Aceh Menyelamatkan Indonesia yang Masih Seumur Jagung (I)

Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Foto: IPHHOS/Alex Mendur.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, meskipun berhasil dilakukan, tidak bermakna bahwa Pulau Jawa sudah benar-benar dapat dikuasai oleh pejuang Republik. Bahkan kekacauan semakin menjadi-jadi dan terjadi di mana-mana.

Tidak lama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 16 September 1945, pasukan Sekutu yang ikut diboncengi oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA) di Tanjong Priok, Jakarta, membuat suasana pemerintahan yang baru seumur jagung kocar-kacir.

Jepang yang masih bercokol sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Penjajah berkulit kuning tersebut bahkan diminta melucuti senjata-senjata yang dikuasai oleh kaum pejuang. Pasukan Sekutu melakukan penangkapan saban hari.

Baca juga: Susu untuk Republik, Tuba Dalam Cawan Daoed Beureueh

Pasukan Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang dipimpin Letjen Sir Philip Christison tidak memberikan ruang kepada Indonesia yang sudah menyatakan kemerdekaannya. Bangsa kulit putih masuk ke Jakarta, dengan tujuan utama mengembalikan kekuasaan Belanda.

Ada lima misi utama yang dijalankan oleh Letjen Sir Philip Christison:1

  1. Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Indonesia
  2. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu
  3. Melucuti dan memulangkan tentara Jepang
  4. Memulihkan keamanan dan ketertiban
  5. Mencari dan mengadili para penjahat perang.

Pada 2 Januari 1946, Soekarno mengumpulkan pejabat Indonesia yang kala itu masih seumpama gerilyawan. Menurut catatan Cindy Adams dalam buku biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966), dalam rapat tersebut Bung Karno memutuskan mengungsi ke Yogyakarta. “Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak.”

Maka, setelah segala kemungkinan dihitung, mereka pun berangkat ke Yogyakarta secara diam-diam.

Kabar Kemerdekaan Indonesia Sampai ke Aceh

Nun di Aceh, 2471.31 km dari Jakarta, pada 17 Agustus 1945, Teuku Hamid Azwar yang baru pulang dari salat Jumat di Masjid Raya Baiturahman, tidak tahu bahwa Indonesia sudah diproklamirkan. Hanya saja, pada 15 Agustus 1945, kesatuan militer Jepang di Aceh telah dibubarkan. Kesatuan Giyu Gun dibubarkan pada tengah hari, dalam upacara yang sangat singkat.

Teuku Hamid Azwar dan sejumlah perwira Giyu Gun lainnya melakukan penelitian, mereka mendapatkan setitik informasi bahwa Jepang telah kalah perang di front Asia Timur Raya. Selain itu Belanda akan segera kembali untuk berkuasa.

Pada 23 Agustus 1945, Residen Jepang yang berkuasa di Aceh, memanggil 5 tokoh Aceh ke kediamannya. Para tokoh tersebut yaitu Teuku Nyak Arief, Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Teuku Ahmad Djeunib—abang Kandung Teuku Hamid Azwar, Teungku Daoed Beureueh, dan Said Abu Bakar.

Dengan tetap menyembunyikan kekalahannya, Residen Shazaburo Iino mengatakan bahwa Jepang telah berdamai dengan Sekutu. Ia juga masih menyembunyikan informasi bahwa Indonesia sudah diproklamirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1945.

Para pemimpin Aceh yang terdiri dari Teuku Nyak Arief, Teuku Ahmad Djeunib, Teuku Teungoh, Hanafiah, dan Teuku Abdul Hamid, berkumpul di kediaman Ahmad Djeunib pada 22 Agustus 1945. Pertemuan itu terjadi pada pagi hari.

Mereka membicarakan tentang kekalahan Jepang dan langkah-langkah yang akan ditempuh. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba datang Ahmad Pos. Dengan terengah-engah, dia mengetuk pintu dan memberitahu bahwa ia telah mendengar kabar dari radio bahwa Indonesia telah diproklamirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1945.

