Komparatif.ID, Bireuen– Selama lima tahun lebih Lorong Pisang dan Warkop Sago Kampus menjadi spot paling sering saya kunjungi selama kuliah di Universitas Almuslim, Peusangan, Bireuen. Sejak 2005 hingga 2024, telah banyak berubah, dan semakin kumuh.
Senin pagi (9/12/2024) sebelum kembali ke Banda Aceh, saya dan istri tidak satu tujuan menikmati kuliner sebagai sarapan pagi. Dia memilih bernostalgia dengan Mie Kak Yen di dekat SMP 1 Peusangan. Ya, mi tersebut sangat memorable di ingatan para pelajar di sana.
Saya memutuskan sarapan di Warkop Sago Kampus, yang berada di samping Gedung Utama Jamiatul Almuslim, yang pernah menjadi Kampus Induk Universitas Almuslim.
Ya, di Warkop Sago Kampus, ada pedagang sarapan pagi yang menjadi langganan. Namanya Kak Mutia dan Bang Jol. Adik dan abang yang sangat ramah. Mereka berjualan pada rak yang diparkir di teras warkop. Ada nasi gurih, nasi putih, cenil serta beragam lauk.
Kak Tia dan Ban Jol sudah mangkal di sana sejak 2005, saat Sago Kampus baru dibuka. Bila dihitung-hitung, mereka sudah jualan sarapan di sana selama 19 tahun.
Tahun 2005 harga nasi per porsi masih Rp6.000. Pelanggan mereka dari PNS, pedagang rempah-rempah, dosen, mahasiswa, hingga buruh. Dengan harga yang sangat terjangkau, sarapan di situ bertambah asyik karena rasanya yang benar-benar enak.
Bila sedang tidak punya uang, Kak Tia juga memperbolehkan saya berutang. Bila agak lama belum membayar, cara tagihnya pun sangat sopan. Pokoknya yang penting bayar.
Bukan hanya satu porsi, bahkan saya sering berutang nasi dalam jumlah hingga 10-15 bungkus bila sedang ada kegiatan Pers Mahasiswa Suara Almuslim (LPM SA).
Sekarang harga satu porsi nasi dengan lauk ikan dijual Rp10.000; masih sangat terjangkau. Rasanya juga masih sama seperti 19 tahun lalu. Keramahan Kak Tia dan Bang Jol juga belum berubah.
Saya baru teringat bila 9 Desember merupakan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia). Sebuah peringatan yang ketika kuliah selalu menjadi agenda wajib. Setidaknya selalu ada kegiatan demi memperingati Hakordia.
Bila mengenang Hakordia, saya teringat kader LPM SA yang telah berpulang pada Mei 2014 dan Koordinator Gabungan Solidaritas Anti Korupsi (GaSAK) Bireuen, Mukhlis Munir yang berpulang pada 2 Desember 2024.
Keduanya punya peran penting dalam setiap Hakordia yang dulu kami peringati. Dua-duanya juga pernah sarapan di Sago Kampus yang selalu menerapkan nilai saling percaya antara pedagang dan mahasiswa.
Baca juga: Ampon Chiek Peusangan Membangun Ketahanan Pangan
Sembari sarapan, beberapa kali saya menyapu pandang ke bekas Kampus Induk Umuslim yang kini telah diubah menjadi Pesantren Almuslim Peusangan.
Saya juga menyapu pandangan ke jalan. Hmm, banyak hal telah berubah. Deretan kios dan ruko telah banyak tumbuh, menghilangkan lahan yang dulunya kosong.
Ruko dan kios fotokopi yang dulu menjamur, kini tak lagi tersisa. Warkop dan kantin yang dibangun di sepanjang seberang jalan di depan Kampus Induk, juga tidak lagi berbekas. Satu persatu tutup, dirubuhkan; beralih fungsi menjadi tempat usaha lain, seiring “redupnya” Umuslim sebagai “kampus swasta raksasa” di pantai timur Aceh.
Soal parkir, masih seperti dulu. Centang perenang. Pemilik motor parkir sesuka hati di depan ruko. Mobil juga demikian. Di luar tembok Almuslim, jalan di sana belum tertata rapi. Masih seperti dulu.
