanlah seperti Jepang yang merupakan negara rawan gempa, mereka men-design bangunan yang umumnya tahan gempa atau bangunan rumah ramah gempa. Persiapan seperti ini bertujuan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan memanimalisir korban harta benda.
Di Aceh khususnya para ahli sejarah menganalisa bahwa salah satu bentuk rumah Aceh di atas panggung merupakan solusi terhadap bencana banjir. Karena dahulu umumnya masyarakat Aceh hidup di daerah pesisir.
Salah satu rekomendasi para ahli untuk menghindari banjir adalah dengan tetap menjaga hutan sehingga serapan air hujan dapat terjadi secara maksimal. Namun dewasa ini menjaga hutan bukanlah solusi yang jitu, karena illegal logging sudah menjadi mata pencaharian yang sangat menjanjikan.
Baca juga: Setelah 15 Tahun “Pembangunan” Aceh Utara di Tangan “Awak Droe”
Tentu saja mereka tidak mau tahu akibat yang akan ditimbulkan karena mereka juga memiliki kebutuhan. Hal ini juga terjadi karena banyak orang khususnya pemerintah, pejabat, tokoh, dan para elit yang tidak mau tahu dengan nasib mereka (penebang liar) sehari-hari yang memiliki kebutuhan hidup juga.
Sebuah sebab akibat yang tidak bisa dihindari adalah terjadinya banjir. Bagi umat Islam sudah ditegaskan dalam Alquran bahwa “segala bencana yang terjadi di muka bumi akibat ulah tangan manusia itu sendiri”. Hal ini pula yang terjadi di Aceh, di mana setiap tahun terjadi bencana banjir.
Saat ini Aceh Utara merupakan salah satu daerah yang sedang merasakan konsekuensi dari ulah tangan manusia itu sendiri yang merusak bumi dengan menabang hutan. Walaupun ramai yang menyalahkan konser musik atau acara lainnya yang diklaim sebagai bentuk kemaksiatan kepada Allah sang pencipta.
Banjir di Aceh Utara merupakan “agenda tahunan”, telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya.Mestinya bencana yang berulang menjadi pelajaran sekaligus alas an melakukan evaluasi. Namun anehnya di Aceh Utara tetap saja setiap tahun ada korban harta bahkan korban jiwa akibat banjir. Artinya tidak ada perubahan apa pun di sana menuju ekosistem masyarakat yang siaga bencana.
Bencana Alam Banjir yang Kian Parah
Menurut catatan beberapa akademisi dan ahli sejarah, banjir di Aceh Utara sudah menjadi agenda alam secara tahunan. Tempat-tempat tertentu seperti Lhoksukon dan sekitarnya banjir sudah ada di sana sejak Hindia Belanda bercokol di Serambi Mekkah.
Menurut penuturan dari beberapa orang tua, banjir tempo dulu terjadi tidak separah saat ini. Dulu banjir merupakan sebuah peristiwa meluapnya Krueng Keureuto di Lhoksukon karena banyaknya kiriman air dari beberapa sungai. Dalam hitungan jam air tersebut berhasil melanjutkan perjalanan ke muara.
Lambat laun air tersebut setiap tahun bertambah dan semakin lama bertahan, dan sekarang malah terjadi berhari-hari dan debit air pun bertambah tinggi sehingga dapat merendam rumah-rumah warga, menghancurkan lahan pertanian dan persawahan sehingga menyebabkan gagal panen.
Dampak ekonomi dari peristiwa tersebut sangat memprihatinkan, karena setelah terjadi kegagalan masyarakat harus mengeluarkan modal ekstra untuk memperbaiki lahan dan menanam kembali.
Bagaimana mengilustrasikan keadaan banjir tempo dulu dan sekarang di Aceh Utara? Mungkin gambaran seperti di bawah ini cocok sebagai pengandaian.
Jalan dari Jambo Tape ke Darussalam, banda Aceh pada tahun 1995 hanya memiliki dua lajur. Pun demikian pengendara dapat melajukan kendaraannya 100 km/jam. Hal tersebut dapat dilakukan karena kendaraan bermotor belum banyak.
Setelah tsunami dan perdamaian Aceh terwujud, siapa pun tidak bisa lagi memacu kendaraan hingga 100 kilometer/jam. Bahkan pada jam-jam tertentu laju kendaraan sangatlah melambat hingga 20 kilometer/jam. Malah pada titik-titik tertentu terjadi kemacetan panjang. Padahal ruas jalan semakin lebar dan kualitasnya bertambah bagus.
Persoalannya karena bertambahnya jumlah kenderaan baik roda dua maupun roda empat yang tidak bisa dibendung. Salah satu solusi yang ditempuh adalah menambah jalan alternatif sehingga tidak mesti melewati Jambo Tape untuk berpergian ke Darussalam.
Sebenarnya inilah yang terjadi dengan banjir tahunan di Aceh Utara, khususnya di Lhoksukon. Solusi pertama adalah memperlebar bantaran sungai atau membangun terusan alternatif untuk memperlancar dan mempermudah perjalanan air ke muara.
Kalau dilihat melalui Google Map, Krueng Keureuto di Lhoksukon merupakan tempat bertemunya empat sungai; Krueng Peuto, Krueng Pirak, Krueng Ceuko, dan Krueng Leuhop. Krueng Kereuto sendiri berhulu di Bener Meriah.
Sesuai dengan kondisi yang ada bahwa hutan semakin berkurang, penebangan liar semakin tidak bisa dikendali, maka solusinya adalah memperluas bantaran sungai sebagaimana dilakukan di Krueng Aceh. Masyarakat yang selama ini menetap di sana harus direlokasikan, atau membangun tembusan lain ke muara sehingga air tidak semuanya menumpuk di kreung Keureuto.
Penanganan yang kedua adalah membiarkan saja kondisi dengan mempersiapkan masyarakat untuk mengungsi, mempersiapkan lokasi pengungsian yang akan digunakan setiap tahun, dan dan pemerintah setiap tahun mempersiapkan anggaran penanganan pengungsi.
Dengan istilah lain adalah menjaga proyek kemanusiaan berkelanjutan, dimana setiap kali banjir semua pihak akan memiliki kegiatan kemanusiaan yang dapat digunakan sebagai sarana kampanye. Kampanyeu kepedulian pemerintah terhadap warga, kepedulian politisi dan partainya terhadap para pemilih, dan menjadi proyek kemanusiaan institusi atau organisasi-organisasi swasta.
Pilihan ada pada kita, menyelesaikannya dengan pembangunan yang berkelanjutan, atau menjadikannya sebagai proyek kemanusian tahunan dan dapat dijadikan agenda khusus di Aceh Utara. Atau mungkin juga bisa menjadi agenda wisata banjir yang akan menarik banyak tamu untuk menikmati hidup di atas perahu yang melaju di antara rumah-rumah warga.