Ahli Ekonomi Tekan Investasi Atasi Krisis Iklim ke Negara Berkembang

investasi Kekeringan ekstrem di waduk Entrepenas, di Guadalajara, Spanyol. Foto: agefotostock/Alamy
Kekeringan ekstrem di waduk Entrepenas, di Guadalajara, Spanyol. Foto: agefotostock/Alamy

Komparatif.ID, Banda Aceh— Dalam menghadapi krisis iklim yang semakin memprihatinkan, ahli ekonomi iklim mengatakan negara-negara maju perlu memperbarui pendekatannya dengan menginvestasikan triliunan dolar daripada miliaran dolar di negara-negara berkembang.

Mereka juga menyerukan adanya perubahan paradigma terhadap bantuan luar negeri konvensional. Hal ini diungkapkan oleh Avinash Persaud, seorang ekonom iklim terkemuka dan juga ahli ekonomi Barbados, dalam wawancara dengan The Observer sebelum pertemuan penting di Paris, Minggu (18/6/2023).

Persaud menekankan perlunya tiga kali lipat dari dana yang tersedia dari Bank Dunia dan lembaga serupa, serta masuknya investasi swasta yang besar. Hal ini dapat dicapai melalui penggunaan hati-hati dana publik dan regulasi yang menghilangkan hambatan investasi saat ini. Persaud menyebut peluang ini sebagai “peluang finansial terbesar di dunia”.

Baca juga: Dekranasda Dorong Aceh Jadi Pusat Fashion Muslim

Penasihat ekonomi Mia Mottley, Perdana Menteri Barbados, dan Persaud sendiri akan memimpin pertemuan para pemimpin dunia di Paris untuk menetapkan “agenda Bridgetown”. Mereka akan mengusulkan keringanan utang bagi negara-negara termiskin yang terkena dampak bencana iklim, tiga kali lipat pendanaan dari bank pembangunan multilateral, dan pengenakan pajak baru untuk mendanai aksi iklim, termasuk kemungkinan retribusi pengiriman.

Selain itu, mereka akan mendorong reformasi dalam operasional Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan lembaga lainnya agar lebih mudah bagi mereka untuk mengurangi risiko investasi sektor swasta di negara-negara berkembang. Persaud menekankan bahwa sektor swasta harus terlibat dalam upaya ini dan bahwa perusahaan swasta memiliki kapasitas untuk melakukannya.

Dalam konteks ini, Persaud juga menyoroti perlunya mengorbankan beberapa cita-cita kampanye yang mungkin sulit dicapai. Ia menolak pandangan bahwa hibah yang tidak dapat dibayar harus diberikan sebagai pendanaan iklim, mengingat tantangan praktis yang ada dalam hal ini. Menurutnya, bantuan luar negeri konvensional juga tidak akan mencukupi dan diperlukan pemikiran yang lebih luas dan inovatif.

Ia menyebutkan dalam penelitian oleh ekonom terkemuka Inggris, Nicholas Stern, dan Vera Songwe, menunjukkan bahwa diperlukan sekitar 2 triliun dolar per tahun untuk mengubah perekonomian negara-negara berkembang agar dapat mengurangi emisi dan menghadapi dampak cuaca ekstrem.

Persaud memperinci bahwa sekitar 1,4 triliun dolar per tahun harus berasal dari sektor swasta untuk transformasi hijau di negara-negara miskin, sedangkan sekitar 300 miliar dolar per tahun akan digunakan untuk membantu adaptasi mereka terhadap dampak krisis iklim. Selain itu, sekitar 100 miliar dolar per tahun harus dialokasikan untuk “kerugian dan kerusakan” yang dialami negara-negara yang terkena bencana iklim.

Tuntutan untuk reformasi Bank Dunia dalam menghadapi dampak buruk dari krisis iklim di negara-negara miskin telah semakin meningkat. Mereka menuntut agar Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan lembaga lainnya dapat memberikan jaminan atau pinjaman jangka panjang untuk mengurangi risiko investasi sektor swasta di negara-negara berkembang.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Persaud menekankan bahwa pendekatan yang pragmatis dan inovatif harus diutamakan, melebihi pemikiran ekonomi tradisional. Dia mengingatkan bahwa berbagai pendekatan yang telah dicoba atau didiskusikan sejauh ini tidak akan menjadi jawaban yang tepat. Oleh karena itu, dunia perlu berpikir lebih luas dan berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis iklim yang semakin mendesak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here