Kabar tersebut disambut gembira, sekaligus dilema. Jepang masih berkuasa penuh di Aceh, dan di Sabang, Sekutu telah datang dengan armada yang luar biasa.

“Kita harus mengundang semua pemuka masyarakat untuk memberitahukan peristiwa bersejarah ini. Besok harus terlaksana di kantor saya,” ucap Teuku Nyak Arief, setelah mendapatkan dukungan teman-temannya dalam pertemuan tersebut.

Besoknya, Teuku Nyak Arief menyampaikan kabar tersebut kepada 18 orang pemuka masyarakat yang hadir dalam pertemuan terbatas. Mereka mengangkat sumpah akan menyokong proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebuah kitab suci Alquran dan sehelai bendera merah putih ukuran 3×2—yang dijahit oleh Cut Nyak Jauhari; istri Teuku Nyak Arief–menjadi saksi bisu tentang sumpah setia putera-puteri Aceh demi mendukung Indonesia yang baru merdeka.

Teuku Nyak Arief meletakkan Quran di atas kepalanya dan berucap “Demi Allah, Wallah, Billah, saya bersumpah setia untuk membela kemerdekaan Bangsa Indonesia, sampai titik darah saya yang terakhir.”

Sumpah setia tersebut diikuti oleh Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Teuku Ahmad Djeunib, Teuku Abdul Hamid, Pak Ahmad Pos, Teuku Teungoh Hanafiah, Nyak Umar, Dr. Mahyudin, Hasyim, M. Hasyim Naim, Soekarno, Drh. Zainul Bahri, Ali Murtolo, Suratno, M. Jusuf, Usman Commis, dan Teungku Muhammad Dahlan.

Bendera merah putih pun dikibarkan di halaman kantor Teuku Nyak Arief, dikibarkan oleh bekas Kepala Polisi Aceh Hasyim Naim bersama Muhammad Amin Bugel. Selanjutnya bendera merah putih juga diminta dikibarkan di halaman rumah masing-masing. Semuanya melakukan itu.

Teuku Nyak Arief dan istri. Foto dikutip dari situs teungkuputeh.com.
Teuku Nyak Arief dan istrinya bernama Cut Nyak Jauhari. Sejak Indonesia diproklamirkan di Jakarta, Teuku Nyak Arief memberikan dukungan sangat serius. Foto dikutip dari situs teungkuputeh.com.

Lebih dari itu, Teuku Nyak Arief juga memasang bendera ukuran besar di kendaraannya, kemudian berkeliling Kutaraja (banda Aceh-red) memberitahu kepada khalayak bahwa Indonesia telah merdeka.

Pada Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia melalui Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan mengangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh. Pengangkatan tersebut agak terlambat karena setelah kembali dari sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta pada 25 Agustus, Mr. Teuku Muhammad Hasan menghadapi kendala besar di Medan. Karena Sebagian besar kaum bangsawan Sumatera Timur sedang bersiap menyambut kedatangan Belanda.

Pada kesempatan pengangkatan Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh, Teuku Muhammad Hasan juga mengangkat Teuku Muhammad Ali Panglima Polim dan sejumlah uleebalang lainnya sebagai bupati.

Dipilihnya Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh, bukanlah karena mereka sama-sama dari kaum uleebalang. Mr. Muhammad Hasan telah mempertimbangkan banyak hal. Meski kala itu di Aceh Teungku Daoed Beureueh lebih popular di kalangan rakyat, tapi Teuku Nyak Arief memiliki pengetahuan luas bidang pemerintahan, politik, dan lainnya.

Teuku Nyak Arief juga punya rekam jejak anti-Belanda. Ia terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda pada awal 1942.

