Pengusaha Tionghoa sangat menjunjung tinggi integritas. Bagi mereka kejujuran dalam dagang merupakan hal paling utama. Tak boleh ada kebohongan meski satu rupiah. bila kepercayaan telah tumbuh, pengusaha Tionghoa takkan segan membantu mitra dagangnya hingga tumbuh besar. Demikian ingatan yang terpatri di ingatan M. Gade Ridwan.
Sekitar 20 tahun lalu M. Gade Ridwan tidak pernah bercita-cita menjadi pegawai negeri. Bahkan dia menampik kala keluarganya menyarankan dirinya mendaftarkan diri sebagai salah seorang PNS. Baginya kalau ingin menjadi kaya raya maka berniaga adalah jalan satu-satunya.
Kisah hidup penuh tantangan pria kelahiran 1980 di Gampong Lameu Meunasah Lueng, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, bermula ketika ia menjadi pekerja pada Warung Kopi Sakura di Kota Sigli. Warkop tersebut berdiri satu jejer dengan Warkop Ie Leubeu yang legendaris. Warung Ie Leube merupakan usaha turun temurun sebuah keluarga Tionghoa.
Baca juga: Tak Semua Cina Menjadi Tauke
Dia menjadi pekerja di Sakura ketika eskalasi konflik kian meninggi. Menetap di Lameu bukan pilihan bijak. Hanya tersedia dua pilihan, bergabung dengan GAM, atau akan mati sebagai seseorang yang tidak jelas keberpihakan.
Alumnus SD Negeri Masjid Lameu tersebut tidak ingin masuk GAM. Tidak juga mau mati konyol di tengah pertarungan dua kekuatan besar. Ia memilih merantau seusai lulus SMA Negeri 1 Sakti pada 1999.
Setelah pamit pada orangtuanya, Gade Ridwan berangkat ke Kota Sigli. Di sana dia ditampung oleh pemilik Warkop Sakura. Tak ada cita-cita yang jelas di benak Gade, satu-satunya yang ingin ia hindari kala itu hanyalah pelaku konflik.
“Saat itu serba salah. Bergabung dengan GAM akan diburu aparat. Tidak bergabung, justru menjadi orang aneh sendirian di kampung. Akhirnya saya putuskan merantau ke kota,” kisahnya, Kamis (2/2/2023)
Tapi di Kota Sigli bukan tanpa tantangan. Oknum-oknum tentara tetap memanfaatkan kondisi. Ia sering diperlakukan tidak pantas oleh oknum tentara. Ketika singgah di Sakura, mereka pesan jus alpukat. Setelah dihidangkan, mereka marah-marah dan mengatakan memesan jus mangga.
Karena tak tahan lagi, suatu hari Gade nyaris kehilangan kesabaran. Dia hampir ingin “meluruskan” kebengkokan perilaku oknum aparat yang sering berulang di warung tempat ia mengais rezeki. Untung saja pemilik warkop segera memegang tangan Gade. “Sudah, jangan ladenin. Buat saja jus mangga.”
Salah seorang di antara oknum yang nakal tiba-tiba menjadi pucat pasi, ketika suatu hari Warkop Sakura disambangi oleh seorang perwira. Ternyata atasan yang didampingi oleh oknum tentara itu merupakan keluarga Gade. Melihat Gade mencium tangan si perwira, oknum itu kaget.
Setelah peristiwa itu, dia berperilaku sangat baik. Serta berkali-kali minta maaf. Perangai buruknya tidak lagi diulangi.
Kalaulah jodoh takkan kemana. Demikianlah kata pepatah. Suatu hari adik seorang pengusaha kecil di Banda Aceh mengatakan bahwa abangnya sedang mencari pekerja untuk mengelola toko bangunannya di ibukota Serambi Mekkah.Nama pemilik toko tersebut M. Yusuf.
Pembicaraan tentang kebutuhan tenaga kerja itu dibincangkan di Warkop Sakura. Gade mendengar pembicaraan sepintas lalu, tapi memiliki interest yang cukup baik. Dia pun tak menolak kala diajak bekerja di Banda Aceh.
Tanpa pikir panjang, ia pun mengemasi pakaian, pamit kepada pemilik warkop, dan kemudian berangkat ke Banda Aceh.
Gade bergabung dengan Toko Berkat pada tahun 2001. Toko itu benar-benar baru dirintis di Jalan Muhammad Jam, di samping Masjid Raya Baiturahman. Di depan Toko Berkat, berdiri Toko Buku Amanah.Toko Berkat bersebelahan dengan Toko Sumatera Elektronik.
Yusuf yang merupakan seorang haji, mengatakan kepada Gade bahwa sistem pengelolaan toko tersebut bagi hasil. 30:70. Pekerja disediakan uang makan malam. Pagi dan siang makan di toko.
Saat itu sales-sales niaga besar dari Medan, Sumatera Utara, sudah banyak masuk ke Aceh. mereka menawarkan berbagai produk yang dibutuhkan. Karena Toko Berkat berniaga barang bangunan, maka sales barang bangunanlah yang datang ke sana.
