
Komparatif.ID, Banda Aceh—Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Aceh memusnahkan hampir 45 ton bawang merah. Pemusnahan bawang merah dilakukan pada Kamis (13/3/2025) di halaman Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean C Banda Aceh.
Selain bawang merah, Bea Cukai juga memusnahkan pakaian bekas bekas. Kedua barang tersebut disita dari bisnis impor ilegal.
Baca: Di Aceh Besar, Warga Ubah Ampas Kopi Jadi Briket
Kepala Bea Cukai Aceh Safuadi menerangkan, bawang merah dan pakaian bekas merupakan hasil sitaan unit patroli laut Bea Cukai Aceh pada Rabu (12/2/2025). Dalam patroli tersebut pihak Bea Cukai Aceh menyita 1.768 karung bawang merah ilegal. Setiap karung berisi 25 kilogram.
Bea Cukai juga menyita 28 karung pakaian bekas dari luar negeri. Dari kedua barang tersebut, seluruhnya bernilai Rp755 miliar lebih. Bila barang tersebut berhasil beredar, negara berpotensi mengalami kerugian mencapai 1,7 triliun rupiah.
Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan dan Hubungan Masyarakat Bea Cukai Aceh, Muparrih, dalam keterangannya kepada Komparatif.ID menerangkan dari 45 ton bawang merah yang disita, 1 karung disimpan untuk pengujian di laboratorium, dan dua karung sebagai barang bukti di pengadilan.
Muparrih juga menjelaskan, pemusnahan yang dilakukan di halaman Bea Cukai Banda Aceh, hanyalah simbolis. Sedangkan pemusnahan secara keseluruhan barang sitaan dilakukan di area milik PT Solusi Bangun Andalas, Lhoknga, Aceh Besar. Seluruh proses tersebut telah mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri Lhoksukon, pada 3 Maret 2025.
Mengapa bawang merah tersebut harus dimusnahkan? Karena berdasarkan hasil penelitian di laboratorium Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Provinsi Aceh, ditemukan mengandung Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Shallot Yellow Stripe Potyvirus (SYSV) dan tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan.
Bila virus SYSV menyebar hingga ke lahan pertanian di Sigli, Kabupaten Pidie, dan Takengon, Aceh Tengah, maka dipastikan panen dan produksi bawang merah di Aceh akan mengalami penurunan drastis, menyebabkan kerugian besar bagi para petani.
Memasukkan barang dari luar ke dalam negeri secara ilegal merupakan tindak pidana kepabeanan. Dalam konteks kasus tersebut, berupa pengangkutan barang impor yang tidak tercantum dalam manifest, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.