Arti Istilah Aceh Pungo

Persiraja Aceh Pungo
Sempat diteriaki Aceh pungo oleh supporter PSMS, Sabtu (14/12/2024) skuad Persiraja menggeprek skuad Ayam Kinantan dengan skor 1-2 di Stadion Baharoeddin Siregar, Deli Serdang, Sumut. Foto: Ilustrasi. Antara.

Komparatif.ID–Sejumlah supporter PSMS Medan meneriaki Aceh Pungo kepada skuad Persiraja Bnada Aceh, saat bertandang ke Stadion Stadion Baharoeddin Siregar, Deli Serdang, Sumatra Utara, Sabtu (14/12/2024).

Supporter PSMS meneriaki Aceh Pungo kepada skuad Persiraja Banda Aceh, saat Laskar Rencong memasuki stadion. Tujuan mereka untuk mengintimidasi mental pemain Aceh.

Hasil akhir, PSMS Medan dijadikan ayam penyet oleh Persiraja pada laga tersebut. PSMS kalah 1-2.

Supporter PSMS tak tahu bila istilah Aceh moorden memiliki nilai magic luar biasa. kata-kata itu mengandung spirit perlawanan. Aceh pungo bukan umpatan, tapi pujian.

Baca: Aceh Ibu Susu Indonesia

Sejarah Aceh pungo bermula ketika Belanda frustasi menyerang Aceh. Penjajah Belanda tak kunjung mampu menaklukkan Aceh, meski anggaran, tenaga, dan korban, telah banyak dihabiskan.

Menurut catatan Iskandar Norman, seorang peminat kajian sejarah Aceh, sekaligus seorang jurnalis di Aceh, istilah Aceh pungo lahir dari pernyataan orang Belanda. Mereka menilai militansi orang Aceh di luar akal sehat. Perlawanan terhadap Belanda tak kunjung reda, dengan aksi-aksi nekat.

Awalnya orang Aceh tidak mengenal istilah Aceh pungo. Orang Aceh menyebut aksi militansi tersebut dengan istilah hamok. Istilah hamok merujuk pada aksi-aksi menyerang Belanda di mana saja, meski seorang diri.

Saat itu, opsir-opsi Belanda seringkali dibunuh oleh militan Aceh. aksi-aksi itu seringkali dilakukan seorang diri, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan di tengah keramaian, tanpa disangka-sangka, di mana saja bahkan di tangsi militer Belanda sekalipun.

Iskandar Norman menulis, pembunuhan Komandan Duvisi V Marsose Belanda di Lhoksukon, Kapten Charles Emile Schmid pada pagi,10 Juli 1933, sebagai salah satu bentuk hamok.

Saat itu Kapten Charles Emile sedang berada di lapangan, mempersiapkan pasukannya. Pada kesempatan itu Amat Leupon masuk ke lapangan, mendekati Charles. Amat Leupon memberi tabik. Sang perwira membalas, saat Charles mengangkat tabik, Amat segera menikam perut perwira itu dengan sebilah rencong. Schmid terluka parah dan akhirnya mati.

Lebih lanjut Iskandar Norman menulis:

Kisah lainnya adalah, seorang pejuang perempuan Aceh di Pidie, Pocut Meurah Intan alias Pocut Di Biheue menyerang sendiri 18 tentara marsose yang sedang patroli pimpinan TJ Veltman, sehingga Belanda menjulukinya heldhaftig alias perempuan yang gagah berani.

 Kisah lainnya adalah, kisah Teuku Ubit santri yang baru berusia 16 tahun membunuh Tiggelman pejabat Controleur Belanda di Seulimeum, Aceh Besar pada 23 Februari 1942.

Ada lagi kasus pembunuhan Letnan Kolonel Scheeepens di Pidie, ia ditikam oleh seorang Uleebalang di Desa Titeue, Pidie pada 10 Oktober 1913 ketika rapat menyelesaikan suatu sengketa dengan penduduk. Scheepens meski sempat dirawat di rumah sakit Sigli ia tewas.

Peristiwa-peristiwa hamok tersebut memantik penelitian dari pihak Hindia Belanda. A. Kern yang ditugaskan melakukan penelitian, kemudian menulis sebuah buku berjudul Onderzoek Atjeh Moorden. Buku ini merupakan laporan hasil penelitiannya yang disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 16 Desember 1921. Diterbitkan dalam Kernpapieren No.H.797/159 oleh KITLV Leiden, Belanda.

RA Kern hanya mengutip laporan-laporan yang dibuat oleh pegawai administrasi Belanda sejak tahun 1910. Sedangkan serangan-serangan hamok sebelum itu tidak diambil. RA Kern mencatat ada 79 peristiwa dalam periode 1910-1921 dengan korban 99 orang.

Peneliti tersebut berkesimpulan hal-ihwal yang melatarbelakangi orang Aceh berani menyerang Belanda secara personal karena terpengaruh Hikayat Prang Sabi, sebuah karya sastra karangan seorang ulama, yang menyerukan betapa indahnya gugur sebagai syuhada karena memerangi kaf*r. Serta janji-janji suci bahwa setiap yang syahid akan mendapatkan bidadari di dalam surga.

Akibat dari penelitian tersebut, Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh, AH Philips memerintahkan razia dan pembakaran Hikayat Prang Sabi, ia berkesimpulan membaca Hikayat Prang Sabi dapat menghilangkan keseimbangan jiwa, hingga rela mati yang kemudian disalurkan dalam tindakan membunuh orang-orang Belanda di Aceh.

Nah, Aceh moorden yang kemudian dibahasakan dalam bahasa lokal menjadi Aceh pungo, bukan sebuah hinaan. Tapi semacam pengakuan dari Belanda kepada Aceh, yang memiliki tingkat keberanian yang tidak masuk akal.

Bagi penduduk Serambi Mekkah, Aceh pungo bukan hinaan, tapi pujian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here