Komparatif.ID, Banda Aceh—Sejumlah antropolog Indonesia yang bergabung dalam Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Wilayah Aceh, Sabttu (16/4/2022) menggelar diskusi dengan tema “Menatap Masa Depan Aceh”.
Diskusi para antropolog Indonesia itu menghadirkan Prof. Dr. Irwan Abdullah, yang merupakan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Antropolog Indonesia asal Aceh itu menyebutkan pentingnya membangun budaya kolektif dalam segala aspek, termasuk dalam membangun tradisi pengetahuan.
Menurut Prof. Irwan salah satu kegagalan Aceh membangun dirinya di kancah nasional adalah karena Aceh selalu menjadi pemain tunggal, dan krisis pengkaderan. Kondisi ini amat berbeda dengan provinsi lain di Indonesia.
Dari sudut antropologi, Guru Besar UGM ini yang juga pendiri IA Scholar –sebuah platform cendekiawan yang menggerakkan akademisi seluruh Indonesia untuk menulis scopus– bahwa Aceh harus keluar dari tiga jerat persoalan.
Pertama. Primordial sentimen, dalam konteks ini, Aceh gagal membaca dirinya sebagai Aceh tatkala berada di Aceh, keacehan sesungguhnya justru terorbit saat orang Aceh berada di perantauan di luar Aceh.
Kondisi ini merupakan mentalitas yang akan menjadikan orang Aceh terbelakang jika masih beranjak dari persoalan primordial sesama Aceh.
Kedua, intelektual barrier, di mana intelektual tidak bergerak secara kolektif dan cenderung diasingkan oleh sistem politik di Aceh, dan ketiga, spirit of resistance yang masih tinggi di Aceh. Kondisi ini akan menjebak Aceh selalu tersendat dalam membangun negerinya.
Perlawanan yang dilakukan juga tidak ke arah produktif yang bermuara pada peradaban. Akhirnya, energi Aceh terkuras untuk persoalan resistance yang tidak menghasilkan spirit peradaban.
Terakhir, Prof. Irwan menekankan pentingnya orang Aceh kembali pada agama dan pendidikan yang di-support oleh system spiritual sesungguhnya tak hanya ritual dan kultural.
Disksui yang digelar di Barika Kopi, Aceh Besar ini dihadiri oleh sejumlah antropolog dan peneliti dari BPNB, akademisi UIN Ar-Raniry dan STAIN Meulaboh, serta turut hadir stakeholder dari Disbudpar dan Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Dr. Bustami Abubakar, selaku ketua AAI dalam pembukaannya menyampaikan, AAI Aceh akan terus berkomitmen mengawal pembangunan Aceh dengan ide dan pengetahuan berbasis riset.