Komparatif.ID, Blangpidie—Bandar Susoh mengalami masa kegemilangan berbarengan dengan Kuala Batee. Di masa lalu—dari abad 17 hingga 19, Susoh merupakan penghasil lada dan sutera. Demikian disampaikan Muhajir Al-Fairuzy, antropolog yang aktif melakukan penelitian Barat Selatan Aceh (Barsela).
Hal tersebut ia sampaikan pada acara seminar “Eksistensi Bandar Susoh Dalam Perdagangan Lada di Pantai Barat-Selatan Aceh”, yang digelar Pemerintah Aceh Barat Daya bekerja sama dengan Aceh Culture and Education (Action)yang digelar baru-baru ini di Aula Bappeda Abdya.
Baca juga: Tokoh Tionghoa-Aceh: Serambi Mekkah Nyaman dan Harmoni
Seminar tersebut dilaksanakan dalam rangka peringatan hari jadi ke-356 M Bandar Susoh, yang dirangkai dengan event Kebudayaan Jalur Rempah Pantai Barat-Selatan.
Pada kegiatan yang ikut membedah buku: Susoh; ditulis oleh Aris Faisal Djamin, Muhajir Al-Fairusy menyebutkan Bandar Susoh di masa lampau bukan semata negeri biasa. Tapi punya peranan penting sebagai salah satu kawasan ekonomi yang memproduksi lada dan sutera berkualitas ekspor.
Akademisi Antropologi yang berkhidmat di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Meulaboh, Aceh Barat tersebut, mengatakan Bandar Susoh dan negeri-negeri di sepanjang pantai barat-selatan Aceh, di masa lalu memiliki peranan sangat besar dalam dinamika sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
“Pantai barat-selatan yang saya maksud yaitu sepanjang Aceh Jaya hingga Singkil. Di sana berjejer beberapa Pelabuhan besar sejak pra kolonial hingga Aceh menjadi wilayah Indonesia setelah proklamasi 1945,” sebut akademisi yang juga cucu ulama Tanoh Abee.
Dari beberapa data yang ia gali, Susoh –termasuk catatan Muhammad Saleh—bukan sekadar memperdagangkan lada, tetapi satu-satunya kawasan yang memproduksi ulat sutera.
“Melihat catatan kegemilangan masa lampau, sudah saatnya pantai barat-selatan dicatat dalam sejarah sebagai jalur penting perdagangan rempah Nusantara, karena perannya yang begitu kental dan kaya informasi.”
Aris Faisal—penulis buku Susoh—menyebutkan Susoh dan Kuala Batee merupakan dua kawasan yang berdampingan tapi memiliki gezah sejarah masing-masing.
Susoh didatangi oleh perantau dari Minangkabau setelah Traktat Painan 1663. Negeri itu didiami oleh para perantau tersebut, kemudian berdatangan pula pendatang dari Aceh Besar dan Pidie. Pembauran ketiga entitas tersebut melahirkan semangat multicultural di tengah masyarakat.
Aceh Barat Daya sendiri merupakan kawasan pertemuan masyarakat dari tiga entitas, Minangkabau, Aceh Besar dan Pidie. Sebagian uleebalang dan sayid juga menetap di Susoh, yang membuat kawasan tersebut semakin penting.
Pj Bupati Aceh Barat Daya Darmansyah, dalam sambutannya pada seminar tersebut mengatakan kejayaan masa lalu yang berhasil dibangun oleh pendahulu Susoh, sangat mungkin diwujudkan kembali.
“Bila dulu Bandar Susoh mengekspor lada pada abad 17 hingga 18, semoga kelak dapat kita ulang lagi setelah lahirnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Barat-Selatan yang berpusat di Teluk Surin,” sebut Darmansyah.