Aceh Dalam Catatan Sumatera 1947

Catatan di Sumatera, karya Muhammad Radjab. Foto: Nia Deliana.
Catatan di Sumatera, karya Muhammad Radjab. Foto: Nia Deliana.

Buku-buku traveloque zaman kemerdekaan yang ditulis oleh berbagai jurnalis terawal kala itu, banyak yang menarik. Salah satunya adalah Catatan Sumatra karya Muhammad Radjab (MR), kelahiran Minang, soal orang-orang Indonesia. MR (1913-1973) adalah lulusan Normal Islam School di Padang and Middlebare School di Batavia. Ia jurnalis andal dan multilingualist yang karya-karyanya banyak diakui oleh intelektual dalam dan luar negeri.

Catatan Sumatra
(CS) punya 8 bab. Aceh adalah salah satunya. Traveloq ini adalah bagian dari tugas yang diamanahkan oleh Kementrian Penerangan Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta sejak 14 Juni 1947. Aceh ditulis pada halaman 38-66, pengamatan ilmiah MR dimulai dari Langsa, Sigli, Kota Raja, Lamno, Calang, Meulaboh, dan Bireun.

Buku Catatan Sumatera mencerminkan sejauh mana Aceh sudah bergerak maju dari tahun 1947. Meski sebagian intelektual mengkritisi sudut generalisasi dan faktor perincian sifat yang menjadi fondasi stereotip orang Aceh yang terus bertahan, saya pikir lebih penting untuk melihat dengan sudut positif, agar menjadi bahan perubahan bagi Aceh. Pada akhirnya, segala catatan tentang Aceh, tidak sepenuhnya salah.

Berkarakter Insani, Ingin Maju, Prasangka Ideologi, dan Standar Cantik
Ini adalah sisi yang diamati MR dalam pengamatannya di Sigli dan Kotaraja. MR Mengatakan bahwa Kotaraja bersih terpelihara penuh bunga-bunga, listrik dan saluran air yang berjalan baik. Penduduk aman, termasuk orang-orang non-Aceh seperti Tionghoa, terjamin keamanannya. Rakyat menghormati tentara dan kepolisian, dan hukum-hukum pemerintahannya. Tidak melanggar disiplin dan berkehidupan cukup. Orang-orang Aceh cerdas dan jujur. Mereka berperasaan merdeka dan tidak mau menjilat. Mereka berani terhadap hulubalang dan pemimpinnya yang tidak jujur.

Soal kelangsungan hidup, Orang Aceh lebih gemar bicara soal barang-barang dagangan, hasil bumi Aceh Barat, pakaian atau barang-barang impor dari Kotaraja, dibandingkan berbincang soal bangsa dan negara.

Ketika mengunjungi Kepala Residen Kotaraja, MR mendengar Teuku Daudsyah menyayangkan bahwa Aceh masih kekurangan tenaga ahli teknik dalam bidang pembangunan, kemajuan pertanian, industri, perdagangan dan pendidikan rakyat. Kekurangan guru dan alat alat belajar. Ia juga mencatat semakin tinggi angka anak-anak yang belajar ke sekolah modern.

Saat dipertemukan dengan Teungku Daud Beureueh, MR bertanya dalam hati aliran apa yang dia anut, aliran muda atau aliran kuno, yang menandakan betapa pemikiran MR banyak dipengaruhi oleh nilai nilai enlightment zaman modern, atau pikiran kawula muda di Minang. Seperti halnya Daud Beureueh yang juga penasaran dan berbisik pada seorang kawan. Ia ingin tahu apakah MR cs muslim dan apakah mereka bersembahyang! Ini menunjukkan betapa hubungan sosial kala itu kerap diawali dengan prasangka. Dan betapa tidak banyak berbeda dengan saat ini.

Berminggu-minggu dalam perjalanan jauh dari kampung halaman, keberadaan perempuan yang menawan tentu dirasa bisa menyegarkan hati dan pikiran. Mengamati eksistensial perempuan Aceh, MR dan temannya beranggapan bahwa tampang perempuan Aceh dengan wajah campuran Keling, Hindu, dan Arab “lebih bagus dan menarik daripada bentuk asli, yang agak dungu, minyak (?) hidungnya, dan sangat ordiner.” Ia melanjutkan, “Kaum wanita yang bagus-bagus saya lihat dalam rapat-rapat dan pertemuan. Selain daripada kesempatan ini tidak ada. Rupanya mereka dipingit di rumah!” Tentu ini mengelikan, mengingat masih seperti inilah standar umum lelaki pejabat Aceh soal wanita cantik.

Lebih menggelitik lagi, Ia membandingkan perempuan-perempuan di Aceh dengan yang di Priangan dan Jawa. Di sana mereka selalu terlihat berwara wiri di jalanan, berdandan, dan tersenyum-senyum manis. tidak halnya di Aceh. Yang kerap terlihat di jalanan adalah perempuan-perempuan tua yang kelelahan dan kotor karena bersawah, ungkapnya.