Tak ada yang bayar kontan. Setiap barang yang dititipkan di toko, sistemnya diutangkan. Penagihan baru dilakukan pada bulan kedua, boleh bayar cash, boleh dengan cara dicicil. Seluruh pemasok barang merupakan pengusaha Tionghoa yang berniaga besar di Kota Medan, Sumut.
Seiring waktu Toko Berkat kian maju. Gade benar-benar dapat menyelami dunia perdagangan dengan sangat baik. Dari modal Rp40 juta, dalam dua tahun barang yang ada di dalam toko tersebut sudah mencapai ratusan juta.
Mengapa toko tersebut maju pesat di tangan Gade? Karena dia menerapkan rumus dagang orang Aceh, bloe siploh publoe sikureung, lam ruweung mita laba.
Bagaimana caranya? Tidak semua barang yang dijual dia ambil keuntungan. Dia menimbulkan kesan seolah-olah barang di tokonya lebih murah dari tempat lain.
Dalam niaga tersebut, dia memperhatikan cara pengusaha Tionghoa berdagang. Sistem kaderisasi hingga pola menjaga hubungan dengan mitra bisnis.
Suatu ketika Toko Berkat mendapatkan kiriman barang dalam jumlah lumayan banyak dari satu distributor. Satu paket dilengkapi nota lengkap, satu lagi tidak ada nota.
Barang tanpa nota itu disimpan dengan baik. Pada bulan berikutnya dia beritahu kepada pengusaha Tionghoa yang mengirimkan barang itu. Si pengusaha mengucapkan terima kasih. Sejak saat itu, setiap bulan si pengusaha Tionghoa mengirimkannya pulsa telepon.
Gade yang juga alumnus D3 Teknik Informatika Universitas jabal Ghafur, semakin yakin bahwa dalam hal apa pun integritas harus dijunjung tinggi. Dia mempelajari dengan saksama cara orang Tionghoa berbisnis.
Ada tiga hal yang didapatkan oleh Gade dari pengusaha Tionghoa; integritas, konsistensi, dan kaderisasi. Belajar dari pengusaha Tinghoa, Gade memutuskan kalau ingin maju lebih besar lagi, berarti tidak ada hari libur di luar Lebaran.
“Pada hari Minggu toko-toko yang sudah sangat mapan pasti tutup. Bila itu milik Muslim, mereka melepas penat. Toko yang dimiliki nonmuslim, pemiliknya ke gereja dan beristirahat. Toko Berkat harus mengisi kekosongan itu. Artinya tidak ada hari libur di luar Lebaran,” sebut Gade mengenang masa-masa penuh kerja keras itu.
Berkat kejujuran pemilik Toko Berkat, tahun 2003 Gade yang dipercaya sebagai “bos kecil” di toko sudah dapat membeli sepeda motor Ninja RR. Ia membeli motor sport tersebut menggunakan uang hasil pembagian keuntungan 30-70.
Belajar dari Pengusaha Tionghoa
Sepanjang Gade berniaga dia melihat bagamaimana pengusaha Tionghoa menjaga relasi. Semua hal sangat diperhatikan. Dagang tetaplah dagang. Bila sudah komitmen akan sangat dijaga. Tidak seharipun mereka berbohong dan menolak melaksanakan komitmen yang telah disepakati.
Demikian juga di akhir tahun, pengusaha Tionghoa akan mengirimkan hadiah ke toko Berkat sebagai bentuk pertemanan, sekaligus mengundang Gade berlibur ke Medan. Hadiah yang dikirim diterima, tapi undangan berlibur ditolak Gade.
“Lama-lama saya seperti mereka juga. Sangat perhitungan. Saya menghitung secara detail, bila memenuhi undangan berlibur, hotel dan makan di hotel ditanggung. Tapi biaya-biaya lainnya? Daripada “membakar uang” lebih baik saya simpan untuk kebutuhan lain,” sebut Gade.
“Saat itu saya tidak nongkrong di malam hari. Setelah pulang kerja, saya langsung beristirahat di kos,” kenangnya.
Ketika Gade sedang menikmati puncak karir di dunia bisnis, pada 26 Desember 2004 gempabumi dan tsunami melanda Serambi Mekkah. Kota Banda Aceh disapu gelombang besar Samudera Hindia.
Setelah kondisi mulai pulih, Gade tidak kembali berjualan di toko, dia mendaftar sebagai PNS—memenuhi harapan keluarganya—dan kemudian terus berkarir hingga saat ini menjadi pegawai negeri yang bertugas di Prokopim Pemerintah Aceh.
Bila mengenang masa lalu ketika menjadi pekerja di Toko Berkat, suami Ninik Fadilah dan ayah dari Raisya Lia Putri dan Dhawy Tajuddin Safar tersebut selalu tersenyum. Dia benar-benar ditempa di sana hingga menjadi pribadi yang penyabar, tekun, dan menjunjung tinggi tugas yang diemban.
“Toko Berkat menjadi universitas bagi saya. Karena di sanalah saya benar-benar ditempa oleh waktu, dan secara tidak langsung berhasil mendapatkan pengajaran penting dari pengusaha Tionghoa,” sebut Gade yang kini menjabat Kabag Materi dan Komunikasi Pimpinan pada Biro Adpim Sekda Aceh.