Bila pun ada tokoh lain yang lebih layak diangkat sebagai Residen Aceh, maka ianya adalah Teuku Muhammad Ali Panglima Polim. Reputasinya sangat mentereng sebagai salah satu uleebalang anti-Belanda, dan ia juga dekat dengan kalangan agamawan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)—sebuah organisasi cendekiawan Islam yang modernis.

Kedudukan Residen Aceh kala itu dapat dikatakan lebih besar dari provinsi. Demikian juga Provinsi Sumatera. Mengapa? Karena setelah proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Pusat di Jakarta tidak benar-benar mampu mengurus dirinya sendiri. Banyak yang harus lari menyelamatkan diri karena dicari oleh pasukan Sekutu dan Belanda.

Pengangkatan Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh tidak menimbulkan reaksi dari Ketua Umum PUSA Teungku Daoed Beureueh. Meskipun dikenal tidak menyukai uleebalang, tapi ia mengambil posisi diam kala itu.

Diamnya Daoed Beureueh kemungkinan juga didasari karena ia menghormati keputusan Teuku Muhammad Hasan, karena ia memiliki hubungan baik dengan keluarga Teuku Muhammad Hasan. Makanya ketika Teungku Daoed diminta memegang jabatan Jawatan Agama di Aceh, Teungku Daoed menerima jabatan tersebut dengan senang hati.

Meskipun demikian, tetap saja ada pimpinan PUSA yang secara terang-benderang menunjukkan ketidaksukaannya kepada penunjukan Teuku Nyak Arief. Salah satu pimpinan PUSA tersebut yaitu T Muhammad Amien, yang menilai Nyak Arief lebih condong kepada kaum uleebalang.

Membentuk Organisasi Militer

Setelah mendapatkan kabar secara pasti bahwa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan, Teuku Hamid Azwar terlibat diskusi dengan Syamaun Gaharu. Mereka bersepakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API)—sebuah organisasi para militer—yang dimaksudkan sebagai Angkatan Perang Indonesia.

Dengan berbagai pertimbangan, mengingat Residen Aceh sudah dipegang oleh uleebalang, maka disepakati bahwa Komandan API sebaiknya bukan dari kalangan bangsawan. Oleh karena itu Teuku Sarong yang ditunjuk menolak jabatan komandan. Ia menyarankan agar diberikan kepada Syamaun Gaharu—seorang bekas guru Taman Siswa yang juga gurunya Hamid Azwar ketika duduk di kelas Taman Dewasa. Mereka pun sepakat dan malam itu Syamaun Gaharu resmi menjadi Komandan API.Sedangkan Teuku Hamid Azwar ditunjuk sebagai Kepala Staf API.

Pada 27 Agustus 1945, API mengumumkan susunan personalia organisasi militer tersebut.

Markas Komando Daerah (MD) berkedudukan di Kutaraja.

Komandan: Syamaun Gaharu

Kepala Staf: Teuku Hamid Azwar

Sekretaris: Husin Yusuf.

Anggota: Nyak Neh Rika, Said Usman, Said Ali, T. M. Daud Samalanga, Teuku Sarong, Bachtiar Idham, T. Abdullah (PM), dan Saiman.

Markas Daerah membentuk delapan Wakil Markas Daerah (WDM)I sampai VIII. Berkedudukan di Kutaraja, Sigli, Bireuen, Lhoksukon, Langsa, Kutacane, Meulaboh, dan Tapaktuan.

Tidak begitu lama, pada bulan Desember 1945, API berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi V Komandemen Sumatera. Selanjutnya pada 7 Januari 1945, TKR diubah kepanjangannya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selanjutnya berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI)pada 25 Januari 1946. Di Aceh pun menjadi TRI V Komandemen Sumatera.