Primitif: Petani, Gubuk, Kotor, Fanatik
MR adalah pengagum tulen kehijauan dan keindahan alam. Secara umum, MR punya kesan yang baik terhadap masyarakat Aceh dengan menekankan bahwa masyarakatnya sopan, berpikiran tinggi, jujur, non-konsumerisme, perdagangannya penuh impor ekspor, dan pemberani, khususnya untuk penduduk Langsa dan Sigli. Namun ada kata primitif, konservatif tapi modern, yang secara konstruksi problematik. Gambaran primitif dan konservatif ini semakin sering muncul dalam halaman-halaman berikutnya.

Dalam kunjungannya ke Lhokseumawe, setelah dari Langsa dan memutari Pidie, agak lucu mendapati bahwa MR juga ikut menilai hewan-hewan ternak keras kepala yang tidak takut tergilas mobil otonya di jalanan. Ia juga mengatakan bahwa penduduknya kebanyakan adalah petani dan gaya hidupnya masih terbelakang, sebelum kemudian memperkirakan mereka akan maju jika ada orang luar yang datang dan mengajari, yang tentu saja tidak sepenuhnya salah.

Penduduk Aceh yang masih terus membangun rumah gubuk dari pelepah nyiur juga ikut membuatnya heran dikarenakan faktor ketinggalan zaman, tidak aman, tidak tertib dan tidak bersih. Atau dalam kata lainnya tidak estetik.

Selanjutnya, Ia tidak bisa memahami sikap seorang agamawan yang menganggap bahwa harta, estetika, dan kesenangan duniawi itu tidak ada gunanya melainkan fana semata. Bahwa hidup perlu betul-betul seadanya, yang hampir dalam keadaan miskin dan menyengsarakan, menurutnya. MR tidak meremehkan sikap ini hanya saja ia malah tidak yakin bahwa mereka yang memilih hidup sengsara di dunia itu akan masuk surga di akhirat. Ungkapan yang sinis yang kepastiannya hanya Tuhan yang tahu, namun dapat dijelaskan bahwa gaya berpikir begini adalah salah satu bentuk narsistik yang ditimbulkan oleh metode-metode dan bacaan-bacaan ilmiah modern itu.

Ia berpendapat, “orang-orang Aceh yang taat itu cara pandang agamanya fanatik. Bergaul dengan berbagai orang non-Aceh tidak hanya bisa menurunkan tingkat fanatik agamanya tetai juga bisa menopang tumbuhnya kemajuan budaya, industri, pertanian dan perdagangan di Aceh. (55) karena dengan itulah pikiran dan kalbunya terbuka terhadap segala aliran-aliran baru atau perbedaan, hingga tidak terbelakang seperti kawasan lain di Sumatra.”

Hal menarik lainnya adalah pendapat MR tentang sikap rela mati demi akhirat. MR mengasihani kesaksian anak-anak muda Aceh yang rela mati di medan tempur Medan. Ia menyayangi alasan mereka mati demi akhirat. Tampak agak gusar, ia menuliskan “apakah Indonesia ini sudah begitu suram, dan memutuskan semua harapan, hingga kita lebih baik mengungsi ke akhirat saja? Apakah tanah Aceh Timur tidak begitu bagus dan subur, untuk diusahakan dan dibangunkan? Bukankah bagi tanah yang subur itu lebih perlu pemuda Aceh yang hidup, yang akan mencangkul, menanami dan memungut hasilnya?”.

Ini pertanyaan-pertanyaan yang menarik mengingat bukankah mereka rela mati untuk akhirat demi membela bangsa dan negara? Lantas apa alasannya jika tidak boleh berperang sebaliknya bekerja di tanah subur Aceh? Apakah berbangsa dan bernegara itu bagi MR adalah membangun negeri tanpa harus perang? Membangun negeri tanpa perang hingga kini masih menjadi narasi minoritas yang tak begitu digaungkan realitasnya lewat kebijakan-kebijakan provinsi tepat sasaran di Aceh.

Dalam perjalanan pulang ke Sigli dengan kereta api, MR mengamati bahwa rakyat Aceh kalangan bawah masih belum cerdas dan berpakaian kotor, hampir sama dengan rakyat biasa di Jawa, bandingnya. Kita terasa tidak berada di wilayah orang pintar, amatnya lagi. Ini bentuk penglihatan ala burjuasi atau kelas menengah Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melihat, menghakimi dengan ukuran materi, lalu menulis. Cerdas yang dimaksud MR dan kelompok modern waktu itu adalah bersekolah non-agama, berbicara dengan bahasa tinggi, dan berpakaian bersih. Ini ciri standar budaya tinggi. Kelompok modern ini bersikap eksklusif dan disadari atau tidak terus berlanjut hingga sekarang.

Begitulah catatan MR soal Aceh tahun 1947. Apakah menurut Anda, Aceh sudah banyak yang berubah? Apakah pikiran MR kontroversial?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here