Aceh Kehilangan Taji

Muhammad Zaldi

Aceh adalah daerah yang kian hari makin sengkarut dengan problem yang itu-itu saja. Perang yang berlangsung 30 tahun, dan segenap kehancuran yang dihasilkan, justru sekadar melahirkan para pelaku klaim bila ia paling berjasa.

Ada yang merasa bahwa lahirnya dana otonomi khusus merupakan buah perlawanan mereka. Ada pula yang mengakui bahwa ikrar itu adalah hasil dari strateginya. Alasannya sama, yakni untuk kehidupan yang lebih baik, dari segala faktor; pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik.

Konon hal ini hanyalah menjadi upaya yang terus menjadi bahan politik dari masa ke masa. Semua bisa dilihat secara gamblang dan terang benderang, bahwa MoU Helsinki tak benar-benar diimplementasikan, meskipun sudah ada legal turunannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Kesepakatan di Helsinki yang memuat atas 6 bagian dan 71 butir perjanjian, seakan menjadi angin muson yang hanya muncul di musim tertentu. Kini kita patut kita bertanya, sudah sampai mana realisasi dari setiap bagian dan butir-butir MoU Helsinki? Bahkan dalam lima tahun terakhir paling tidak sudah terbentuk lima tim yang di-SK-kan baik oleh Gubernur maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Konon lagi Lembaga Wali Nanggroe turut membentuk Tim Khusus Advokasi MoU Helsinki dan UUPA.

Menurut informasi yang penulis peroleh dari beberapa sumber, hal-hal yang direvisi dalam UUPA secara kuat ada tiga. Pertama, tata kelola pemerintahan. Kedua, tata kelola sumber daya alam (SDA). Ketiga, tata kelola layanan publik.

Hal-hal yang akan direvisi masih seputaran pada tingkatan yang sangat normatif. Tak ada satu keinginan untuk mendobrak lebih dalam perihal revisi UUPA, seperti; Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan pada semua sektor publik, keamanan nasional, Hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. Beberapa hal ini adalah butir dari kesepakatan MoU Helsinki, tapi kita tak berani.

Ketidakberanian untuk mendobrak secara gagasan inilah yang menjadikan Aceh tak memiliki nilai tawar di nasional. Elit di Aceh terlalu pragmatis pada kepentingan sesaat, padahal yang dibawa adalah isu substansial yang bisa menjadikannya lebih disegani.

Hasan Tiro dalam bukunya Aceh di Mata Dunia yang pertama kali terbit di New York pada tahun 1968 mengatakan, “Jika kita melihat Aceh seperti bangsa yang hina, maka tidak akan ada lagi cita-cita dan semangat untuk menjadi mulia. Jika kita melihat diri kita lemah, maka tidak akan ada lagi semangat kepahlawanan. Jika kita melihat diri kita bodoh, itu berarti kita sudah mengikuti kemauan orang lain yang mengakibatkan kita akan ditipu”.

Kini benar saja seperti yang dikatakan Wali Hasan, bahwa kita sudah berhenti berperang, melupakan cita-cita (karena berdamai) dan tidak menjadi mulia. Begitu lemahnya kini di tangan para elite yang seperti sudah lempar handuk pada keacehannya.

Kondisi Aceh terkini pascadamai juga persis seperti mengulang kembali cerita tentang Perang di Sumatera (Aceh di Mata Dunia, hlm, 39). Belanda telah membuat semacam kabut yang menutupi kebenaran tentang sebab-sebab terjadi perang dan bagaimana perang itu berlangsung. Surat-surat kabar Inggris di India menuduh bahwa proses yang menutupi kebenaran itu dilakukan oleh Pemerintah Belanda yang sudah terbiasa menipu.

Baca juga: Belalah Blang Padang Kita

Muhammad Zaldi menyebut revisi UUPA sangat normatif dan tidak memanfaatkan secara maksimal poin-poin kesepakatan dari MoU Helsinki. Foto: Crisis Management Initiative.
Aceh Kembali Tertipu?

Menipu, mungkin menjadi satu kata yang akan menjadi cara dari Jakarta untuk kembali menaklukkan Aceh. Sudah 18 tahun setelah konflik bersenjata, kesepakatan di Helsinki bak jauh panggang dari api. Perlahan kabut akan kembali menutupi hingga generasi selanjutnya lupa untuk menuntut poin-poin kesepakatan dan kembali ditipu oleh negara yang dijajah Belanda.

Kendati memiliki 13 dewan perwakilan rakyat dan 4 dewan perwakilan daerah, tak ada satupun yang mampu memberikan jaminan bahwa realisasi itu akan sepenuhnya berjalan. Kondisi ini tak luput dari tidak adanya keinginan untuk bergandeng tangan untuk menempatkan kepentingan Aceh diatas kepentingan golongannya.

Ditambah lagi pucuk kepemimpinan hari ini ada di tangan Penjabat Gubernur, yang notabene ditunjuk oleh Jakarta. Hampir satu tahun kepemimpinannya, tak ada yang berubah pada kondisi Aceh dari segala sisi; kesejahteraan, pendidikan, Kesehatan dan infrastruktur. Kecuali dalam segi politik, tentu ada perubahan yakni dana pokok pikiran (pokir) anggota DPRA yang nilainya sangat fantastis.

Dengan pola komunikasi yang dilakukan Pj Gubernur hari ini, yang dalam istilah bisa dikatakan one man show dan jauh dengan orientasi kepentingan rakyat, rasanya mustahil kinerjanya dapat dikatakan baik. Maka perlu evaluasi menyeluruh pada beberapa stakeholder yang ada di Aceh dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh masyarakat pada 2024 mendatang.

Aceh kini hanya sebagai kapal pesiar yang megah nan mewah, tetapi para penumpangnya berebut melompat dan mencari sekoci untuk mencapai tujuannya masing-masing. Karena semuanya sudah memperebutkan sekoci kecil, tinggallah para perompak yang berusaha menguasai kapal dan berlayar memecah ombak dan membuat sekoci terbalik di tengah laut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here