Usai sarapan, saya berjalan melintasi Lorong Pisang yang legendaris. Suasana di sana juga secara umum belum berubah. Kios-kios kumuh di bawah rindangnya beringin tua, berjejer menjajakan buah-buahan, sayuran, ikan asin, dll. Di sudut-sudut pedagang martabak goyang tetap bertahan, melayani konsumen kelas bawah dan menengah.
Pedagang buah juga masih seperti dulu. Menggelar dagangan hingga ke badan jalan. Singkong, ketela, ditumpuk di atas aspal yang telah ditimpa lumpur hitam. Pedagang nangka meletakkan meja kecil di atas badan jalan sembari menyapa pelintas.
Saat saya melintas, sepanjang jalan di lorong itu becek. Hujan yang mengguyur Matangglumpangdua pada Minggu sore (8/12/2024) masih meninggalkan bekas kentara.
Bagi mahasiswa Umuslim, lorong tersebut sangat memorable. Kami berjalan kaki melintas lorong itu saat berangkat atau pulang kuliah. Menyandang tas selempang atau ransel sembari bercengkrama dengan teman-teman.
Saya sempat melirik ke lorong yang menghubungkan terminal lama dan SMA Swasta Almuslim. Sekolah tersebut sangat istimewa bagi saya. Di sanalah saya PPL sebagai mahasiswa tingkat akhir. Sekolah itu unik, karena terkenal dengan tempat mengakhiri studi paling ikonik di Peusangan. Siswa-siswi yang bermasalah di sekolah lain, sering “ditransfer” ke SMAS Almuslim.
Sekolah itu telah berubah menjadi Sekolah Aliyah di lingkungan Pesantren Almuslim. Statusnya telah berubah menjadi sekolah elit dan favorit. Bukan lagi sekolah “laskar pelangi”.
Di luar pagar Pesantren Al Muslim, suasana masih seperti dulu. Pasar rakyat yang kumuh, bising, dan beraroma khas.
Almuslim merupakan warisan para petinggi di masa lalu. Sebuah terobosan penting membentuk peradaban. Almuslim menjadi “ideologi” bagi Peusangan, setelah Nanggroe Peusangan bubar pasca terbentuknya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Ya, Peusangan masih berstatus kota dagang. Meski tidak lagi menjadi kota dagang utama seperti di masa Ampon Chiek masih berkuasa.
Peusangan juga masih berstatus sebagai kota mahasiswa, meski di sana-sini telah banyak tumbuh perguruan tinggi di Bireuen.
Peusangan juga masih sebagai kota sate, meski Geurugok di ujung timur Bireuen terus berupaya tumbuh sebagai pusat kuliner sate di Aceh Jeumpa.
Saya teringat celoteh seorang pedagang buah di Lorong Pisang kala masih menimba ilmu di Umuslim.
“Lorong ini telah lama membentuk pasarnya sendiri. Pemerintah tak perlu repot-repot memikirkan bagaimana kami berdagang. Bila pemerintah mau, bangunlah jalan yang bagus, supaya kami tak lagi berjualan di dalam lumpur.”
Keluh itu pernah saya sampaikan kepada seorang pejabat. Dengan nada diplomatis dia menjawab. “Pemerintah selalu hadir. Tapi pasar tradisional ya seperti itu. Sulit ditata menjadi lebih rapi, karena pedagang memang nyaman dengan kekumuhan.”
Sampai sekarang, Lorong Pisang belum berubah. Kumuh, centang-perenang, dan harga yang masih terjangkau. Suasana masih sangat vintage dan “eksotis” dengan aroma khas pasar gampong yang gorong-gorongnya tergenang dengan limbah pasar warna hitam.
Saat saya mencapai tempat parkir mobil, saya bergumam di dalam hati. “Semoga bupati ke depan mampu menempatkan camat yang visioner di Peusangan. Peusangan dengan nama besarnya butuh kepala distrik yang beretos kerja tinggi. Karena saya percaya bahwa tidak semua hal dapat diselesaikan dengan uang. Leadership memiliki energi lebih besar, ketimbang sekadar anggaran.