Aceh Harus Jadi Serambi Indonesia di Tengah Dinamika Global

Aceh Harus Jadi Serambi Indonesia di Tengah Dinamika Global Ketua Umum PBNU K.H Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Foto: PBNU.
Ketua Umum PBNU K.H Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Foto: PBNU.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Ketua Umum PBNU K.H Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menekankan Aceh harus siap menghadapi dinamika ekonomi yang berkembang pesat di kawasan.

Ia mengingatkan tidak hanya menjadi serambi Mekkah, Aceh juga harus berfungsi sebagai serambi Indonesia. Karena itu menurutnya, Aceh memerlukan konsolidasi nasional yang kuat agar dapat memobilisasi sumber daya yang diperlukan.

“Maka saya sampaikan kepada penjabat Gubernur kalau selama ini Aceh dikenal sebagai serambi Mekah, kita harus berjuang supaya aceh ini sungguh bisa berfungsi sebagai serambi Indonesia,” ungkap Gus Yahya pada seminar kebangsaan di Grand Syariah, Lueng Bata Banda Aceh, Sabtu (29/6/2024).

Ia menilai peta ekonomi dunia akan kini bergeser dari Samudra Atlantik ke Samudera Pasifik dan Hindia. Menurut Gus Yahya, masa depan ekonomi dunia akan didominasi oleh dinamika di kedua samudra tersebut, yang menghubungkan Afrika, Timur Tengah, dan Cina.

Aceh yang berada di garis terdepan Samudra Hindia menurutnya memiliki peran strategis yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Lebih lanjut, Gus Yahya menuturkan dalam bidang pertahanan dan fasilitas ekonomi, Aceh harus siap menghadapi gelombang dinamika global yang lebih kompleks dan multidimensional.

“Aceh harus mulai sekarang berpikir antisipatif tentang ini, karena ini pasti akan datang dan tidak bisa dihindari. Saudi yang dahulu sangat tertutup mulai terbuka akibat dinamika internasional yang luar biasa. Sekarang mereka terpogoh-pogoh semua dibuka supaya warganya bisa terlibat di dalam sistem global,” lanjutnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang ini mengingatkan Pemerintah Pusat saat ini fokus pada pengembangan di kawasan perbatasan seperti Kalimantan, Minahasa, dan Papua. Aceh juga harus bersiap untuk agenda pembangunan nasional itu.

Baca juga: Tu Sop: Aswaja Jaga Keseimbangan Demokrasi Indonesia

Abang kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu mengingatkan gagasan Gus Dur yang ingin membangun pelabuhan bebas di Sabang sebagai ide yang brilian. Namun ide itu menurutnya harus harus diikuti dengan prasyarat infrastruktur dan skema pertahanan reliabel (dapat diandalkan).

“Dulu Gus Dur punya gagasan dan ngotot sekali untuk membangun pelabuhan terbuka di sabang, nah ini ide yang luar biasa brilian tapi harus diikuti dengan berbagai macam prasyarat,” imbuhnya.

Gus Yahya menuturkan tantangan ke depan bagi Aceh ialah bagaimana mengintegrasikan pembangunan Aceh dengan keseluruhan agenda nasional agar dapat bertahan, seraya membangun keunggulan sebagai serambi Indonesia.

Kepemimpinan Alami Tantangan Besar

Pada kesempatan yang sama, Gus Yahya juga mengatakan peran Nabi Muhammad SAW sebagai perintis dan pembangun peradaban, mengemban tanggung jawab untuk menyampaikan risalah dan sekaligus menjadi pemimpin yang mengatur ilmu dan dunia.

Ia menilai fungsi kepemimpinan ini, yang seharusnya menyatu antara waliyul ilmi (penguasa ilmu) dan waliyul dunya (penguasa dunia), mengalami tantangan besar seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin kompleks.

Para ulama yang seharusnya juga mengurusi dunia, kini lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendalami ilmu, sementara urusan dunia harus tetap diurus oleh pihak lain yang kadang tidak sempat lagi memperdalam ilmu agama.

“Yang alim-alim tidak sempat untuk membangun kekuasaan, yang berkuasa ga sempat ngaji,” tutur Gus Yahya.

Ia mencontohkan bagaimana Sayyidina Umar bin Khattab menginisiasi kebijakan baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sebelumnya, seperti menetapkan adanya jizyah dan mengganti pembagian tanah kepada pasukan dengan gaji dari jizyah.

Kebijakan tersebut merupakan inovasi yang lahir dari kebutuhan mendesak dan tidak ada rujukannya dalam khazanah ilmu sebelumnya. Gus Yahya mengatakan hal ini juga yang melatarbelakangi Imam Mawardi merumuskan fikih siyasah yang mendesak ulama harus mencari solusi bagi kemaslahatan masyarakat jika tidak ada rujukan yang jelas dalam Al-Quran atau Sunnah.

“Dulu zakat itu langsung kepada asnaf, sementara Baitul Mal diisi dari ghanimah (rampasan perang) atau jizyah (pajak non-muslim). Ketika negara semakin mapan jarang ada peperangan, ghanimah juga gak banyak.

Dan ketika kemudian orang-orang kafir masuk islam semua jizyah tidak ada lagi. Baitul Mal betul mau kosong, maka pada zaman khalifah Harun Al-Rasyid kemudian kepikiran gimana kalau diterapkan pajak, dan itu jadi kontroversi besar,” tuturnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran ulama dalam birokrasi, baik dalam penegakan hukum maupun pengelolaan pendidikan dan perpustakaan. Seperti peran Imam Ghazali di Madrasah Nizamiyah dan Ibnu Sina sebagai pengelola perpustakaan istana.

“Kita tahu banyak di kitab kita disebut sebut tentang ijtihad dari para qadhi seperti fungsi Mahkamah Agung kita hari ini. Lalu seperti Imam Ghazali yang mengawali karirnya dari Madrasah Nizamiah yang didirikan Perdana Menteri waktu itu sebagai pengelola madrasah,” imbuh Gus Yahya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here