Bahasa Aceh Pemersatu Keberagaman di Serambi Mekkah

Dr. Phil. Saiful Akmal, menyebutkan bahasa Aceh sebagai pemersatu di Serambi Mekkah. Foto: Ist.
Dr. Phil. Saiful Akmal, menyebutkan bahasa Aceh sebagai pemersatu di Serambi Mekkah. Foto: Ist.

Komparatif.ID, Banda Aceh– Bahasa Aceh bisa menjadi pemersatu di tengah perbedaan dan retorika politik di Serambi Mekkah. Hal ini disampaikan oleh Dr. Phil. Saiful Akmal, M.A, yang juga Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Dalam Seminar Series 8–Pusat Riset Ilmu Sosial Budaya (PRISB) Universitas Syiah Kuala Jumat (24/6/2022) menyampaikan bahwa bahasa Aceh bisa menjadi penciri identitas bangsa dan budaya di tengah dinamika retorika politik yang terjadi di Serambi Mekkah.

Dalam presentasinya yang berjudul “Bahasa dan Identitas: Retorika Politik Paska Konflik di Aceh” yang dimoderatori oleh Faradilla Fadlia, S.Sos., M.Arts Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala sekaligus peneliti PRISB, Saiful Akmal yang juga alumni Goethe University Jerman dan University of Liveropool di bidang Bahasa dan Budaya, meyakini bahwa diskusi mengenai kejayaan Aceh di masa lalu, masa kini dan masa depan tidak luput dari peran bahasa yang digunakan oleh para pemimpin untuk berkomunikasi dengan rakyatnya, penguat identitas dan juga sebagai wujud keyaaan peradaban.

Diskusi yang dihadiri sekitar 30an orang via zoom itu juga membahas sebuah pertanyaan besar tentang bahasa Atjeh (ejaan lama-red) sebenarnya milik siapa? Dan bahasa tersebut bagaimana dan terdiri dari bahasa apa saja?

Hal ini dikarenakan dalam sejarah raja pertama kerajaan Aceh Darussalam yang memerintah dari tahun 1514 ke tahun 1528 adalah sosok pemersatu Aceh khususnya daerah Pasai dan Daya sebagaimana informasi dari Kemendikbud. Menariknya lagi bahwa raja Aceh pertama adalah saudara kita dari Dataran Tinggi Gayo, sebagaimana dikonfirmasi dalam Kongres Peradaban Aceh 2015 yang khusus membahas penguatan bahasa-bahasa lokal di Aceh.

“Fakta di atas memunculkan sebuah fakta bahwa sejatinya bahasa kita terdiri dari semua bahasa yang dipakai oleh warga yang tinggal di Aceh termasuk di dalamnya bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Simeuleu (Sigulai, dan lain lain), bahasa Jamee, bahasa Kluet, dan lain sebagainya.

Jika ini benar adanya maka Aceh tidak bisa disebut sebuah etnik atau suku, tapi Aceh adalah bangsa, karena terdiri dari sejumlah etnik,” sebut Saiful Akmal.

Aceh adalah miniatur bhineka tunggal Ika dari ujung Sumatera di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya sebagai bahasa yang paling banyak penuturnya, maka bahasa Atjeh harusnya menjadi bahasa pemersatu, bukan pemecah belah. Maka semua bahasa warga Aceh yang digunakan di berbagai kabupaten/kota juga masuk dalam nomenklatur basa Aceh.

“Sehingga kebijakan menggunakan basa Aceh dan sub bahasa di Aceh dalam kurikulum dasar, menengah dan tinggi menjadi penting termasuk penyeragaman penulisan agar tidak menjadi bahasa yang terancam punah di tengah euforia nasionalisme keacehan simbolik dan politik seremonial,” terang Saiful.

Lebih lanjut akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh tersebut mengatakan basa Aceh perlu digunakan di ruang publik, seperti di sekolah, di kantor, di halte atau bandara, paling tidak dalam hari tertentu yang disepakati oleh undang-undang.

Prodi Bahasa Aceh juga dalam waktu tidak lama lagi sudah harus bisa menampung mahasiswa dan mendidik calon guru bahasa yang bisa menjaga keunikan bahasa-bahasa dan etnik yang ada di Aceh, yang sudah hidup damai selama ratusan tahun lamanya sejak Kerajaan Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here