Nurma—bukan nama sebenarnya—tewas di tangan suaminya. Pria itu kalap tatkala pulang melaut, Nurma belum memasak apa pun. Perempuan itu tewas karena disiram minyak solar dan disulut api. Arwah Nurma bergentayangan, menemui keluarga sembari menangis.
Peristiwa tersebut terjadi pada Ramadhan, tahun 90-an. Pada suatu sore jelang buka puasa, Abdullah pulang melaut. Di tangannya ia menenteng jerigen berisi minyak solar, bahan bakar boat yang tersisa dari pekerjaanya sebagai nelayan.
Sembari pulang menapaki jalanan perkampungan di pesisir Selat Malaka, Aceh Utara, Abdullah sudah membayangkan akan berbuka puasa dengan menu yang disiapkan oleh istrinya.
Baca: Review Waktu Maghrib, Kembalinya Arwah Wati
Hari itu Nurma tidak memasak apa pun. Bukan sekali dua kali Nurma alpa menyiapkan makanan untuk suaminya. Sudah berulang kali perempuan beranak satu itu melakukannya.
Begitu tiba di ambang pintu, waktu berbuka tinggal hitungan menit. Abdullah segera menanyakan apa yang telah disiapkan untuk dirinya. Rasa lapar dan haus sudah mencapai ubun-ubun. Hari terik di tengah laut, menyerap seluruh energinya.
“Kamu masak apa hari ini, Dik?” tanya Abdullah.
Nurma menjawab bahwa ia lupa memasak. Ia lelah dan sibuk dengan aktivitas di rumah.
Mendengar jawaban tersebut, Abdullah Murka. Ia segera membuka tutup jerigen, dan menyiramkan minyak solar ke tubuh sang istri. Nurma terkejut dan tak percaya. Ia tidak menyangka sang suami menyiramkan minyak ke tubuhnya.
Melihat istrinya ketakutan, Abdullah juga sadar bila tindakannya telah melampaui batas seorang suami. Tapi isengnya muncul. Dia mencoba menambah ketakutan sang istri. Abdullah memantik korek.
Keisengan tersebut berbuah celaka. Api yang dipantik, menyambar tubuh Nurma yang berdiri dua meter dari Abdullah. Api berkobar. Perempuan itu histeris menahan rasa sakit dilalap api. Abdullah bingung. Ia bergegas mencoba memadamkan api yang melahap seluruh tubuh istrinya.
Sia-sia, api tidak mau padam.Malah berkobar lebih besar. Nurma meraung-raung. Raungannya semakin lama-semakin melemah. Hingga kemudian rubuh ke tanah dengan tubuh gosong. Ia tewas di tempat, di teras rumah yang mereka bangun penuh cinta.
Abdullah menangis histeris. Ia tak percaya apa yang barusan terjadi di hadapannya. Perempuan yang telah bertahun-tahun bersamanya, kini telah menjadi mayat, dengan kondisi hangus terbakar. Abdullah sangat menyesal.
Abdullah tidak melarikan diri. Ia pasrah kala ditangkap polisi. Pria bertambah berduka, kala melihat anak semata wayang, telah piatu, dan harus berpisah dengan ayahnya. Bocah itu masih sangat belia kala tragedi itu terjadi.
****
Bertahun-tahun kemudian, ketika orang-orang kampung mulai melupakan tragedi tersebut, warga justru gempar dengan kehadiran sosok misterius di tengah malam.
Sosok misterius itu seringkali muncul pada malam Selasa. Setiap kali kemunculan itu terjadi, selalu diiringi tangis menyayat dan bau daging terbakar bercampur aroma karet terbakar.
Tidak butuh waktu lama bagi warga kampung mengetahui siapa sosok misterius yang muncul tengah malam dengan pakaian serba putih. Nurma, ya, arwah Nurma gentayangan.
Nurma kerap muncul di rumah keluarganya. Setiap kali ia datang, selalu diiringi aroma khas daging terbakar bercampur karet terbakar.
Arwah itu tak pernah biasa diajak berdialog. Ia hanya menampakkan diri dengan suara tangisan dan aroma khas.
Pada suatu malam, ia berkunjung ke dua rumah sekaligus. Pertama dia datang ke rumah Raman, pamannya yang bekerja sebagai petani. Tapi Raman leka-lekas mengusirnya. Meminta sang arwah kembali ke pusaranya.
Di rumah Leman—pamannya yang lain—Nurma masuk ke dalam rumah. Dia duduk di sudut kamar membelakangi tempat tidur. Hahbibah, putri Leman mengira yang duduk di sudut adalah ibunya. Habibah kaget ketika keluar kamar, menemukan ibunya sedang di dapur.
“Tadi Mamak di kamar kan?” tanya Habibah.
“Kapan saya di kamar kamu? Dari tadi mak di sini, membersihkan dapur,” jawab perempuan paruh baya itu.
“Jangan-jangan tadi…. ayo kita ke kamar,” ajak Habibah.
Mereka berdua bergegas ke kamar. Tapi sosok misterius itu tidak ada lagi di tempat.
“Tadi di sudut itu. Rambutnya penuh uban, pakaiannya persis yang Mak kenakan,” kata Habibah dengan suara lemah.
“Mungkin kamu salah lihat, ayo kita keluar,” ajak sang ibu, bergegas meninggalkan kamar.
***
Semua yang pernah didatangi sang arwah, berkesimpulan bila hantu tersebut hendak menyampaikan pesan tertentu. Tapi hingga saat ini tak ada yang mampu menangkap pesan itu.
“Sampai saat ini, sesekali ia masih berkunjung. Tandanya aroma karet terbakar di sekitar rumah,” terang Junaidi, sepupu jauh sang dedemit.
Jejak Abdullah menghilang sejak bebas dari penjara. Anak mereka telah tumbuh dewasa dan menikah, serta menetap di sebuah kampung di Aceh Timur.
Tentang Abdullah, ada yang mengatakan telah mati karena sering dihantui sosok sang istri. Ada pula yang mengatakan telah gila karena tak mampu memaafkan dirinya sendiri.
Catatan: Kisah misteri ini bertujuan untuk hiburan. Bila ada kesamaan nama tokoh dan tempat serta kesamaan bentuk cerita, hanyalah kebetulan belaka.