Komparatif.ID, Banda Aceh—Pemerintah Aceh merupakan pihak pertama kali mengusulkan revisi Qanun LKS (Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah). Usulan tersebut sudah disampaikan kepada DPRA pada 26 Oktober 2022
Usulan revisi Qanun LKS disampaikan Pj Gubernur Aceh Mayjend TNI (Purn) Achmad Marzuki, dalam surat Nomor: 188.34/17789, perihal: penyampaian rancangan qanun.
Dalam surat tersebut Mayjend TNI (Purn) Achmad Marzuki menyebutkan penyampaian rancangan qanun tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah untuk dapat dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Baca: Gara-gara BSI Setitik, Rusak Aceh Sebelanga
Demikian disampaikan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki melalui Juru Bicara Teungku Muhammad MTA, Minggu (21/5/2023).
Dalam keterangannya kepada Komparatif.ID, Muhammad MTA yang juga seorang qari menyebutkan proses revisi Qanun LKS yang saat ini sedang bergulir di DPRA merupakan usulan Pemerintah Aceh.
Muhammad MTA menjelaskan, setelah diterapkan secara penuh, ternyata Qanun LKS menimbulkan banyak masalah baru di tengah-tengah masyarakat, khususnya para pelaku ekonomi yang sangat membutuhkan perbankan sebagai fasilitator.
Para pelaku dunia usaha baik dalam skala kecil, menengah, maupun besar, menyampaikan sejumlah kendala kepada SKPA terkait.
“Apa yang kita sampaikan itu [usulan revisi] sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat terutama pelaku dunia usaha yang disampaikan kepada SKPA-SKPA terkait, kemudian kita kaji dan analisa terhadap dinamika dan problematika pelaksaan qanun LKS tersebut,” sebut Muhammad MTA.
Lebih lanjut dia menjelaskan, erornya sistem Bank Syariah Indonesia (BSI) yang sampai sekarang belum 100 persen selesai, menjadi trigger bagi DPRA untuk mempercepat proses penyempurnaan pelaksanaan dan penerapan Qanun LKS.
Qanun LKS yang sedang berlaku di Aceh tidak memberikan perlindungan kepada nasabah yang dirugikan akibat masalah yang ditimbulkan oleh layanan perbankan syariah.
Qanun LKS Belum Mampu Jawab Persoalan
Muhammad MTA juga menjelaskan, selama penerapannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah belum mampu menjawab persoalan yang ditimbulkan dalam dunia bisnis dan layanan perbankan.
Sampai saat ini, infrastruktur perbankan syariah belum bisa menjawab dinamika dan problematika sosial ekonomi. Terutama berkenaan dengan realitas transaksi keuangan berskala nasional dan internasional bagi pelaku usaha di Aceh.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kegiatan ekonomi bertaraf nasional dan internasional, keberadaan perbankan konvensional sebenarnya bukan sesuatu yang mesti dibangun resistensi. Namun memperkuat perbankan syariah menjadi prioritas sebagai sebuah daerah atau kawasan yang memiliki kekhususan.
Pemerintah Aceh pada Desember 2020 pernah menyampaikan rencana skema perpanjangan operasional bank konvensional hingga tahun 2026, yang didasari oleh rapat antara pelaku perbankan dengan pengusaha yang dihadiri Pemerintah Aceh pada 16 Desember 2020 di Banda Aceh.
“Namun timbulnya pro kontra membuat upaya itu tidak dilanjutkan. Akan tetapi semakin ke sini, bertambah pula persoalan yang semakin kuat melilit dunia perekonomian. Para pebisnis mengeluh kesulitan bertransaksi ke luar daerah.
Di antara dampak paling buruk, yang membuat seluruh Aceh kelimpungan dan merugi, peristiwa ambruknya sistem BSI. Dari orang miskin sampai pebisnis besar merugi,” sebut Muhammad MTA.