Aceh, Jhon Lie, & Ikhtiar Melanjutkan Nafas Indonesia

Jhon Lie
Jhon Lie. Foto: Dispenal TNI dan Wikipedia.

Jhon Lie yang pada tahun 1948 masih berpangkat Mayor merupakan aktor penting dalam sejumlah penyelundupan demi melanjutkan nafas Republik Indonesia setelah Perjanjian Renville. Pria Katolik yang dikenal berani menembus blokade Angkatan Laut Belanda setidaknya telah berhasil melakukan 15 kali penyelundupan komoditas Indonesia ke luar negeri seperti Thailand, dan Singapura.

Republik Indonesia yang baru seumur jagung, dihadapkan dalam berbagai krisis setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Kedatangan Sekutu dengan dalih melucuti senjata tentara Jepang setelah bertubi-tubi kalah di front Fasifik dan diakhiri dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki, ternyata ikut membawa NICA—Pemerintah Sipil Hindia Belanda.

NICA dibentuk di Australia pada 3 April 1944, merupakan Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan, setelah dikalahkan oleh Jepang. Merekalah yang sejatinya hendak dibawa kembali ke Indonesia setelah Nippon mengangkat bendera putih.

Baca: Aceh Menyelamatkan Indonesia yang Masih Seumur Jagung

Angkatan Bersenjata Indonesia kala itu dibuat kalang kabut oleh serangan demi serangan yang dilakukan Sekutu, yang akhirnya membuat satu persatu kota penting di Indonesia berhasil diduduki.

Perjanjian Renville merugikan Indonesia. Di Pulau Jawa, Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur jatuh ke tangan Belanda. Sedangkan wilayah Republik Indonesia tersisa hanya Sumatera, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

Indonesia yang sudah remuk redam setelah Agresi Militer I Belanda yang dimulai pada 21 Juli 1947, kian dibuat merana karena setelah Perjanjian Renville ditantadatangani pada 17 Januari 1948, Laksamana Pinke memperketat blokade laut terhadap Republik Indonesia. Perdagangan antarbangsa tidak dapat dilakukan lagi oleh Indonesia.

Sementara itu, seluruh elemen perjuangan bersenjata yang terdiri dari tentara dan laskar serta pejabat sipil  di Jawa harus hijrah menuju Jawa Tengah. Longmarch hijrah Divisi Siliwangi dan kelaskaran dengan jumlah “pengungsi” 20.000 jiwa, dilakukan setelah mendapatkan perintah Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Perintah itu disampaikan pada 3 Februari 1948 oleh Jenderal Sudirman setelah maujudnya cease fire (genjatan senjata) yang disetujui di atas kapal Renville. Sebagai salah satu butir perjanjian Renville, hijrah tersebut memang menyakitkan. Tapi dalam hal ini Panglima Besar menyebutkan kepentingan negara harus diletakkan di atas segala-galanya. Termasuk kepentingan pribadi.

Pernyataan disampaikan lewat radio, selebaran, dan jaringan komunikasi bawah tanah TNI. Isi pokok pernyataan adalah perintah untuk “hijrah” ke daerah Republik di Jawa Tengah bagi para gerilyawan yang beroperasi di kantong-kantong daerah pendudukan Belanda khususnya di jawa Barat dan Jawa Timur.

Proses hijrah pasukan Siliwangi dari kantong-kantong gerilya di Jawa Barat telah dimulai 1 Februari hingga 22 Februari 1948.

Pada tanggal yang sama, di Aceh para pejuang yang berhasil mempertahankan Serambi Mekkah dari upaya pendudukan kembali oleh Belanda, membuat sejumlah langkah besar.

Pada tanggal yang sama, 1 Februari, di Pangkalan Berandan dilakukan serah terima Tambang Minyak Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu yang selama ini berada di bawah pengawasan Komando Sektor Barat Utara (KSBO) dan Divisi Rencong kepada Pemerintah Republik Indonesia (NRI) Daerah Aceh.

Sebelum Belanda menduduki Sumatera Timur, tambang minyak itu berada di bawah pengawasan Pemerintah NRI Sumatera Timur.