Pada 17 Februari 1946 digelar upacara militer di Blang Padang. Dihadiri oleh rakyat yang sangat banyak, diikuti oleh Resimen TRI Divisi V. Pada upacara itu dilantik Teuku Nyak Arief sebagai Mayor Tituler  selaku anggota Staf Umum TRI Komandemen Sumatera, sekaligus pelantikan Kolonel Syamaun Gaharu sebagai Komandan TRI dan mayor Teuku Hamid Azwar sebagai Kepala Staf Divisi V TRI Komandemen Sumatera.

Kaum Muda Bentuk Paramiliter

Dari kalangan muda, Ali Hasjmy dan kawan-kawan pada 4 Oktober 1945 membentuk Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Rapat pembentukan tersebut dilaksanakan di Lampaseh, Kutaraja.

Dua hari berselang, IPI diubah menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Dalam perjalanannnya BPI berubah lagi menjadi Pesindo, yang pada 20 Desember 1945 membentuk Divisi Rencong Pesindo, dengan pengurus antara lain:

Pimpinan Umum : A. Hasjmy

Komandan: Nyak Neh Lhok Nga

Kepala Staf: M.S. Rahmany

Perencana: Sauni

Pertahanan: A. Jalil Amin (Hoof Jali)

Pesindo juga membentuk Resimen Pocut Baren yang dipimpin oleh Zahara. Selanjutnya membentuk Resimen I hingga VI yaitu di Kutaraja, Sigli, Lhokseumawe, Takengon, Langsa, dan Meulaboh.

Barisan Mujahidin

Pada akhir Desember 1945, kaum tua yang masih memiliki semangat berjuang membela negeri, membangun sebuah barisan perjuangan yang diberi nama Barisan Mujahidin. Barisan ini dengan cepat berkembang di seluruh Aceh. Susunan personalia utama sebarai berikut:

Ketua: Teungku Moh, Daoed Beureueh

Komandan: Cek Mat Rahmany

Kepala Staf: Abdul Muthalib

Mereka juga membentuk resimen-resimen, yaitu Resimen I berkedudukan di Kutaraja, Resimen II di Sigli, Resimen III di Lhokseumawe, Resimen IV di Meulaboh, dan Resimen V di Takengon.

Barisan Mujahidin ini pada tahun 1947 berubah menjadi Divisi Teungku Chik Di Tiro.

Komando Resimen TRIP

Pelajar Sekolah Menengah di Kutaraja juga tak mau ketinggalan. Mereka membentuk Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang melahirkan sebuah resimen yang berada di bawah Tentara Resimen Pelajar Republik Indonesia (TRIP) Divisi Sumatera. Komandan pertama TRIP Aceh yaitu Zulkifli Ali. Resimen ini diberi nama Resimen II TRIP Kutaraja, yang membawahi empat batalion.

Batalion I bermarkas di Kutaraja, dengan komandannya  Kapten TP Marah Muda Siregar, Batalion II di Sigli dipimpin oleh Kapten TP A. Hamid Romy, Batalion III di Langsa dipimpin oleh Kapten TP Basyah Abdullah, Batalion IV di Takengon di bawah kepemimpinan Kapten TP Ali Husein.

Selain beberapa organisasi paramiliter di atas, di Aceh juga dibentuk sejumlah organisasi paramiliter lainnya seperti Tentara Pelajar Islam yang didirikan oleh Gabungan Pelajar Islam daerah Aceh (GAPIDA) yang berpusat di Normal School, Bireuen. Karena Normal School dipindahkan ke Kutaraja pada 1946 dan diganti namanya menjadi SMI dan SGI, GAPIDA pun ganti nama menjadi Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PER-PIINDO).

Organisasi tersebut melahirkan Komando Resimen Tentara Pelajar Islam, yang pada awal 1947 bergabung ke dalam TNI Divisi X Komandemen Sumatera.

