Aweuk Seunujoh

aweuk seunujoh, Pang Bayak
Mustafa A Glanggang. Foto: Dok. pribadi.
Zaman boleh berubah, tapi tradisi aweuk seunujoh tetap menarik didiskusikan. Paling tidak, bagi kalangan menengah ke atas. Hal ini menarik sebagai reintropeksi tentang sejarah perjalanan “budaya aweuk seunujoh”. Bagi generasi sekarang, aweuk seunujoh hanya kenangan masa lalu.Sebaliknya, dalam kehidupan masyarakat Aceh tempo dulu eksistensi aweuk seunujoh bisa bisa diibaratkan sebagai lambang kehidupan sosial masyarakat.

Apa itu aweuk seunujoh? Bila dikupas secara mendetail, ungkapan yang terdiri dari dua kata tersebut; aweuk dan seunujoh punya arti tersendiri. Tapi bila kedua kata itu dibaca dalam satu tarikan nafas, pengertiannya pun sangat filosofis.

Baca: Tionghoa Bireuen Bukan Cina di Morowali

Aweuk merupakan sejenis alat bantu kaum ibu untuk melakukan pekerjaan memasak. Aweuk berupa sendok besar yang terbuat dari batok kelapa dan kayu. Bentuknya mirip biduk perahu.Sebelum masyarakat Aceh mengenal teknologi terbaru, aweuk satu-satunya alat bantu yang bisa mempermudah soal masak-memasak.

Seunujoh merujuk kepada kenduri di hari ketujuh di Aceh bila ada orang meninggal dunia. Kenduri ini melibatkan banyak orang. Paling sedikit warga satu dusun dilibatkan sebagai panitia sekaligus pekerja yang membantu tuan rumah dalam menjamu orang yang datang pada hari ketujuh meninggalnya seseorang.

Bukan soal aweuk dan seunujoh yang jadi persoalan. Hal paling esensial sejauh mana peran aweuk berperan aktif dalam menyukseskan suatu upacara semacam seunujoh tersebut dalam masyarakat desa.

Sebagai ilustrasi, di desa-desa atau di kota-kota yang belum ada sentuhan teknologi, peran aweuk seunujoh tetap masih sangat menentukan. Pulen atau tidaknya nasi yang dihidangkan kepada tamu dan masyarakat yang hadir, sangat ditentukan oleh aweuk.

Baca: Bireuen, Tionghoa, & Perkembangan Warung Kopi

Dalam dunia politik, aweuk seunujoh seperti timses yang loyal, punya kapasitas, dan tekun dalam bekerja, demi memenangkan kandidat yang ia bela. Seberat apa pun tantangan di lapangan akan ia hadapi dengan penuh cucuran keringat. Hal paling penting baginya, kandidat yang diusung berhasil memenangkan kontestasi.

Timses dengan mental tersebut bukan sekadar hadir, membuat riuh, dan kemudian pulang dan selanjutnya tidur nyenyak. Ia akan berjuang habis-habisan, masuk ke semua lini masyarakat –pemilih—dan meyakinkan mereka bahwa kandidat yang ia kampanyekan punya kapasitas dan layak dipilih.

Orang-orang dengan mental demikian,selalu diperebutkan oleh kandidat setiap pemilu tiba. Dia akan dipuji setinggi langit, selalu dielu-elukan dalam setiap pertemuan. Tapi tatkala pemilu usai ia ditinggalkan dan kemudian dilupakan.

Nasibnya persis seperti aweuk seunujoh, yang seringkali ditinggalkan begitu saja tatkala kenduri selesai. Bahkan tak jarang dijilat anjing dan kemudian dibuang begitu saja karena dianggap tidak diperlukan lagi. Ia akan kembali dicari bila kenduri kembali harus dilaksanakan.

Apa boleh buat, memang perannya hanya sebatas di dapur, tidak diberikan kesempatan membagi-bagikan nasi dan kuah yang dihidangkan kepada tamu.

Apakah aweuk tersebut tidak punya kesempatan balas dendam? Pemilu legislatif dan Pilpres 2024 mungkin bisa menjadi contoh bila mereka sedang melakukan balas dendam. Tapi pola balas dendamnya terlalu kejam. Semua dipukul rata. Caleg yang berkinerja baik, atau sosok-sosok yang punya rekam jejak bagus, semuanya disamaratakan. Peng jicok caleg jipeu pungoe. Uang diambil, caleg tak dipilih. Tak ada pencoblosan gratis.

Akhirnya, ada caleg berkinerja baik dan sosok bagus yang terpilih dan mendapatkan kursi di parlemen. Tapi biayanya terlalu tinggi. Efeknya? Mungkin ke depan, aleg juga akan “balas dendam”. “Siuroe kapeungeut lon, limong thon keupeungeut gata.

Hasilnya? Cost politik semakin tinggi, dan pembangunan akan semakin rendah. Kapan akan berakhir? Entahlah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here