Ampon Chiek membangun Ketahanan Pangan Nanggroe Peusangan

Seri Pemimpin Teladan

Ampon Chiek Peusangan Teuku Chiek Muhammad Djohan Alamsjah (duduk). Ia membangun ketahanan pangan rakyat dengan pembangunan fasilitas dan program kerja yang jelas. Foto: ist.
Ampon Chiek Peusangan Teuku Chiek Muhammad Djohan Alamsjah (duduk). Ia membangun ketahanan pangan rakyat dengan pembangunan fasilitas dan program kerja yang jelas. Foto: ist.

Isu ketahanan pangan bukan hal baru. Bahkan ketika Ampon Chiek Peusangan masih bertakhta, ia telah melakukan proyek besar tentang itu, yang dampaknya membuat Peusangan menjadi daerah penting di pantai utara Aceh pada sektor hasil pertanian dan perdagangan.

Perubahan iklim, peningkatan jumlah populasi dunia, Covid-19, dan perang antara Ukraina dan Rusia, telah menyebabkan ancaman krisis pangan secara global.

Meskipun berstatus negara agraris dan bahari, Indonesia turut pula menjadi salah satu entitas negara yang akan mendapatkan dampak dari krisis pangan.

Dengan jumlah pendudukan mencapai 270, 2 juta jiwa, Indonesia juga akan terancam bila krisis pangan benar-benar menjadi “pandemi”. Oleh karena itu jauh-jauh hari, Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, menamatkan melalui Peraturan Presiden nomor 104 tahun 2021 tentang Rincian APBN TA 2022 disebutkan bahwa Dana Desa ditentukan penggunaannya untuk program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20% (dua puluh persen).

Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah dan Penanggulangan Bencana Kemenko PMK, Letjen Sudirman, menyampaikan kebijakan itu perlu dioptimalkan untuk pengembangan potensi desa dan kawasan melalui berbagai macam komoditas pangan dengan memanfaatkan lahan desa, lahan masyarakat, lahan yang telah mendapatkan izin perhutanan sosial.

“Penggunaan Dana Desa untuk ketahanan pangan perlu dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat desa memiliki kemampuan yang cukup dalam memenuhi kebutuhan pangan di desa secara mandiri. Dana Desa diharapkan mampu mendukung kegiatan dari mulai produksi, penyediaan lahan dan infrastruktur penunjang, pengolahan dan pemasaran “, kata Letjen Sudirman, rapat koordinasi tentang Penguatan Ketahanan Pangan melalui Integrasi Program Kementerian/Lembaga, yang digelar beberapa waktu lalu.

Di Kabupaten Bireuen, sejumlah pihak memanfaatkan peluang tersebut dengan menyenggarakan bimtek para geuchik dan perangkat gampong yang dikaitkan dengan tema ketahanan pangan. Sayangnya, kegiatan bimtek berbayar itu diselenggarakan di luar Aceh–di hotel, dan pelaksananya tidak memiliki portofolio yang jelas.

Sempat terjadi penolakan oleh beberapa pihak, tapi suara-suara itu redup seiring berjalannya bimbingan teknis, dan kegiatan dapat berjalan tanpa kendala. Bahkan Pemerintah Kabupaten Bireuen tidak mengeluarkan sepatah katapun terkait pelaksanaan bimtek ketahanan pangan yang menurut beberapa keuchik, dilaksanakan dengan cara memaksa dan asal-asalan. Asal panitia bisa tarik uang, asal keuchik bisa jalan-jalan.

“Ikut tak ikut harus bayar. Bila menolak urusannya akan panjang. Bimtek itu, menurut pelaksana merupakan program bapak. Tapi tak disebut bapak yang mana,” ujar seorang keuchik.

Dalam sejarahnya, di masa lalu isu ketahanan pangan juga sempat menjadi perhatian serius Ule Balang Peusangan, Teuku Chiek Muhammad Djohan Alamsjah. Pemimpin Nanggroe Peusangan itu saat masih berkuasa menjadikan isu ketahanan pangan sebagai salah satu rencana program pembangunan ekonomi.

Dalam buku Bireuen Kota Juang 1945-1949 yang ditulis oleh Sudirman, dkk, diterbitkan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2010, disebutkan dalam rangka meningkatkan pendapatan rakyat dari sektor ekonomi produktif, Ampon Chiek Peusangan memerintahkan rakyatnya untuk bercocok tanam padi di sawah. Ia sebagai pemimpin bertugas menyelesaikan persoalan persediaan air.

Ampoen Chiek meminta bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyukseskan misinya. Oleh Belanda, dikirimlah ahli persawahan dari Pulau Jawa. Sang ahli bertugas mendampingi Ampon Chiek dalam upaya membina rakyat di sektor padi sawah. Belanda juga membantu membangun irigasi dan bendungan untuk mengairi persawahan.

Dari data yang diperoleh Komparatif.id, bendungan yang dibangun oleh Belanda untuk mendukung program ketahanan pangan untuk rakyat Peusangan yaitu Bendungan Pante Lhong, yang kini berada di Pante Lhong, Peusangan, Bireuen.

Program itu berhasil dengan gilang-gemilang. Hasil produksi padi di persawahan Peusangan meningkat pesat, bahkan menjadikan Kawasan itu sebagai lumbung padi di Aceh pada era tersebut.

Sebagai pemimpin visioner dan berdedikasi, Ampon Chiek tidak berhenti sampai di situ. Ia juga memerintahkan seluruh rakyat memanfaatkan tanah kosong supaya produktif. Tanah kebun, halaman rumah, tanah belakang rumah, diperintahkan untuk ditanami pohon yang menghasilkan buah. Salah satunya yang masih tersisa dan menjadi trade mark Peusangan yaitu giri matang (pamelo) yang bercitarasa khas.

Lagi-lagi, untuk menyukseskan program mandiri buah-buahan, Ampon Chiek meminta Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ahli tanaman buah. Oleh Belanda dikirimlah ahli botani dari Bogor. Mereka—para ahli cum penyuluh itu—datang sembari membawa bibit yang dikehendaki oleh Ampon Chiek.

Untuk mendukung terserapnya hasil sawah dan kebun, Ampon Chiek juga mereformasi sistem pasar di Matangglumpangdua. Dia membangunnya dengan gaya lebih modern. Dalam rentang sejarah itu, matangglumpangdua –ibukota Nanggroe Peusangan–menjadi salah satu pasar yang terkenal dan penting di Noord Kust van Atjeh (pantai utara Aceh).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here