Orang Aceh harus belajar dari Tionghoa Peunayong. Dalam sebuah kesempatan wawancara di pagi hari di belakang Pasar Kartini, Banda Aceh, setahun yang lalu,saya tidak melihat anak-anak muda di warung kopi. Seluruh pelanggan yang berwara-wiri di deretan toko kuliner Tionghoa, merupakan orang tua dalam arti benar-benar sudah di atas 40 tahun.
Saya penasaran, dan bertanya kepada para bapak yang menyeruput kopi murah di kedai di belakang Pasar Kartini.Kemana anak-anak mud aitu? Dugaan saya mereka masih terlelap di balik selimut kamar ber-AC.
Dugaan saya meleset jauh. Teman-teman semeja itu mengatakan bila anak-anak mereka yang sudah pemuda, mendapatkan jatah buka dan jaga toko dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 08.30 WIB. Karena pada jam demikian, waktunya generasi tua menyeruput kopi, sarapan, dan bertemu teman-temannya di warung.
“Anak-anak tu, nanti pukul 09.00 WIB baru keluar. Setelah mandi, mereka akan sarapan dan ngopi di warung-warung di sekitar Peunayong,” jawab salah seorang teman semeja yang fasih berbahasa Aceh. Saat ngobrol ringan itu, saya ditemani oleh Ketua Yayasan Hakka Aceh Kho Khie Siong. Di banda Aceh saya dan teman-teman memanggilnya Pak Ki. Sebagian menyebutnya Aky.
Baca: Mengapa Ekonomi Indonesia Dikuasai Etnis Tionghoa?
Obrolan kami padai tepat pukul 08.00 WIB. Satu persatu pamit untuk menjaga toko. Saya pun balik kanan hendak menuju Kantor Komparatif.ID di Rawa Sakti, Jeulingke, Banda Aceh. Media online tersebut saat itu belum berusia satu tahun. Media online Komparatif.ID merupakan perusahaan yang saya dirikan bersama istri, sebagai tempat kami mencari makan.
Sembari jalan, saya dan seorang wartawan berkeliling Peunayong, merekam gambar yang bernuansa oriental, serta mengabadikan orang-orang Tionghoa Aceh yang sedang berlalu lalang dengan ragam aktivitas.
Sekitar pukul 09.15 WIB, satu persatu anak-anak muda etnis Tionghoa singgah ke warung kopi yang menyediakan sarapan. Mereka memesan minuman, makanan, dan duduk. Sembari makan, mereka memperhatikan layar smartphone. Mungkin sedang menonton sesuatu, ataukah sedang membaca sesuatu. Itu urusan mereka. Tapi ada hal menarik, dan saya ingin belajar dari Tionghoa Peunayong.
Baca: Bireuen, Tionghoa, dan Perkembangan Warung Kopi
Dalam banyak bacaan saya mendapatkan informasi tentang bagaimana keluarga Tionghoa membangun etos kerja. Setiap anggota keluarga diberikan tanggung jawab yang sesuai dengan kondisi fisik dan usia. Tidak ada yang tak mendapatkan tugas. Kemandirian merupakan target utama yang ingin diajarkan. Karena dalam konsep orang Tionghoa, hidup menjadi beban orang lain merupakan aib yang tidak termaafkan.
Orang mandiri memiliki rasa tanggung jawab besar. Mereka punya cita-cita dan sejak kecil dilatih mendapatkan tanggung jawab. Kemandirian berasal dari didikan mental. Tidak lahir serta merta setelah menonton film. Kemandirian adalah watak yang ditanam. Demikian intisasi yang dapat saya rangkum dari beberapa pendapat.
Perihal lelaku hidup orang Tionghoa, merupakan jawaban mengapa kebanyakan mereka yang kita kenal bisa hidup lebih baik ketimbang kita yang mengaku pribumi. Ini soal etos, soal mimpi, soal keteguhan mewujudkan mimpi, serta seberapa kuat memelihara impian.
Maka lihatlah, mereka hidup jauh lebih makmur ketimbang kita. Padahal keluarga mereka tidak ada yang menjadi pejabat di daerah kita. Rerata mereka berdagang. Meski kerap dicaci, tapi tetap teguh di jalur dagang. Gemar berbagi bila diminta. Ini benar-benar keren. Maka lagi-lagi saya terinspirasi belajar dari Tionghoa Peunayong.
Kita tentu tidak heran bila meski masih kecil mereka sudah punya fasilitas lebih bagus. Ketika kuliah sudah dapat mengendarai kendaraan roda empat. Mereka tidak jualan sabu, tidak jualan tramadol. Mereka berniaga normal.
Lihatlah di warung-warung kopi, termasuk di Peunayong, dalam sepekan, berapa hari kita bisa menemukan mereka nongkrong? Yang paling umum hanya pada Minggu. Itupun tidak sangat lama. Selesai makan, haha hihi sebentar, pulang. Setahun sekali ke luar negeri untuk liburan.