Ada juga Barisan Siap Sedia di Juli, Bireuen. barisan ini dibentuk pada akhir bulan Agustus 1945, yang merupakan sebuah pasukan khusus yang mengarah kepada pasukan kavaleri. Pasukan tersebut dipimpin oleh Ishak Ibrahim dan Teuku Machmud, serta beranggotakan 500 orang. Untuk tahap awal pembentukan, Barisan Siap Sedia hanya bersenjata 6 pucuk  meriah besar dan kecil, 100 ekor kuda, senjata-senjata ringan, dan 3 buah bren carrier.

di Aceh juga dibangun Pasukan Artileri yang berpusat di Lhok Nga, Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA), dll.

Awal Fitnah untuk Uleebalang

Seperti di awal artikel ini, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan di Jakarta, pasukan Sekutu secara bergelombang mendarat di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi. Mereka mengambil alih pemerintahan secara paksa.

Di Sumatera Utara, Sekutu mendarat pada 9 Oktober 1945. Mereka segera memaksa ambil alih kota. Pada bulan April 1946, Kota Medan resmi jatuh ke tangan Sekutu. Pejuang republik dan pemerintahan sipil harus dipindahkan ke Siantar.

Desas-desus bahwa Inggris yang diboncengi Belanda akan masuk ke Aceh dan mengambil alih pemerintahan, akhirnya sampai ke Aceh. konon lagi berbagai daerah lainnya di Indonesia telah jatuh ke tangan Belanda.

Teuku Nyak Arief betrpantang darah memberi ruang penjajah kembali ke Serambi Mekkah. Ia bersumpah akan melawan. Oleh karena itu, dia meminta Mayor M.J Knottenbelt segera keluar dari Aceh. Perwira Belanda yang bekerja untuk regu intelijen Inggris  Anglo Dutch Country Section (ADCS) Force 136, berada di bawah komando Supreme Allied Commander South East Asia (SACSEA).

Diterimanya Mayor M.J Knottenbelt masuk ke Kutaraja, karena dia beralasan dalam rangka mengurus pemindahan pasukan Jepang yang masih ada di Aceh. Ternyata dalam prakteknya ia melakukan sejumlah propaganda, yang membuat hubungan kaum uleebalang dan PUSA semakin meruncing.

Knottenbelt merupakan otak di balik penyusunan dokumen Panitia Penyambutan Kerajaan Belanda di Aceh (Comitee van Ontvansgt der Koninkrijk der Nedelanden in Atjeh). Dalam daftar tersebut dibubuhkan nama Teuku Nyak Arief beserta nama-nama seluruh uleebalang berinitial T (teuku) di Aceh.

Daftar nama panitia tersebut, menurut hasil penyelidikan selanjutnya, benar-benar murni propaganda, dan pihak uleebalang tidak mengetahuinya. Tidak seorang uleebalang pun bersedia menandatanganinya.

Hal inilah yang menyebabkan Teuku Nyak Arief naik darah berkali lipat. Dia segera mengusir Knottenbelt dari Aceh. Bila ia menolak, keselamatan kaphe kulit putih itu tidak dijamin. Tahu bahwa kedoknya sudah terbongkar, si Mayor segera pergi ke Medan di bawah pengawalan TKR Aceh. di Medan, Sumatera Utara, sudah menjadi wilayah kekuasaan Inggris kembali. Jadi dia aman di sana.

Perihal dokumen palsu tersebut ditulis oleh A. Firdaus Siregar, seorang pria Tapanuli yang lahir di Matangglumpangdua, Peusangan, Aceh. ia menulis catatan tentang dokumen palsu tersebut pada 8 Desember 1982, dan dimuat di Harian Waspada.

Pun demikian, propaganda Knottenbelt dimanfaatkan dengan sangat baik oleh kelompok yang sangat membenci uleebalang.

(Bersambung)

Sumber referensi: Autobiografi Syamaun Gaharu; Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal. Sekitar kemerdekaan, jilid I. Memori Perjuangan SEjarah 1942-1953. Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949. Revolusi Di Serambi Mekkah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here