Sejak Indonesia dipimpin oleh Presiden Ir. Joko Widodo, harga BBM telah beberapa kali naik. Pemerintah menyebutnya dengan istilah pengalihan subsidi. Berbeda dengan era sebelumnya, setiap kali wacana BBM naik, sejumlah politisi di Senayan menangis di depan kamera. Tapi tangisan itu tak lagi terlihat saat ini.
Publik Indonesia tentu belum lupa bila di era Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin Indonesia telah terjadi dua kali kenaikan harga BBM.
Protes terjadi di mana-mana. Sejumlah politisi menangis. Pada Rakernas PDIP di Makassar, Sulawesi Selatan pada 27 Mei 2008, Ketua Umum PDIP Hj. Megawati Soekarnoputri, meneteskan air mata.
Mega—politisi perempuan paling kuat di Republik Indonesia—mengaku sakit hati dengan kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh Presiden SBY. Sakit hatinya sang penerus jiwa Marheinisme—ajaran politikSoekarno—karena masih banyak rakyat Indonesia yang hidup miskin, lapar, tidak mendapatkan pendidikan yang bagus, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
Pada tahun yang sama, dalam Sidang Paripurna DPR RI, Puan Maharani juga menangis. Ia tidak tega melihat penderitaan rakyat bertambah berat karena Pemerintah menaikkan harga BBM.
Rieke –Oneng–Diah Pitaloka, Ribka Tjiptaning turut juga menitikkan air mata.
Tahun 2013 mereka kembali mengulang kesedihan itu. Bukan hanya menolak dari dalam Gedung Kura-Kura, tapi juga menggelar protes di jalanan.
Di dalam Parlemen RI Hasto Kristianto—saat ini Sekjen PDIP—sangat keras mengkritik Pemerintahan SBY, yang menurutnya telah melakukan kesalahan dengan menaikkan harga BBM. Seharusnya SBY melakukan pemberantasan korupsi untuk mencegah kebocoran anggaran, bukan malah menyengsarakan rakyat.
Tapi tangisan itu tidak lagi terjadi ketika Ir. Joko Widodo memimpin Indonesia. Megawati, Puan Maharani, Rieke Diah Pitaloka, Ribka Tjiptaning, tidak lagi menangis. Juga tidak ada protes dari Hasto Kristianto.
Bahkan Hasto mencoba merasionalisasikan betapa pengurangan subsidi BBM merupakan langkah tepat yang ditempuh Pemerintah Indonesia.
“Itu adalah opsi paling terakhir, jika tidak ada jalan lagi. Itu pun masih harus dilakukan dengan konfrotasi dengan DPR dengan partai politik pendukung Pak Jokowi, sehingga masa-masa yang sulit ini akan dihadapi bersama dan kepentingan rakyatlah yang dikedepankan,” kata Hasto, seperti dilansir CNN Indonesia.
Posisi Oposisi
Apa yang menarik dari dua kondisi tersebut? Saya melihatnya sebagai fenomena politik semata. Tangisan para pembesar PDIP di era SBY memimpin, merupakan “langkah politik” untuk merebut hati rakyat. Meskipun pada saat itu PDIP bukan partai kecil, tapi mereka berada pada jalur oposisi. Bukankah oposisi selalu harus menjadi kelompok kritis? Meskipun harus melawan fakta dan data.
Oposisi tidak memiliki beban apa pun, karena kekuasaan tidak berada di pundak mereka. Tugas mereka hanya mengisi ruang demokrasi, agar tetap hingar-bingar dengan wacana dan dakwa-dakwi. Bila tak ada debat tanpa ujung, maka demokrasi akan kehilangan daya magisnya. Pihak yang memiliki energi paling besar untuk menumbuhkan keriuhan demokrasi tidak lain dan tidak bukan;opisisi.
Kini PDIP bukan lagi opisisi. Selama dua periode Jokowi memimpin Indonesia, partai berlambang kepala banteng moncong putih, merupakan penguasa. Merekalah yang bertanggung jawab memberikan rasionalitas kepada rakyat bahwa Pemerintah sedang bekerja keras membangun negara ini menuju cita-cita yang pernah dituliskan oleh founding fathers.
Sebagai pemegang mandat kepemimpinan, Presiden Jokowi juga harus menelan kata-katanya sendiri. Dulu dia sangat anti terhadap program Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang ia sempat sebut sebagai balsem. Baginya, pembagian uang cash kepada rakyat kecil hanya bentuk pembodohan.
Ketika menjadi Presiden, ia juga melakukan hal yang sama; memberikan BLT kepada rakyat, sebagai obat “pengurang rasa sakit” akibat perubahan kebijakan negara yang menyebabkan naiknya harga-harga barang.
Indonesia di tangan Presiden Joko Widodo dan disokong penuh oleh PDIP dan mitra koalisinya, telah melakukan banyak hal untuk kemajuan Indonesia. Saya mengakui itu. Aceh merupakan salah satu daerah yang mendapatkan rahmat terpilihnya Jokowi sebagai Presiden. Sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) dibangun di Aceh. Salah satu yang sudah mulai dirasakan dampak positifnya yaitu jalan tol. Itu sebuah mahakarya, mimpi yang nyaris tak terwujud; untung ada Jokowi, maka lahirlah tol itu.
Tapi, kenaikan harga BBM tetap menyulitkan rakyat. Kala BBM naik harga, yang lain ikutan naik. Mulai dari harga sembako hingga sabun colek. Bahkan mi instan juga naik harga. Itu berat rasanya bagi kalangan akar rumput yang tak tahu harus korupsi dari mana untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sedangkan mengandalkan pada BLT Pemerintah yang hanya ratusan ribu, dampaknya seperti kencing di tengah hujan deras.
Akhirnya, kesempatan berkuasa selalu memberikan pelajaran, betapa mengurus bangsa tidak semudah cuap-cuap kala hanya menerima gaji di DPR RI sebagai oposisi. []