Pola pengasuhan dengan pemberian tanggung jawab kepada setiap individu, ternyata berdampak besar pada pengeluaran rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan yang oleh orang Aceh diserahkan kepada pembantu atau orang upahan lainnya, dapat dikerjakan oleh orang di rumah. Misalnya mencuci baju, mengepel rumah, menyiangi rumput, menyapu. Itu pekerjaan remeh temeh tapi rutin dilakukan setiap hari. Uang yang semestinya dikeluarkan untuk membayar orang, dapat ditabung. Minimal dapat dipergunakan untuk kebutuhan lainnya.
Jumlah orang yang berak, makan di dalam sebuah rumah harus seirama dengan energi ekonomi yang dihasilkan. Bila tidak akan timpang.
Time is money, saving your time is equal to saving money. Demikian dikatakan oleh Benjamin Franklin. Pepatah itu sangat dijunjung tinggi. Sehingga rerata mereka pada usia 40 tahun sudah memiliki unit bisnis sendiri yang menjadikan mereka bukan sekadar mapan, tapi sudah dapat membantu memberdayakan orang lain yang sedang berjuang.
Ini yang belum terjadi secara umum di keluarga-keluarga orang Aceh. kita, satu orang yang bekerja cari uang, satu orang bekerja mengelola keuangan dan membenahi rumah (suami dan istri) sedangkan yang lainnya hanya makan dan berak. Mulai dari yang usia belia hingga yang sudah kuliah.
Baca: Asyiknya Berbisnis Dengan Pengusaha Tionghoa
Anak-anak muda kita, meskipun sudah belajar di perguruan tinggi, tapi umumnya masih sebagai benalu dalam keluarga. Mereka sama sekali tidak produktif. Malam bergadang hingga Subuh, kemudian tidur tanpa salat Subuh, bangun sore, makan, mandi, ganti pakaian, keluar lagi.
Bila di rumahnya ada sambungan wifi, dengan modal celana kolor, berguling-guling di kamar dari malam sampai pagi. Ketika pagi tidur hingga sore. Kamar bau apek, kasur bau anyir, mereka tak peduli.
Mereka sibuk dengan game online, taruhan bola, dan brutal di media sosial.
Mereka tak memiliki kesadaran untuk turun tangan membantu. Tak ada keinginan bergerak lebih. Bilapun mereka mau membantu, biasanya dilakukan setengah hati dan menunggu disuruh. Bila tidak disuruh, tak ada keinginan bertindak.
Hingga usia hampir tamat kuliah, masih tak punya iniatif hendak melakukan apa pun. Aktivitasnya kalau laki-laki dari warkop ke warkop bila malam. Kalau siang, ya tidur sembari sesekali memaki pemerintah tak adil.
Bukan membanding-bandingkan, tapi apakah orang-orang yang tidak produktif dapat hidup mapan? Tidak! Apakah orang malas akan memiliki koneksi? tidak! Apakah orang yang tidak punya inisiatif adakan mendapatkan kepercayaan? Tidak! Apakah orang yang… ah sudahlah.
Sidro mita nam droe pajoh merupakan rumus sesat ekonomi yang kita elu-elukan. Sampai tua, keluarga yang demikian tidak akan sejahtera. Karena kebutuhan lebih besar ketimbang kemampuan. Akhirnya, keluarga kekurangan gizi. Stunting, ataupun frustasi.
Saudaraku, mari evaluasi diri kita. Kita sejauh ini merasa telah bekerja keras. Telah berhemat, mengapa tak juga dapat hidup dengan lebih baik. Mungkin—semoga saja di keluarga kita tidak ada yang demikian—ayah dan ibu yang pontang-panting bekerja hingga tua, sedangkan anak, bahkan sudah kuliah, tapi tak tahu cara mengepel lantai yang bersih.
Banyak manusia di rumah tangga kita yang tidak produktif. Remaja-remaja kita malas. Mereka tidak peduli. Sibuk bermain smartphone, tanpa peduli kondisi apa pun. Mereka itu beban, beban ekonomi, sekaligus beban untuk masa depan bangsa ini.
Anak-anak yang tidak peduli apa pun, anak-anak yang malas, anak-anak yang dimanja hingga menjadi malas, kelak akan menjadi benalu. Akan menjadi penyakit, akan menjadi generasi lemah, generasi curang, generasi yang tidak punya rasa tanggung jawab.
Mari Belajar dari Tionghoa Peunayong. Mengapa mereka hidup mapan? Bukan, ayah mereka bukan koruptor, ibu mereka bukan penipu. Mari belajar dari Tionghoa Peunayong, Mereka hidup mapan karena kerja keras dan saling bertanggung jawab. Kalian pasti iri kan dengan mereka yang usia SMA sudah punya motor bagus, bahkan bukan kredit dari orangtua. Mereka punya mobil ketika sudah kuliah? Seharusnya kalian harus iri. Kalau tak iri, akan bahaya. Orang yang tidak iri pada hal yang positif, akan menjadi sampah di masa depan.
Ayo bangun pagi. Mari belajar dari Tionghoa Peunayong. Gunakan otak untuk melahirkan inisiatif. Gunakan kesempurnakan raga untuk bertindak.