Wakil Pemerintah yang hadir saat itu N. Parlindungan, yang merupakan Patih Kabupaten Langkat. Letnan Kolonel Hasballah Komandan KSBO sebagai wakil tentara, dan Teungku Abdullah sebagai Wakil Panglima Divisi Rencong.

Kantor Pusat Tambang Minyak NRI Daerah Aceh mengeluarkan maklumat nomor 4/93 yang ditandatangani Abd. Rahman dan Residen Aceh T.T.M. Dautsjah. Isi maklumat bahwa mulai 1 Februari 1948 atas persetujuan Residen Aceh Pesindo Trading Company (Petraco) diangkat sebagai agenchap tambang minyak NRI Daerah Aceh. Dalam hal ini Petraco bertanggung jawab untuk urusan penjualan minyak kepada badan-badan pemerintahan, kelaskaran, ketentaraan, dan rakyat umumnya.

Dengan keluarnya maklumat tersebut penjualan minyak secara istmewa oleh Tambang Minyak dihentikan. Sementara penjualan keluar daerah Aceh diurus oleh Kantor Pusat Tambang Minyak Bagian Dagang di Kotaraja (sekarang Banda Aceh).

3 Februari 1948, di Markas Divisi Rencong di Kotaraja berlangsung penyerahan sebagian besar peralatan Tambang Minyak Pangkalan Berandan yang selama ini berada di bawah pengawasan Pesindo, kepada pemimpin Tambang Minyak Daerah Aceh Abdurrahman.

Upaya mempercepat proses itu demi memenuhi dana besar untuk perjuangan. Di tengah upaya belanda melakukan blokade laut yang super ketat, daerah-daerah –khususnya Sumatera—harus bergerak secepat mungkin.

Andil Besar Mayor Jhon Lie

Di dalam kondisi genting tersebut, tampillah Mayor Jhon Lie (Lie Tjeng Tjoan) perwira Angkatan Laut Indonesia yang lahir di Manado, 19 Maret 1911. Ia memiliki pengalaman yang sangat banyak perihal penyelundupan laut antarbangsa.

Jhon Lie bukan perwira abal-abal. Ia punya segudang pengalaman di bidang perkapalan–Jhon Pernah bekerja di Iran. Ketika bergabung dengan Angkatan Laut Indonesia, Jhon Lie juga sukses membersihkan ranjau yang ditanam Jepang di Pelabuhan Cilacap Jawa Tengah.

Jangan tanya soal mental, Jhon Lie sangat pemberani. Dia seakan-akan tidak takut mati.

Dengan menggunakan speedboat kecil, Jhon Lie berkali-kali berhasil menerobos blokade laut yang dijaga ketat oleh Angkatan Laut Belanda di Selat Malaka. Barang-barang hasil bumi Aceh dan sejumlah daerah lainnya di Sumatera seperti kopra, karet, dan minyak bumi, berhasil ia bawa keluar negeri seperti Thailand, dan Singapura.

Dari luar negeri Jhon Lie membeli peralatan tempur, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam upaya memenuhi logistik perjuangan. Penyelundupan paling monumental yang dilakukan olehnya yaitu perangkat radio yang kemudian dikenal dengan Radio Rimba Raya (RRR). Radio yang dikelola oleh Divisi X Gadjah yang dipimpin oleh Kolonel Husen Jusuf. Siaran RRR disiarkan ke seluruh dunia pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Siaran RRR inilah yang menjadi dasar digelarnya pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, dan menyebutkan bahwa Indonesia berdaulat.

Dalam proses penyelundupan peralatan radio ke Aceh, Jhon Lie mengaku sempat pasrah. Ketika kapalnya menembus blokade laut, dia sudah memegang Injil dan membacanya. Jhon Lie kala itu sudah tidak punya pilihan lain. Satu-satunya yang dapat dipilih, tetap menerobos dengan risiko akan mati dan kapanya tenggelam. Bila ia harus gugur, maka gugurlah dalam kondisi sedang dalam kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa.

Kepasrahan itu ternyata memberikan hasil gilang-gemilang. Pria spesialis penyelundupan laut tersebut sukses membawa perangkat radio ke Aceh.

Sumber: Kronik Revolusi Indonesia 4, Pengaruh Perang Kemerdekaan II Terhadap Kemerdekaan Kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949, Daftar WNI yang Memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra 2004-2019, dan sejumlah sumber lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here